Dallas (Antara Bali) - Penelitian terbaru menunjukkan, konsumsi mi instan termasuk ramen secara signifikan dapat meningkatkan risiko seseorang menderita sindrom kardiometabolik, terutama pada perempuan.
Penelitian Baylor University Medical Center ini beberapa waktu lalu dipublikasikan dalam Jurnal Nutrition.
Hyun Joon Shin, MD, yang memimpin studi Baylor Hearth and Vascular Hospital (BHVH) ini menemukan, mengonsumsi mi instan dua kali atau lebih dalam seminggu terkait dengan sindrom kardiometabolik.
Sindrom ini dapat meningkatkan risiko seseorang mengembangkan penyakit jantung dan kondisi-kondisi lainnya seperti diabetes dan stroke.
Dr. Shin juga menemukan, risiko ini lebih umum terjadi pada perempuan. Menurut dia, munculnya sindrom kardiometabolik kemungkinan besar berhubungan
dengan perbedaan biologis seperti hormon seks dan metabolisme, lalu obesitas dan komponen sindrom metabolik.
Selain itu, hal ini juga karena perbedaan kebiasaan konsumsi makanan yang bervariasi pada laki-laki dan perempuan serta perbedaan akurasi pelaporan makanan mungkin berperan dalam kesenjangan ini.
Faktor lain yang potensial dalam perbedaan ini adalah bahan kimia yang disebut bisphenol A (BPA), yang digunakan untuk kemasan mie dalam bentuk wadah styrofoam.
Penelitian telah menunjukkan, BPA mengganggu perjalanan hormon mengirimkan pesan melalui tubuh, khususnya estrogen.
Terlepas dari temuan yang terkait dengan gender atau penyebabnya, Dr Shin mengatakan, penelitian ini menekankan pentingnya memahami makanan yang kita makan tubuh kita.
"Penelitian ini penting karena banyak orang yang mengkonsumsi mi instan tanpa mengetahui risiko kesehatan yang mungkin terjadi," katanya, seperti dalam siaran publik Baylor Scott & White Health.
Menurut dia, implikasi kesehatan studi ini bisa sangat besar - terutama jika itu mengarahkan orang-orang memilih makanan sehat.
Masyarakat di Asia diketahui memiliki tingkat konsumsi ramen yang relatif tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada wilayah Korea Selatan yang memiliki jumlah konsumen mi instan tertinggi di dunia.
"Sementara asupan mie instan lebih banyak di komunitas-komunitas Asia, hubungan antara konsumsi mi instan dan sindrom metabolik belum dipelajari secara luas," ujar Dr Shin. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
Penelitian Baylor University Medical Center ini beberapa waktu lalu dipublikasikan dalam Jurnal Nutrition.
Hyun Joon Shin, MD, yang memimpin studi Baylor Hearth and Vascular Hospital (BHVH) ini menemukan, mengonsumsi mi instan dua kali atau lebih dalam seminggu terkait dengan sindrom kardiometabolik.
Sindrom ini dapat meningkatkan risiko seseorang mengembangkan penyakit jantung dan kondisi-kondisi lainnya seperti diabetes dan stroke.
Dr. Shin juga menemukan, risiko ini lebih umum terjadi pada perempuan. Menurut dia, munculnya sindrom kardiometabolik kemungkinan besar berhubungan
dengan perbedaan biologis seperti hormon seks dan metabolisme, lalu obesitas dan komponen sindrom metabolik.
Selain itu, hal ini juga karena perbedaan kebiasaan konsumsi makanan yang bervariasi pada laki-laki dan perempuan serta perbedaan akurasi pelaporan makanan mungkin berperan dalam kesenjangan ini.
Faktor lain yang potensial dalam perbedaan ini adalah bahan kimia yang disebut bisphenol A (BPA), yang digunakan untuk kemasan mie dalam bentuk wadah styrofoam.
Penelitian telah menunjukkan, BPA mengganggu perjalanan hormon mengirimkan pesan melalui tubuh, khususnya estrogen.
Terlepas dari temuan yang terkait dengan gender atau penyebabnya, Dr Shin mengatakan, penelitian ini menekankan pentingnya memahami makanan yang kita makan tubuh kita.
"Penelitian ini penting karena banyak orang yang mengkonsumsi mi instan tanpa mengetahui risiko kesehatan yang mungkin terjadi," katanya, seperti dalam siaran publik Baylor Scott & White Health.
Menurut dia, implikasi kesehatan studi ini bisa sangat besar - terutama jika itu mengarahkan orang-orang memilih makanan sehat.
Masyarakat di Asia diketahui memiliki tingkat konsumsi ramen yang relatif tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada wilayah Korea Selatan yang memiliki jumlah konsumen mi instan tertinggi di dunia.
"Sementara asupan mie instan lebih banyak di komunitas-komunitas Asia, hubungan antara konsumsi mi instan dan sindrom metabolik belum dipelajari secara luas," ujar Dr Shin. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014