Denpasar (Antara Bali) - Guru Besar Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar I Wayan Dibia mengatakan kekuatan taksu atau karisma seorang seniman akan mampu menghasilkan karya seni bermutu, menyentuh, menggetarkan, bahkan mengobarkan kenikmatan estetis bagi para penikmatnya.

"Di tengah pergeseran nilai-nilai budaya Bali, dari sosial-spiritual ke komersial-material, atau dari yang sakral ke sekuler, taksu mulai banyak dibicarakan di tengah masyarakat," kata Prof. Dr. I Wayan Dibia dalam orasi ilmiah pada Dies Natalis XI dan Wisuda Sarjana XIII ISI Denpasar, Sabtu.

Di hadapan "civitas academica" lembaga pendidikan tinggi seni itu, dia mengatakan bahwa pembahasan dan pembicaraan itu untuk tujuan pendalaman, di samping menemukan pemahaman baru sesuai dengan kondisi masyarakat pada zaman.

Pembahasan dan pembicaraan tentang taksu yang semakin hangat belakangan ini disulut oleh kekhawatiran banyak pihak terhadap memudarnya taksu Bali.

Profesor Dibia mengingatkan konsep taksu yang digunakan untuk melihat kualitas keluaran perguruan tinggi seni di Indonesia dengan alasan bahwa konsep sejenis taksu--walaupun dengan sebutan yang berbeda--eksis di daerah lain.

"Taksu adalah sebuah konsep yang spesifik Bali, dan tidak dimiliki daerah lain atau budaya lain. Di dalam konsep itu terdapat unsur-unsur yang bersifat universal," ujar Prof. Dibia.

Sejak akhir tahun 1970-an sejumlah penulis, baik putra daerah Bali maupun penulis asing, mulai memasukkan diskusi singkat tentang taksu. Deskripsi singkat taksu ditawarkan, misalnya, oleh Ana Daniel dalam Bali "Behind the Mask" dan "Bali Sekala & Niskala" oleh Fred B.

Namun, setelah tahun 1990, makin banyak peneliti asing yang tertarik untuk menggali masalah taksu, misalnya Voices in Bali, Edward Herbst membicarakan taksu.

Selain itu, juga Margaret Coldiron dalam bukunya yang berjudul "Trance and Transformation of the Actor in Japanese and Balinese Masked Dance-Drama" atau Liza Gold dalam Musik in Bali.

Melorot

Dibia menjelaskan bahwa di Bali diskusi taksu mulai "menghangat" sejak 2000-an dengan munculnya sebuah artikel berjudul "Ketika Taksu Melorot ke Perut" di kolom Paruman di Majalah Gumi Bali Sarad.

Di tengah gairah berkesenian di Bali, keluhan tentang hilangnya taksu merebak kencang, tidak ada pencapaian baru, seni persembahan berubah dominan menjadi seni untuk perut.

Dibia mengingatkan taksu yang bersifat imaterial di tengah kehidupan masyarakat modern semakin ditarik arus deras ke arah material sehingga terkesan sedikit berlebihan.

"Namun, dengan melihat semakin merosotnya kualitas keluaran (karya seni dan lulusan) perguruan tinggi seni belakangan ini, pembicaraan tentang aktivasi taksu menjadi sangat penting," ujar Prof. Dibia. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014