Yogyakarta (Antara Bali) - Penyeragaman kebijakan pendidikan tinggi harus ditinjau ulang
karena tidak mencerminkan keadilan, kata Ketua Umum Asosiasi Perguruan
Tinggi Swasta Indonesia Edy Suandi Hamid.
"Penyeragaman kebijakan tersebut terbukti merugikan dan menimbulkan ketidakadilan bagi daerah-daerah yang masih belum maju pendidikannya dan terbatas kondisinya seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, dan daerah luar Jawa lainnya," katanya di Yogyakarta, Minggu.
Menurut dia, salah satu contoh penyeragaman kebijakan adalah beasiswa Bidikmisi yang hanya ditujukan untuk program studi terakreditasi A di Jawa dan B di luar Jawa.
Kebijakan itu, kata dia, akan mempersulit perguruan tinggi swasta (PTS), dan bahkan perguruan tinggi negeri (PTN) di Papua yang sebagian besar masih terakreditasi C.
"Apakah hal itu berarti orang miskin di Papua tidak dapat memperoleh Bidikmisi?," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu.
Selain itu, kebijakan batas usia dosen yang menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan maksimal 50 tahun untuk mendapatkan Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN).
"Kebijakan itu menyulitkan PTS luar Jawa di mana sumber daya manusia daerah yang berkualifikasi strata dua (S-2) sangat terbatas," kata mantan Rektor UII itu.
Ia mengatakan mereka yang S-2 dan ingin memulai karir sebagai dosen yang diperhitungkan dalam rasio dosen-mahasiswa menjadi tidak bisa. Akibatnya, rasio dosen-mahasiswa semakin timpang, dan membuat PTS dikategorikan "bermasalah".
"Oleh karena itu kami berharap kebijakan yang bersifat penyeragaman seperti itu harus ditinjau ulang. Kebijakan pendidikan tinggi harus betul-betul membumi dan melihat fakta lapangan," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
"Penyeragaman kebijakan tersebut terbukti merugikan dan menimbulkan ketidakadilan bagi daerah-daerah yang masih belum maju pendidikannya dan terbatas kondisinya seperti Papua, Nusa Tenggara Timur, dan daerah luar Jawa lainnya," katanya di Yogyakarta, Minggu.
Menurut dia, salah satu contoh penyeragaman kebijakan adalah beasiswa Bidikmisi yang hanya ditujukan untuk program studi terakreditasi A di Jawa dan B di luar Jawa.
Kebijakan itu, kata dia, akan mempersulit perguruan tinggi swasta (PTS), dan bahkan perguruan tinggi negeri (PTN) di Papua yang sebagian besar masih terakreditasi C.
"Apakah hal itu berarti orang miskin di Papua tidak dapat memperoleh Bidikmisi?," kata Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta itu.
Selain itu, kebijakan batas usia dosen yang menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan maksimal 50 tahun untuk mendapatkan Nomor Induk Dosen Nasional (NIDN).
"Kebijakan itu menyulitkan PTS luar Jawa di mana sumber daya manusia daerah yang berkualifikasi strata dua (S-2) sangat terbatas," kata mantan Rektor UII itu.
Ia mengatakan mereka yang S-2 dan ingin memulai karir sebagai dosen yang diperhitungkan dalam rasio dosen-mahasiswa menjadi tidak bisa. Akibatnya, rasio dosen-mahasiswa semakin timpang, dan membuat PTS dikategorikan "bermasalah".
"Oleh karena itu kami berharap kebijakan yang bersifat penyeragaman seperti itu harus ditinjau ulang. Kebijakan pendidikan tinggi harus betul-betul membumi dan melihat fakta lapangan," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014