Denpasar (Antara Bali) - Pengamat dan pelaku seni budaya Bali, Kadek Suartaya, menilai seni gong kebyar selama 100 tahun keberadaannya di tengah masyarakat Pulau Dewata itu mampu memberikan warna tersendiri.

"Seni kebyar sering latah disebut legong atau lazim dinamai tari lepas. Seni kebyar pada umumnya dipentaskan sebagai seni tontonan maupun hiburan masyarakat," kata Kadek Suartaya yang juga dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Sabtu.

Menurut dia, dalam perjalanannya, seni pertunjukkan "balih-balihan" itu dapat disajikan secara tersendiri atau sering menjadi bagian pementasan tertentu.

"Ketika teater rakyat drama gong sedang naik daun pada tahun 1970-an, sebelum pertunjukkan inti dimulai sering diawali dengan satu dua pagelaran seni kebyar seperti tari Tarunujaya, Wiranata, Panji Semirang, atau Oleg Tambulilingan," ujar Kadek Suartaya.

Demikian pula sebuah pementasan drama tari Prembon, sering dimulai dengan sajian tari lepas kebyar.

Presiden pertama Soekarno sangat mengapresiasi seni kebyar sekaligus menyayangi para penarinya. Begitu besarnya perhatian kepala negara dengan kesenian Bali hingga sempat memberikan nama Tarunajaya pada karya tari Gede Manik yang kini menjadi karya memonumental.

Suartaya menambahkan, munculnya seni kebyar dengan tema-tema sosialistik di Bali seperti tari Tenun, Nelayan, Tani dan sebagainya merupakan peran langsung maupun tidak langsung dari atmosfer sosial-kultural-politik yang digadang-gadang Bung Karno pada era kekuasaannya.

"Faktanya, Bung Karno, sering memamerkan kesenian Bali, termasuk seni kebyar, kepada tamu-tamu pentingnya, baik di Istana Tampaksiring maupun di Istana Negara di Jakarta," ujar Kadek Suartaya. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2015