Singaraja (Antara Bali) - Para pengrajin inka yang merupakan peralatan makan tradisional pengganti piring dengan menganyam lidi (tulang) daun kelapa atau lontar, masih kebingungan menentukan harga jual yang pantas bagi produk yang dihasilkannya menjelang kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM).

"Terkait bahan baku hingga kini belum menjadi masalah baik pasokan dan harganya, sehingga harga jual inke tetap seperti biasa, namun kemungkinan harga bahan baku juga segera naik mengikuti harga BBM, padahal kami sudah memiliki pesanan yang banyak sebelumnya dengan harga lama," ujar Wayan Suparsana, pengrajin Inka di Desa Bulian, Kabupaten Buleleng, Jumat.

Ia menjelaskan, penetapan harga baru yang disesuaikan dengan harga bahan baku harus hati-hati sehingga tidak sampai mengganggu distribusi pemasaran, karena harga kemahalan. Tetapi kalau terlalu murah juga bisa mengakibatkan usaha gulung tikar dan terancam menjadi pengangguran.

Menurut dia, usaha inke merupakan pekerjaan rumahan yang dikerjakan oleh keluarga saja setelah mengerjakan pekerjaan yang lain, termasuk beternak sapi dan babi serta mengurus ladang.

Inke makin populer digunakan sebagai alat pengganti piring pada setiap hajatan besar atau kecil di Bali karena saat digunakan untuk makan, inke yang berbentuk piring tersebut cukup dilapisi kertas antibasah dan hanya kertasnya dibuang setelah makan, sedangkan inkenya tetap bersih.

Ia menjelaskan, untuk pengerjaannya sedikit rumit karna dibutuhkan kesabaran dan ketelitian yang sangat tinggi. Untuk masalah jenis inke sebenarnya dibedakan dari bahan saja.

Menurut dia, untuk inke berbahan daun lontar Rp 5000 per biji dan untuk inke dari daun kelapa Rp 3000 per biji.

Biasanya dijual secara paket, untuk inke daun lontar per 50 inke, seharga Rp 250.000 dan untuk inke dari daun kelapa per 50 inke seharga Rp 150.000, dan untuk bokor inka dijual seharga RP 35000 per setnya.

Wayan Suparsana menambahkan untuk pasokan bahan baku langsung diantarkan ke rumah oleh para pemilik kebun kelapa serta lontar dan sebagian kecil diambil dari kebun sendiri, sedangkan untuk kualitas produk tidak ada yang berubah dan dikurangi.

"Karena kami membuat inke ini bukan untuk mengecewakan pelanggan dan konsumen," katanya.

Ia menjelaskan, pesanan sudah banyak dilakukan sebelum adanya wacana pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) dan kenaikan harga kebutuhan pokok sekarang ini yang cukup memberatkan kami selaku pengrajin inke, sehingga pesanan tersebut mau tidak mau harus dipenuhi namun harganya jadi masalah apakah dinaikkan atau tidak.

Menurut dia, untuk pemasarannya kami tidak begitu kesulitan, karna biasanya selain ada pedagang pengepul yang datang, juga kami pasarkan ke pasar-pasar di Kabupaten Buleleng, karena sekarang ini masyarakat berfikir sederhana dengan memilih menggunakan inke yang tidak perlu dicuci ketimbang piring yang harus dicuci setelah digunakan untuk makan.

"Dalam pembuatannya hanya dibutuhkan seikat lidi (tulang) daun lontar atau kelapa yang kemudian dijemur, hingga kering, dan setelah itu baru dibentuk sesuai ukuran. Untuk seikat daun lontar bisa menghasilkan inka jadi sejumlah lima puluh inka lengkap dengan penutupnya," ujarnya. (MFD)

Pewarta: Oleh Mayolus Fajar

Editor : Mayolus Fajar Dwiyanto


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014