Jakarta (Antara Bali) - Ketua Komisi I DPR RI Mahfudz Siddiq mendukung rencana Presiden Joko Widodo memasukkan kembali RUU Keamanan Nasional (Kamnas) ke Program Legislasi Nasional 2015.

Namun dia kepada pers di Senayan Jakarta, Kamis, mengingatkan pemerintah untuk tidak melakukan kesalahan yang sama dari pemerintahan sebelumnya sehingga menyebabkan RUU itu kemudian dibatalkan.

"Ada kesalahan yang tidak boleh diulang kalau memang menginginkan RUU Kamnas menjadi UU. Jokowi harus melihat bahwa sektor keamanan nasional seperti di banyak negara `leading sector`nya bukan pada polisi tapi pada militer," kata politisi PKS ini.

Hal ini harus dia tegaskan agar tidak ada tarik-menarik antara militer dan kepolisian seperti yang terjadi pada periode lalu yang membuat pembahasan RUU Kamnas gagal diselesaikan.

Keamanan nasional, kata dia, harus dipahami secara utuh sehingga kalau RUU ini diajukan kembali tidak macet karena tarik-menarik kepentingan. Presiden harus cerdik untuk membuat naskah akademik yang cakupannya multi dimensional.

"RUU Kamnas mandeg karena polisi melihat dalam RUU Kamnas, militer mendominasi, padahal bukan seperti itu perspektifnya. Kalau kajiannya tidak komprehensif, maka saya khawatir, RUU Kamnas akan mentah," katanya.

Menurut dia, militer harus menjadi "leading sector" karena memang perspektif keamanan nasional bukan hanya pada keamanan dan ketertiban hukum semata yang menjadi ruang lingkup kepolisian. Pada level yaitu ketika keamanan nasional dalam kondisi berbahaya maka militer bertindak.

Dia pun mencontohkan militer Amerika Serikat yang bisa mengambilalih peran dan tugas di bidang kesehatan, teknologi informasi dan lainnya kalau menyangkut keamanan nasional.

"Kalau ada wabah penyakit yang bisa mempengaruhi keamanan nasional, maka militer Amerika Serikat mengambilalih peran di bidang kesehatan. Begitu juga dalam peperangan yang asimetrik yang tidak masuk dalam lingkup militer dan kepolisian secara umum, misalnya, ketika senjata kimia dan biologi bisa digunakan sehingga keamanan nasional menjadi terancam maka militer mengambilalih komando," katanya.

Perang asimetrik, menurut dia, juga dapat terjadi di bidang lain seperti serangan terhadap jaringan internet sebuah negara. Jika jaringan internet diserang yang membahayakan negara, maka kembali militer dapat mengambilalih komando. Dengan demikian maka RUU Kamnas tidak boleh dibahas sektoral tapi multisektor.

"Belum lama `kan ada kejadian luar biasa, seorang CEO perusahaan multinasional, Mark Zuckerberg dari Facebook menemui Jokowi dan meminta Indonesia membuka jaringan internet seluas-luasnya dan jangan dilarang dan diatur.

Padahal internet itu ibarat lapangan yang kalau tidak dibatasi dengan pagar, akan memberikan amunisi pada lawan yang tidak bisa di`cover` militer dan polisi sekalipun. "Ini makanya pembahasan RUU Kamnas harus multisektor," katanya.

Namun demikian militer sebelum dijadikan "leading sector" harus disiapkan terlebih dahulu kemampuannya. Tentara dan polisi tidak boleh lagi berkonflik hanya karena rebutan kepentingan.

"Militernya juga harus disiapkan memiliki kemampuan multisektor. Jangan lagi berperang dengan polisi hanya karena rebutan lapak. Jika hal ini tidak dilakukan maka konflik Polri dan TNI akan semakin tajam," katanya.

Hal senada juga dilontarkan oleh Wakil Ketua Komisi I DPR RI Tantowi Yahya "Kedua RUU itu (Kamnas dan Rahasia Negara) pernah masuk Prolegnas tapi gagal karena resistansi masyarakat yang sangat tinggi. Selama pemerintah mau bekerja keras khususnya meyakinkan beberapa parpol sebagian ada dalam koalisi pemerintah (KIH), Komisi I siap menggarapnya secara bersama-sama," kata Tantowi.

Dia yakin kalau RUU ini disosialisasikan lebih baik, maka tidak akan ada penolakan terhadap RUU ini. "Kemarin itu sosialisasinya yang kurang. Masih banyak elemen masyarakat yang mengartikan berbeda dari maksud sesungguhnya kedua UU tersebut," kata Tantowi,

Dia membenarkan bahwa Komisi I kembali akan meminta pendapat masyarakat sipil jika memang RUU tersebut dibahas lagi.(WDY)

Pewarta:

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014