Surabaya (Antara Bali) - Sutradara Hanung Bramantyo menegaskan film di Indonesia bukan industri seperti halnya dunia perfilman di Amerika.

         "Di sini tidak ada industri film, seperti di Amerika, karena hampir semua film di Indonesia sesungguhnya adalah film independen," katanya di Surabaya, Minggu.

         Dalam Pekan Film Airlangga yang digelar UKM Sinematrografi Unair di Gedung Cak Durasim Surabaya, dia menjelaskan dunia perfilman sudah menjadi industri karena ada agen yang menangani.

         "Film di Amerika sudah ada sistem karena semua jalur mulai pembuatan film hingga distribusi harus melalui agen," katanya pada tayang-bincang (talkshow) dalam rangka Pekan Film Airlangga.

         Dalam diskusi yang dipandu dosen Komunikasi Unair IGAK Satrya Wibawa, dia mengatakan bahwa pembuat film di Indonesia bisa langsung meminta kepada artis tanpa melalui agen untuk membintangi filmnya.

         "Atau, mereka bisa langsung meminta kepada manajemen jaringan bioskop untuk menayangkan filmnya, juga tanpa perantara agen. Sutradara film besar juga tidak ada bedanya dengan pembuat film pendek," katanya.

         Ibarat jualan kucing dalam karung, katanya, sutradara itu ibarat jualan ide yang tidak jelas akan disukai atau tidak oleh pasar. "Maka, pembuat film harus pintar meyakinkan orang," tegasnya.

         Oleh karena itu, Hanung mengatakan, "Omong kosong kalau film independen tidak membutuhkan pasar. Pembuat film independen pun sebenarnya mencari pasar yang bisa menerima ide mereka."

    "Film independen," kata dia, "sebenarnya merupakan cara untuk melawan sistem jaringan bioskop yang menilai film Indonesia itu tidak laku, juga sistem pemerintahan Orde Baru yang mengekang kreativitas sutradara muda."

    Buktinya, film Indonesia belum mati karena film Indonesia juga punya penggemar. Kasus di Indonesia dimulai dari film Kuldesak buatan empat sutradara muda Indonesia, yakni Riri Riza, Mira Lesmana, Nan Achnas, dan Rizal Mantovani.

         "Meski film itu gagal di pasar, dari Kuldesak kemudian muncul pemikiran untuk membuat film yang sesuai dengan pasar. Maka, muncullah film Petualangan Sherina, genre film anak yang mampu menggaget 1,5 juta penonton," katanya.

         Akhirnya, jaringan bioskop Indonesia baru sadar bahwa film Indonesia belum mati dan punya penggemar, kemudian mulailah film Indonesia hidup kembali.

         "Dari genre horror yang dimulai oleh film Jelangkung. Kemudian, genre film remaja yang dimulai oleh Ada Apa Dengan Cinta? Lalu, muncul genre film religi yang dimulai dari Ayat-ayat Cinta. Sekarang, genre film action yang dimulai dari The Raid mulai dilirik oleh penonton Indonesia," katanya.

         Sementara itu, mantan wartawan sekaligus pegiat dan pembuat film, Bowo Leksono, mengatakan bahwa film independen itu tidak ingin terikat aturan.

         "Film independen bersifat mengkritik fenomena yang ada di tengah masyarakat. Sekarang, anak SMA saja sudah bisa bikin film dokumenter mengenai korupsi. Itulah jiwa dari film independen," katanya.

         Senada dengan Bowo, distributor film pendek dari Organisasi Boemboe, Lulu Ratna, menganggap film independen itu harus membebaskan pembuatnya.

         "Film adalah ekspresi kebebasan sebebas-bebasnya. Lakukan apa yang kita inginkan, ekspresikan saja. Jangan pedulikan rintangan yang menghadang. Do with the drive, with passion," ujarnya.

         Selain talkshow, acara Pesta Film Airlangga juga melakukan penayangan (screening) film-film pendek buatan pelajar dan mahasiswa.

         UKM Sinematografi juga menayangkan perdana lima film karya mereka, yaitu Perempuan, Skripsi, Kesempatan, Ruang Kosong, dan Warna. (WDY)

Pewarta: Oleh Edy M. Yakub

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014