Denpasar (Antara Bali) - Umat Hindu kesurupan saat mengikuti rangkaian ritual tradisi "Ngerebong" di Pura Pangrebongan, Desa Pakraman Kesiman, Denpasar, Minggu.
Tradisi unik itu digelar setiap enam bulan sekali berdasarkan perhitungan pinanggan kalender Bali atau tepatnya setiap delapan hari setelah perayaan Hari Raya Kuningan.
Menurut Gede Arta salah satu warga setempat bahwa makna dari ritual tersebut adalah sebagai cara dalam menyeimbangkan dan menjaga keharmonisan antara dunia nyata dengan yang tidak nyata.
"Tradisi ini diikuti seluruh warga Desa Pakraman Kesiman," ujarnya.
Tradisi "Ngerebong" itu diawali dengan persembahyangan bersama di Pura Petilan yang bersamaan dengan tradisi tabuh rah/tajen atau mengadu ayam, kemudian dilanjutkan dengan keluar dari pura untuk melanjutkan ritual dengan mengelilingi wantilan tempat adu ayam sebanyak tiga kali putaran.
Pada saat melakukan arak-arakan mengelilingi wantilan, beberapa warga mengalami kesurupan/kerasukan dengan berbagai ekpresi yaitu berteriak, menggeram, menangis sambil menari yang diiringi alunan musik bale ganjur.
Selama kesurupan warga setempat melakukan tindakan berbahaya seperti menghujamkan keris pada dada, leher, bahkan ubun-ubun atau disebut dengan tradisi ngurek. Namun, tidak satu pun warga yang luka akibat aksi tersebut.
Selama aksi itu berlangsung para pecalang dan warga setempat turut serta mengamankan agar tidak melukai warga lainnya yang tidak kesurupan.
Dalam kesempatan tersebut, sejumlah wisatawan domestik dan mancanegara terlihat sangat antusias untuk menyaksikan ritual "Ngerebong" dan tanpa henti-hentinya untuk mengabadikan momen yang sangat langka itu.
Ritual itu akan berakhir pada saat matahari tenggelam, dan roh-roh yang sempat merasuki tubuh warga itu akan dipulangkan ke alamnya dengan melakukan persembahyangan bersama dan mendapat siraman air yang sudah disucikan. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
Tradisi unik itu digelar setiap enam bulan sekali berdasarkan perhitungan pinanggan kalender Bali atau tepatnya setiap delapan hari setelah perayaan Hari Raya Kuningan.
Menurut Gede Arta salah satu warga setempat bahwa makna dari ritual tersebut adalah sebagai cara dalam menyeimbangkan dan menjaga keharmonisan antara dunia nyata dengan yang tidak nyata.
"Tradisi ini diikuti seluruh warga Desa Pakraman Kesiman," ujarnya.
Tradisi "Ngerebong" itu diawali dengan persembahyangan bersama di Pura Petilan yang bersamaan dengan tradisi tabuh rah/tajen atau mengadu ayam, kemudian dilanjutkan dengan keluar dari pura untuk melanjutkan ritual dengan mengelilingi wantilan tempat adu ayam sebanyak tiga kali putaran.
Pada saat melakukan arak-arakan mengelilingi wantilan, beberapa warga mengalami kesurupan/kerasukan dengan berbagai ekpresi yaitu berteriak, menggeram, menangis sambil menari yang diiringi alunan musik bale ganjur.
Selama kesurupan warga setempat melakukan tindakan berbahaya seperti menghujamkan keris pada dada, leher, bahkan ubun-ubun atau disebut dengan tradisi ngurek. Namun, tidak satu pun warga yang luka akibat aksi tersebut.
Selama aksi itu berlangsung para pecalang dan warga setempat turut serta mengamankan agar tidak melukai warga lainnya yang tidak kesurupan.
Dalam kesempatan tersebut, sejumlah wisatawan domestik dan mancanegara terlihat sangat antusias untuk menyaksikan ritual "Ngerebong" dan tanpa henti-hentinya untuk mengabadikan momen yang sangat langka itu.
Ritual itu akan berakhir pada saat matahari tenggelam, dan roh-roh yang sempat merasuki tubuh warga itu akan dipulangkan ke alamnya dengan melakukan persembahyangan bersama dan mendapat siraman air yang sudah disucikan. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014