Sanur (Antara Bali) - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia bersama elemen terkait lainnya melakukan penelitian mengenai rekonstruksi habitat Curik Bali atau "Leucopsar rothschildi" guna mengetahui habitat awal satwa burung itu di Taman Nasional Bali Barat.

"Paling tidak dalam sepekan ke depan studi awal rekonstruksi habitat itu sudah bisa mencari gambaran bagaimana menyusun strategi ke depan agar Curik Bali bisa direhabilitasi habitatnya di alam," kata Mas Noerdjito dari Pusat Penelitian Biologi LIPI di arena pertemuan tahunan ATBC (Association for Tropical and Conservation) di Sanur, Provinsi Bali, Kamis.

Ia menjelaskan, studi penelitian itu dilakukan LIPI bersama Asosiasi Pelestari Curik Bali (APCB) dan lembaga konservasi "ex-situ" (di luar habitat) Taman Safari Indonesia (TSI).

Bersama sejawatnya Roemantyo, ahli ekologi LIPI dan Tony Sumampau dari APCB, dalam forum ATBC 2010 itu, mereka juga memberikan pemaparan mengenai Curik Bali.

Mas Noerdjito mengemukakan bahwa penelitian tersebut --hingga kemudian fokus pada rekonstruksi habitat-- sebenarnya sudah dilakukan sejak lama.

"Tujuannya adalah meneliti sebenarnya habitat asli Curik Bali di kawasan Taman Nasional Bali Barat itu di lokasi-lokasi mana saja," katanya.

Merujuk pada sejarah, ia menjelaskan bahwa Curik Bali--satwa langka dan endemik yang ada di Indonesia itu-- diketahui melalui penelitian Stressmann asal Belanda tahun 1912.

Sebaran terluasnya antara Bubunan, Kabupaten Buleleng sampai ke Gilimanuk.

Akan tetapi, pada saat ini jumlahnya menurun dan hanya terbatas pada kawasan Taman Nasional Bali Barat tepatnya di Semenanjung Prapat Agung dan Tanjung Gelap Pahlengkong yang habitatnya bertipe hutan mangrove, hutan pantai, hutan musim dan savana.

Studi-studi selanjutnya, kata Noerdjito, secara berturut-turut diketahui di Taman Nasional Bali Barat tahun 1925 oleh Plessen dan disiarkan tahun 1926, dan di tempat sama oleh Paardt tahun 1926 dan disiarkan tahun yang sama.

Kemudian, di daerah Pulani oleh Kuroda tahun 1930 dan disiarkan tahun 1932, daerah Bubunan oleh Kuroda tahun 1931 dan disiarkan 1933, daerah Banyu Wedang tahun 1933 oleh Museum Zoologi Bogor, kawasan Taman Nasional Bali Barat oleh RMNHL Universitas Leiden, Belanda tahun 1933, dan di Gilimanuk tahun 1938 oleh RMNHL juga.

Ia menjelaskan bahwa merujuk pada studi-studi itu, maka diketahui bahwa pada tahun 2005, sebenarnya Curik Bali sudah bisa dikategorikan punah di alam aslinya, hingga kemudian pada tahun 2007 dilakukan upaya konservasi "ex-situ", untuk kemudian beberapa di antaranya dilepasliarkan kembali di Taman Nasional Bali Barat.

   
Menentukan lokasi

Sementara itu, ahli ekologi LIPI Roemantyo yang penelitiannya fokus pada ketersediaan asupan makanan bagi Curik Bali mengatakan bahwa dengan rujukan sejarah itu, pihaknya juga akan merekonstruksi lokasi di mana yang tepat bagi habitat satwa itu.

"Karena di lokasi-lokasi sekarang ini, sudah banyak yang dihuni masyarakat, sehingga diperlukan rekonstruksi guna mencari habitat yang ideal bagi satwa ini tanpa mendapat banyak gangguan," katanya.

Menurut dia, ada beberapa daerah "enclave" (kantung), yang bisa dijadikan habitat baru bagi Curik Bali, seperti di Candi Kesangan, Melaya, Sumber Rejo, Sumber Klampok, yang kesemuannya masih di dalam area kawasan Taman Nasional Bali Barat.

Di lokasi-lokasi itu, kondisi sumber airnya cukup untuk kebutuhan asupan makan bagi satwa itu, mengingat kondisi hutan di Taman Nasional Bali Barat tingkat curah hujannya juga terbatas pada bulan-bulan tertentu.

Studi Gondo, S Hut dan Sugiarto dari Taman Nasional Bali Barat menyebutkan bahwa keterbatasan populasi suatu satwa liar dapat pula terjadi oleh sebab-sebab tidak alami yaitu karena perilaku atau ulah manusia yang terlalu berlebihan dan tidak ramah lingkungan, misalnya dalam kegiatan perburuan liar dan mengubah suatu habitat hunian satwa liar menjadi fungsi lain yang menyebabkan satwa yang ada semakin terdesak dan menurun populasinya.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kelangkaan pada Curik Bali, selain pada faktor alamiah (kualitas habitat, adanya predator, penyakit, satwa pesaing, maupun mati karena usia tua) juga faktor adanya ulah oknum manusia yang tidak bertanggung jawab.(*)

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010