Bali tiada hari tanpa aktivitas ritual yang digelar masyarakat setempat di tengah kesibukan yang dilakoninya sehari-hari. Hari suci jatuh secara beruntun dalam beberapa hari terakhir ini.

Hari Suci Saraswati, lahirnya ilmu pengetahuan diperingati pada hari Sabtu (4/10), menyusul Hari Somo Ribek (6/10) dan Rabu (8/10) kembali merayakan hari suci Pagerwesi yang bermakna untuk meningkatkan keteguhan iman dan mohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar dunia beserta isinya diberikan keselamatan.

Kegiatan ritual yang digelar di tempat suci rumah tangga (merajan/sanggah) masing-masing menghaturkan sesaji serta rangkaian janur, bunga dan buah-buahan (banten) yang diikuti oleh seluruh anggota keluarga.

"Hari suci Pagerwesi merupakan `tonggak` untuk mengingatkan umat terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi sebagai penguasa alam semesta," tutur Ketua Program Studi Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Dr. I Ketut Sumadi.

Upaya itu dilakukan dengan cara bakti maupun pengorbanan suci secara tulus ikhlas (yadnya). Hari suci terbesar kedua setelah Hari Raya Galungan dan Kuningan (Kemenangan Dharma) juga dimaksudkan untuk memohon keselamatan, kesejahteraan, dan bimbingan ke jalan yang benar, serta mampu menegakkan kebenaran sesuai dengan ajaran agama dan hati nurani.

Tata cara pelaksanaan Hari Raya Pagerwesi di delapan kabupaten dan satu kota di Bali sangat beragam sesuai dengan tempat, waktu, dan keadaan (desa, kala patra).

Ritual Pagerwesi itu juga dilandasi tradisi masing-masing desa adat (pekraman) dalam mengenang kembali terhadap kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan).

Kegiatan ritual atau ajaran agama pada hakekatnya itu mampu menyejukan diri umatnya (pageh) yang menjadi aplikasi dari jati diri dalam memfungsikan bagi kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara.

Umat manusia dalam kehidupan yang dilakoninya tidak henti-hentinya menghadapi masalah yang menyangkut berbagai aspek kehidupan. Lewat ritual itu umat manusia selalu mengharapkan dan memohon kehidupan yang lebih baik, mampu mengatasi segala permasalahan, berusaha mewujudkan kehidupan yang serasi dengan mematuhi ketentuan norma dan hukum berlaku, tutur Jero Sumadi, pria kelahiran Batuyang, Kabupaten Gianyar 31 Desember 1962 atau 52 tahun yang silam.

Alumnus Program Doktor Kajian Budaya Universitas Udayana itu menjelaskan pada ritual Pagerwesi yang dirayakan setiap 210 hari sekali umat Hindu juga memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam manifestasi sebagai "Paramesti Guru".

Dengan demikian, diharapkan kekuatan iman serta bimbingan dan lindungan-Nya, ilmu pengetahuan yang telah diturunkan pada Hari Raya Saraswati, yang dirayakan empat hari sebelumnya (Sabtu, 4/10) penggunaannya dilandasi oleh kesucian sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup umat manusia.

Perkuat Benteng Iman

Melalui ritual perayaaan Pagerwesi, Ketut Sumadi mengharapkan umat Hindu mampu memperkuat "benteng iman" melalui yoga semadi sekaligus dapat mengambil hikmah untuk mengendalikan musuh dalam diri maupun musuh yang berasal dari luar.

Kegiatan ritual yang digelar masyarakat Pulau Dewata yang tidak pernah henti-hentinya dari hari ke hari serta kearifan lokal yang diwarisi masyarakat setempat mampu menuntun untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan hidup.

Upaya itu dapat diwujudkan melalui aktivitas kerja yang dilandasi hati suci dan tulus ikhlas. Demikian pula, aktivitas pariwisata yang berkembang pesat dan keagamaan sebagai suatu wujud kerja yang dilandasi dengan hati suci dan tulus ikhlas akan melahirkan kesejahteraan serta terjaganya religiusitas tanah Bali.

Menurut Jero Ketut Sumadi hal itu sesuai dengan konsep "Tri Hita Karana" (THK) hubungan yang harmonis dan serasi sesama manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa yang melandasi kehidupan desa adat di Bali.

Dengan demikian, penghasilan yang diterima dari pariwisata juga dimanfaatkan untuk kepentingan pelaksanaan ritual dan pemugaran tempat suci sehingga makna religius tetap terjaga.

Warga desa adat di Bali kini tidak lagi dipusingkan oleh beban biaya untuk keperluan pelaksanaan ritual dan aktivitas sosial budaya yang telah ditetapkan sebagai daya tarik wisata yang mampu memperpanjang waktu tinggal wisatawan di Pulau Dewata, ujar Ketut Sumadi.

Wakil Gubernur Bali Ketut Sudikerta sempat menghadiri ritual berskala besar "Batara Turun Kabeh" yang digelar masyarakat Desa Pakraman Les Penuktukan, Kabupaten Buleleng, Bali Utara pada hari Selasa (7/10).

Wagub memberikan apresiasi kepada masyarakat setempat yang berhasil melaksanakan kegiatan ritual yang mengedepankan kebersamaan.

Kegiatan ritual yang melibatkan ribuan masyarakat setempat berlangsung di pura desa setempat. Wagub Ketut Sudikerta pada kesempatan itu menyerahkan bantuan Rp25 juta dan mengharapkan seluruh rangkaian ritual dapat terlaksana dengan lancar serta membawa kesejahteraan bagi warga setempat.

Sekretaris Desa Adat Les Penuktukan Jero Penyarikan Nyoman Adnyana mengatakan bahwa rangkaian ritual yang digelar setahun sekali ini dimulai 30 September dan akan berlangsung sampai Rabu, 8 oktober 2014.

Pura Desa Les yang "disungsung oleh dua desa dinas, yakni Desa Les dan Penuktukan. Kegiatan ritual itu "dipuput" oleh 51 pemangku dari dua desa dinas tersebut.

Kegiatan ritual di Bali digelar beruntun itu menyita waktu untuk persiapan dan pelaksanaan dari semua lapisan masyarakat.

Hal itu mendorong Gubernur Bali Made Mangku Pastika menetapkan hari Pagerwesi sebagai hari libur lokal (fakultatif).

Dengan demikian, perkantoran instansi pemerintah maupun perusahaan swasta di Pulau Dewata fakultatif pada hari suci Pagerwesi tersebut.

Demikian pula, seluruh jenjang pendidikan mulai sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas, kejuruan (SMA/SMK), hingga perguruan tinggi tidak melakukan proses belajar mengajar.

Pagerwesi merupakan hari kerja biasa. Namun, Gubernur Bali Made Mangku Pastika memberikan dispensasi atau libur lokal bagi seluruh karyawan yang beragama Hindu untuk melaksanakan rangkaian kegiatan ritual pada hari suci tersebut. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014