Umat Hindu Dharma di Bali mulai bersiap-siap menyongsong Hari Suci Galungan yang bermakna memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) melawan Adharma (keburukan), yang jatuh pada hari Rabu, 21 Mei 2014.
Wanita Bali seminggu menjelang hari suci itu sudah mulai mempersiapkan diri membuat rangkaian janur maupun kue kering untuk kombinasi kelengkapan ritual.
Kehalusan jiwa dan watak sosok wanita Bali yang bisa tersenyum di tengah kesibukan hari raya yang jatuh secara beruntun, karena sebelumnya 31 Maret 2014 juga merayakan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1936.
Wanita Bali memang dikenal gigih dan sanggup kerja apa saja yang produktif dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Setiap saat mereka sangat sibuk menyiapkan sarana ritual rangkaian hari suci Galungan yang tinggal beberapa hari lagi.
Kegigihan wanita Bali tampak dengan tanpa pandang bulu dalam melakukan pekerjaan, karena jenis pekerjaan apapun sanggup dipikulnya. Hal itu terbukti, jenis pekerjaan kasar yang indentik dengan pria seperti buruh bangunan yang bekerja di bawah terik matahari juga sanggup dilakoninya, tutur Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar Dr. I Ketut Sumadi.
Ia mengungkapkan, wanita Bali dalam kehidupan sosial kemasyarakatan juga mengemban tugas yang sangat penting dalam menyukseskan berbagai kegiatan ritual dan upacara adat.
Semua itu dilakoninya dengan ikhlas dan senang hati, di luar tugas dan tanggung jawab dalam menekuni profesi masing-masing.
"Saya merasa terharu menyaksikan ketulusan, keiklasan dan ketekunan wanita Bali dalam memaknai hari-hari suci keagamaan yang kadang kala jatuh secara beruntun," tutur ayah dua putra itu.
Wanita Bali memang tidak bekerja sendirian untuk itu, mereka dibantu oleh suami dan anggota keluarga masing-masing, meskipun yang lebih menonjol adalah peranan dan aktivitas kaum ibu.
Tanpa kerja sama dan saling membantu dalam keluarga itu, mustahil dapat menyiapkan dan menyukseskan rangkaian pelaksanaan hari suci yang mewarnai kehidupan masyarakat sehari-hari.
Semua sibuk
Masyarakat Bali yang bermukim di kota maupun pedesaan mulai sibuk melakukan persiapan yang sama menyambut Galungan, yang pria dalam satu keluarga sudah memotong bambu dan bagi masyarakat kota membeli bambu dan ambu (enau) untuk hiasan penjor yang nantinya dipajang di depan pintu masuk keluarga masing-masing.
Namun berbagai jenis peralatan penjor (bambu yang dihias) itu sudah ada yang menjualnya secara lengkap di pasar, sehingga kebanyakan warga membeli modifikasi peralatan penjor yang terbuat darii lontar.
Kelengkapan satu set penjor berkisar Rp150.000 - Rp1 juta tergantung ukuran dan aneka jenis hiasan. Dengan kelengkapan modifikasi itu lebih praktis, karena hanya tinggal mengikat pada bambu sudah rampung, berbeda halnya dengan menggunakan enau atau janur yang memerlukan waktu lebih lama untuk menghias bambu menjadi penjor.
Sementara yang perempuan, baik remaja putri maupun ibu rumah tangga sejak awal pekan ini telah memanfaatkan waktu luangnya untuk merangkai janur (mejejahitan) guna dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sanghyang Widhi Wasa, saat Hari Raya Galungan maupun Kuningan.
Tidak ketinggalan pula ibu rumah tangga yang bekerja di perkontaran pemerintah, swasta termasuk wanita karier, memanfaatkan waktu senggang pada malam hari membuat bebantenan dan perlengkapan upacara keagamaan lainnya.
Oleh sebab itu bahan baku berupa janur, buah-buahan, pisang, daging dan kebutuhan sehari-hari lainnya menjelang Galungan dan Kuningan harganya melonjak.
