Denpasar (Antara Bali) - Eksistensi dan implementasi desa pakraman atau desa adat di Bali kini terancam rapuh, ditandai banyaknya kasus atau konflik adat, seperti pertikaian kelompok warga antarbanjar atau dusun dalam satu desa maupun dengan desa lainnya.

Hal itu terungkap dalam "Seminar Desa Pakraman Benteng Pelestari Budaya Bali" dalam rangka Dies Natalis Universitas Udayana ke-48 di Denpasar, Sabtu (18/9).

Hadir sebagai pembicara seminar itu, Prof Dr Wayan P Windia, Dewa Gede Palguna, Dr I Gusti Ngurah dan Lene Pedersedari Central Washington University.

"Banyaknya kasus adat seperti yang terjadi di Desa Pakudui, Kecamatan Tegallalang, Kabupaten Gianyar, merupakan bukti rapuhnya eksistensi desa pakraman," kata Plt Bendesa Agung Desa Pakraman Dewa Gede Ngurah Suasta.

Warga Banjar Pakudui Kauh, sudah cukup lama berseteru dengan sekelompok warga setempat berjumlah sekitar 41 kepala keluarga yang membentuk Banjar Pakudui Kangin.

Konflik memuncak, Kamis (16/9), ketika prosesi pengusungan jenazah seorang warga Banjar Pakudui Kangin, dihadang oleh warga Banjar Pakudui Kauh.

Mereka melarang jenazah itu dikuburkan di Setra Desa Adat Pakudui yang "dikuasai" oleh warga Banjar Pakudui Kauh. Hal itu sebagai bagian dari konflik pembentukan banjar baru tersebut.

Menurut Ngurah Suasta, keberadaan desa pakraman rapuh saat dasar desa adat itu, yakni ajaran agama Hindu, mulai banyak dilupakan oleh masyarakatnya. "Warga banyak yang mulai tidak patuh menjalankan ajaran yang seharusnya menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari," ujarnya.

Sementara Rektor Universitas Udayana Prof I Made Bakta dalam sambutannya mengatakan, konsep-konsep pokok ajaran agama Hindu harus terus tumbuh dan menjadi roh dalam perkembangan desa pakraman.

"Desa pakraman dibentuk untuk mensejahterakan rakyatnya, bukan sebaliknya menyengsarakan masyarakat. Ini harus menjadi perhatian kita," kata Prof. Bakta.

Guru Besar Hukum Adat Bali Prof Wayan P Windia mengakui, keberadaan desa pakraman kini mendapat banyak tantangan baik dari sisi internal maupun eksternal yang semakin rumit.

Tantangan itu di antaranya berasal dari pengaruh globalisasi, berkembangnya tatanan kehidupan baru, serta membanjirnya pendatang ke Bali dengan latar belakang ajaran yang berbeda-beda.

"Majelis Desa Pakraman memiliki peran strategis untuk menghadapi semua itu. Misalnya dengan memperkuat kelembagaan desa pakraman, mengembangkan media komunikasi dan melakukan penyaringan terhadap pengaruh yang datang dari luar adat," kata Prof Windia.

Di Bali dikenal dua desa, yaitu desa dinas sebagai organisasi pemerintahan terendah di bawah camat yang biasa disebut "perbekel", dan desa adat yang terbentuk atas dasar kesamaan tradisi dan tatakrama pergaulan yang diwarisi secara turun-temurun dan sering disebut "pakraman".

Hal itu dikuatkan melalui keputusan pemerintah pusat dan daerah dan tidak terdapat di daerah lain yang hanya menganut satu desa yang dipimpin kepala desa atau lurah.(*)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010