Amlapura (Antara Bali) - Keputusan Presiden Joko Widodo menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis solar dan premium, mulai Senin (17/11) malam berpengaruh terhadap aktivitas dan kehidupan seratus lebih supir truk pengangkut pasir.

"Lihatlah puluhan truk yang melintas di jalan raya Karangasem-Gianyar seharusnya bermuatan pasir, tetapi kini kosong karena sopir takut para bos tidak percaya harga BBM sudah naik mulai Senin tengah malam," ujar Wayan Mantra, sopir truk di Amlapura, Ibu Kota Karangasem, Selasa pagi.

Sebagai buruh sopir, katanya, nampak dari luar bagus tetapi kenyataannya penghasilan sangat kecil sekali, sehingga kalau gegabah menjalankan pekerjaan tanpa sepengetahuan bos terlebih dahulu bisa tidak mengantongi uang untuk anak istri.

Ia menjelaskan, kondisi kehidupan kami dari profesi sebagai sopir truk sangat menyedihkan, karena untuk sekali trip mengambil pasir di Desa Butus, Kecamatan Bebandem untuk dibawa ke Gianyar yang jaraknya cukup jauh hanya dapat uang kotor antara Rp60 sampai Rp70 ribu.

"Kalau dapat dua trip penghasilan agak lumayan, tetapi kami harus ada istirahat juga tidak bisa tiap hari ambil pasir paling dalam sebulan bisa 50 trip," ujarnya.

Ia menjelaskan dampak kenaikan harga BBM kami jelas berpengaruh terhadap kualitas kehidupan keluarga kami, karena akan ada nego harga yang tidak mudah antara pengusaha pasir dengan pelaksana proyek mengenai ketetapan harga pasir termasuk dengan memperhitungkan para pesaing bisnis pasir tersebut.

"Pada gilirannya bisa saja gaji kami yang sudah kecil akan dikurangi lagi, ini lah yang juga teman teman sesama sopir truk yang dikhawatirkan," ujarnya.

Sementara itu sopir truk lainnya I Made Supartha, mengatakan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yaitu solar dari Rp5.500 menjadi Rp 7.500 dan harga premium dari Rp6.500 menjadi Rp8.500 jelas memberatkan para supir truk pasir.

"Padahal saya harus mencukupi dua anak yang anak pertama masih duduk di kelas II SMA dan anak kedua masih SD serta seorang istri yang tinggal di Gianyar," ujarnya.

Ia menjelaskan, biasanya kami menghabiskan uang untuk membeli solar untuk sekali trip pulang - pergi dari lokasi tambang pasir Desa Butus -Gianyar sebesar Rp120.000, tetapi sekarang biaya membeli solar naik menjadi Rp160.000.

Sedangkan setiap satu truk pasir biasanya dijual seharga Rp950.000, namun harga satu truk pasir seberat 7 sampai 8 ton belum ada kepastian dan hal inilah yang menyebabkan kami resah sampai sampai para sopir memilih mengosongkan truknya.

Menurut dia, gaji para sopir tidak pernah mengalami kenaikan, hal tersebut biasanya terjadi karena harga jual pasir yang tidak tentu dan faktor sikap pengusaha pasir yang kurang perhatian dengan sopirnya.

"Saat ini bisnis pasir masih sepi orderan dari para pemilik dan pelaksana proyek swasta dan pemerintahan beberapa proyek yang ada di sekitar Denpasar, Badung, Gianyar dan lainnya," ujarnya.

Ia menjelaskan, kualitas pasir dan batu di daerah Desa Butus ini terbilang bagus dikarenakan bekas aliran lahar Gunung Agung yang pernah meletus sekitar tahun 1963.

"Setiap hari lebih 100 unit truk merek Hino, Mitsubishi dan Elef mengantri untuk mengambil pasir dan batu di bekas aliran lahar Desa Butus, untuk dibawa ke beberapa kabupaten dan kota sebagai bahan bangunan proyek dan perumahan," demikian Supartha. (WDY)

Pewarta: Oleh Putu Arthayasa

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014