Denpasar (Antara Bali) - Seniman dan seniwati Bali meyakini bahwa kepemilikan "taksu" (kharisma) tidak bersifat permanen, karena sesuatu yang tidak bisa diwariskan atau diteruskan dari generasi ke generasi berikutnya.

"Taksu tidak bisa dipindahkan dan tidak bisa diberikan kepada sembarang orang, karena `taksu` itu pingit yakni rahasia dan keramat," kata Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar Prof Dr I Wayan Dibia di Denpasar, Sabtu.

Ia mengatakan hal itu ketika menyampaikan pidato ilmiah berjudul "Aktivasi Taksu Dalam Pendidikan Seni di Perguruan Tinggi" pada Dies Natalis XI dan wisuda sarjana XIII ISI Denpasar.

Masyarakat Hindu di Bali meyakini bahwa taksu adalah energi dan daya hidup dari kesenian Bali.

Oleh sebab itu, setiap pelaku dan pencipta seni membutuhkan kahadiran "taksu", tanpa "taksu", seniman tidak akan pernah mampu menghasilkan karya seni yang berdaya hidup dan berdaya pukau yang mampu membuat setiap penyaksi karya terbuai dan terpesona (kelangen).

Prof Dibia menambahkan, bagi masyarakat Bali, karya seni yang baik mengintegrasikan tiga unsur yakni kebenaran (satyam), kesucian (shivam), dan keindahan (sundaram), yang masing-masing menyangkut moralitas, spiritualitas, dan kualitas artistik.

Dalam seni pertunjukan, setiap karya seni diharapkan mampu memberikan kepuasan yang mencakup ketiga unsur itu. Hanya sajian seni seperti itu yang akan mampu menyentuh para penonton, menghibur, serta mampu memperkaya kehidupan mereka dengan nilai-nilai moral, spiritual, dan keindahan.

Sajian karya seni yang tidak memiliki kekuatan "taksu" akan menjadi sajian yang membosankan untuk dilihat atau ditonton.

"Taksu" melibatkan tiga hal mendasar, yang bisa disebut sebagai pilar taksu, yakni aspek fisik dan teknis, aspek sikap mental dan moral (termasuk etika), dan aspek spiritual. Ketiganya dapat disejajarkan dengan prinsip "bayu-sabda-idep". Aspek fisik atau bayu yang menyangkut pemahaman atau penguasaan terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan aktivitas penggunaan tenaga, hal-hal yang bersifat psikomotorik, termasuk di dalamnya masalah teknis yang dibutuhkan oleh suatu bidang seni.

Aspek tersebut menyangkut suatu bidang seni, aspek mental dan moral (sabda) menyangkut penguasaan terhadap tatanan dan tuntutan, termasuk nilai-nilai filosofis, yang bersifat kognitif, terkait dengan pengisian diri guna membangun sikap mental, moral dan etika yang baik dan benar dalam berkesenian.

Sedangkan aspek spiritual (idep) menyangkut olah spiritual yang bersifat afektif, untuk memahami dan mendalami aspek-aspek magis yang sering kali dianggap sebagai rahasia, dari suatu bidang seni, ujar Prof Dibia. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014