Bangli (Antara Bali) -  Desa Trunyan yang berlokasi di sebelah timur Danau Batur, Kecamatan Kintamani, Kabupaten  Bangli, Bali,  memiliki tradisi unik, yakni tidak mengubur mayat, melainkan meletakkan mayat di bawah pohon kemenyan.

"Tradisinya tidak mengubur mayat, melainkan hanya meletakkan saja di bawah pohon kemenyan. Hal itu sudah kami lakukan secara turun temurun," kata Jro Nyarikan Nada, warga setempat, ketika ditemui ANTARA, Senin.

Ia mengatakan tradisi tidak mengubur itu berlaku hanya pada warga yang meninggal biasa serta tidak cacat fisik. "Sedangkan jika mati tidak wajar (bunuh diri) mayatnya akan dikubur di 'Sema Bantas' (kuburan bantas)," katanya.

Sementara itu, khusus untuk mayat bayi, kata Nada, akan   dikubur di Sema Muda (kuburan muda). "Itulah tiga tradisi yang kami miliki yang berlaku bagi warga yang meninggal," katanya.

Khusus untuk tradisi menaruh mayat di bawah pohon kemenyan, kata Nada, hanya dibatasi sampai 11 mayat saja. "Jika ada salah satu mayat yang sudah kering dan tinggal tulang-belulang, barulah boleh menaruh mayat lagi," ujarnya.

Mayat yang diletakkan di bawah pohon itu, menurut dia, sama sekali tidak mengeluarkan bau busuk. "Hal ini disebabkan penyerapan yang dilakukan oleh pohon kemenyan yang cukup besar yang mampu menetralisir bau busuk," katanya.

Tradisi ini berlaku pada warga Desa Trunyan, dan tidak berlaku bagi warga yang keluar menikah, serta tidak mau mengikuti tradisi itu.

"Masyarakat asli Trunyan berjumlah 200 KK yang merupakan penduduk turun-temurun, jika menikahi orang luar yang bersangkutan bisa tinggal di Desa Trunyan, asalkan mengikuti tradisi itu," katanya.

Dalam sejarah disebutkan, kata Nada, Desa Trunyan merupakan salah satu dari tiga suku asli di Bali, dan bukan gelombang pengungsian dari Majapahit dulu. "Sedangkan dua suku asli lainnya berada di Karangasem bernama Suku Telengan, serta suku Suku Yeh Ketipat di Buleleng," katanya.

Saat ini, bukti sejarah peninggalan suku asli Bali itu, kata Nada, masih ada, di antaranya pura kuno yang bernama "Pura Pancering Jagat".

Ia mengatakan, pura itu seperti tercatat dalam prasasti Trunyan disebutkan pada tahun saka 813 (891 Masehi) raja Singhamandawa memberikan izin kepada penduduk setempat mendirikan pura Turun Hyang atau Pura Pancering Jagat sebagai tempat pemujaan Betara Da Tonta  (Hyang Pancering Jagat).

"Pura yang dilengkapi dengan meru tumpang pitu (tujuh) itu  dipercaya sebagai pura pertama di Bali," katanya.

Pura itu, kata Nada, diupacarai setiap hari raya "Bulan Purnama Kapat" atau pada Senin (23/9) mendatang.(*)

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010