Denpasar (Antara Bali) - Sejumlah pura di kawasan subak di daerah perkotaan di Bali telantar setelah sawah beralih fungsi menjadi pemukiman atau bentuk lain di luar pertanian.

"Sementara masyarakat yang membeli lahan pertanian untuk dijadikan tempat tinggal atau tempat usaha bisnis sama sekali tidak ada kepedulian untuk memelihara tempat suci warisan subak tersebut," kata pengamat pertanian dari Universitas Udayana Denpasar, Prof. I Wayan Windia, Jumat.

Menurut dia, masyarakat sekitar tempat suci subak yang telantar pada umumnya menginginkan perhatian dari pemerintah.

"Masyarakat sekitar umumnya tidak berani mengembalikan dan mengharapkan agar penduduk yang membeli tanah sawah di sebuah subak untuk dibangun menjadi rumah dapat meneruskan menjaga dan merawat pura subak itu," ujarnya.

Namun kecenderungan pemilik lahan tidak bersedia karena banyak di antara mereka sudah mengayomi pura di tempat asalnya atau pemilik lahan bukan umat Hindu.

Namun hal itu berbeda dengan kasus Subak Pelengan di kawasan Desa Bitra, Kabupaten Gianyar. Pada mulanya kawasan subak itu bekas kawasan desa pakraman (adat) yang ditinggalkan penghuninya akibat bencana alam.

Kemudian desa adat itu diubah menjadi subak. Petani di desa itu lalu dengan tulus mengayom tiga pura penting, yakni pura desa, pura puseh, dan pura dalem yang berlokasi di kawasan subak tersebut.

Hal itu menunjukkan bahwa petani anggota subak lebih loyal dalam mengambil tanggung jawab pengelolaan pura yang ditelantarkan oleh masyarakat desa pakraman tertentu dibandingkan dengan loyalitas masyarakat desa pakraman untuk mengelola pura subak yang terlantar.

Windia menambahkan, kondisi itu menunjukkan bahwa di satu pihak, petani selalu berada dalam posisi yang lebih lemah dibandingkan dengan masyarakat hukum adat yang lain karena selalu bersedia mengambil alih tanggung jawab pengelolaan pura yang terlantar.

Sedangkan di pihak lain dapat pula dianggap bahwa petani tampaknya lebih religius dibandingkan dengan masyarakat yang lainnya. Hal ini tampak seirama dengan penelitian yang dilakukannya di Gianyar pada 2001.

Hasil penelitian itu menemukan bahwa pada dasarnya keberlanjutan Tri Hita Karana hubungan yang harmonis dan serasi sesama manusia, manusia dengan lingkungan dan manusia dengan Tuhan, tampaknya lebih besar dibandingkan dengan keberlanjutan THK pada masyarakat desa pakraman.

Sementara hasil penelitian lain menunjukkan bahwa ada hubungan antara aktivitas penduduk dalam melakukan ritual keagamaan dengan etos kerja dari masyarakat yang bersangkutan.

"Jika hal itu benar, maka berarti etos kerja di kalangan petani lebih baik dibandingkan dengan etos kerja di kalangan masyarakat desa pakraman," ujar Prof Windia. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014