Denpasar (Antara Bali) - Para petani di Bali mulai meninggalkan sistem kertamasa, yakni penanaman secara serentak dalam satu kawasan subak, karena tersedianya insfrastruktur irigasi yang memadai, kata pengamat masalah pertanian dari Universitas Udayana Prof. Dr. Wayan Windia.

"Selain itu adanya subsidi dan berbagai kemudahan untuk petani sehingga hasil yang diperoleh petani cukup menguntungkan yang merangsang petani untuk menanam padi secara terus menerus (tulaksumur)," kata Windia yang juga Ketua Pusat Penelitian Subak Unud itu, di Denpasar, Senin.

Ia mengatakan petani padi sebelumnya dalam kondisi miskin.

Akan tetapi, katanya, dengan adanya berbagai fasilitas, mereka memanfaatkan secara optimal, agar bisa lepas dari kemiskinan.

"Petani Bali sebagian besar kini tidak lagi peduli dengan tradisi kertamasa. Masalahnya apakah masih ada kebanggaan untuk menjadi petani, karena merasa dekat dengan pejabat, pemimpin, dan kekuasaan, karena petani merasa memiliki `power` (politik, red.)," ujar Prof Windia.

Padahal, katanya petani sudah mulai malas dan tidak mau membajak sawah dengan sapi, mungkin karena mulai berada dalam "zona nyaman".

Pada sisi lain, katanya, air terkadang harus diatur secara bergiliran, sehingga persawahan yang mendapatkan giliran air paling akhir (hilir, red.) sering sangat terlambat mengolah lahan.

Windia mengemukakan kondisi itu juga menjadi penyebab terjadinya sistem tulaksumur, yakni penanaman padi yang tidak teratur lagi dalam satu kawasan subak. (ADT)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Nyoman Aditya T I


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014