Harga sejumlah kebutuhan pokok di sentra pasar tradisional di Denpasar mengalami fluktuasi menjelang Hari Raya Galungan. Di Pasar Badung, salah satu pasar terbesar di Pulau Dewata menunjukkan harga sejumlah kebutuhan hari raya mengalami kenaikan, namun adapula yang menurun.
Untuk kebutuhan janur misalnya yang merupakan kebutuhan utama untuk keperluan upakara, mengalami kenaikan dari harga biasanya untuk satu bendel janur yang berisi 10 ikat dihargai Rp20.000 dari harga sebelumnya berkisar Rp18.000.
Sedangkan harga janur satu ikat yang berisi 40 lembar dihargai Rp6.000 atau naik Rp1.000 dari harga sebelumnya. Namun pengakuan para pedagang Janur, kenaikan harga itu belum terlalu signifikan .
"Kenaikannya tidak signifikan karena pasokan lancar," kata seorang pegadang janur, Nyoman Rai. Ia menjelaskan bahwa pasokan janur didapat dari Malang dan Banyuwangi, Jawa Timur. Tetapi ada pula yang dipasok dari daerah di Bali sendiri.
Belum terlalu signifikannya kenaikan harga itu karena selain pasokan melimpah, adanya janur jenis "ibung" dari Sulawesi menjadi pilihan alternatif masyarakat.
Selain harga janur, harga buah pisang mengalami kenaikan. Harga pisang raja satu sisir dihargai Rp25.000 atau naik dari harga semula sekitar Rp20.000.
"Harga satuan pisang naik rata-rata Rp300 yakni untuk satu biji Rp1.500 dari semula Rp1.200," kata pedagang pisang, Nyoman Sri Purnawati. Pasokan pisang juga sebagian besar didapat dari daerah Banyuwangi, Jawa Timur.
Diperkirakan dua hari menjelang Galungan, harga pisang akan semakin melonjak meskipun pasokan lancar. Untuk harga buah jeruk lokal, per kilogram berkisar Rp12.000. Sedangkan harga apel Malang harganya mencapai Rp25.000/kilogram. Sedangkan apel impor dari Jepang atau apel Fuji dihargai sekitar Rp30.000/kilogram.
Belajar sejak kecil
I Ketut Sumadi menjelaskan, wanita Bali memang sejak kecil telah terlatih membuat bebanten berkat orang tua selalu melibatkan anak perempuan dalam membuat sesaji upacara ritual. Bebantenan merupakan reringgitan dedaunan, tata letak, posisi dan bahan-bahan yang digunakan sebagai bagian dari sebuah yadnya (banten).
Metode mendidik anak belajar sambil bekerja sangat efektif dan menunjukan hasil gemilang, sehingga wanita Bali tidak pernah berkeluh kesah dalam menunaikan tugas serta kewajibannya.
Dengan keluguan mengarungi kehidupan, wanita Bali sanggup beradaptasi dengan perempuan modern. Mereka juga menjadi objek dan inspirasi bagi seniman lukis dalam menciptakan karya seni di atas kanvas.
Kalau diinventarisasi, tidak terhitung jumlahnya keesotikan perempuan Bali yang dimanfaatkan menjadi objek lukisan oleh seniman dalam dan luar negeri yang berdomisili di Pulau Dewata.
W. Gerard Holker, seniman asing yang lama bermukim di perkampungan seniman Ubud, misalnya sangat terpesona oleh "Kartini Bali" dalam pakaian adat serat bunga emas, membawa sesajen dalam bokor.
Demikian pula perintis seni lukis Pita Maha di Ubud, Rudolf Bonnet sering kali melukis sosok wanita Bali yang polos, rambut panjang dikepang dengan bunga kamboja terselit di pangkal ekor kepang rambutnya.
Sementara Mario Antonio Belanco (alm) maupun pelukis Dullah tidak luput menggambarkan wanita Bali dari segi erotisnya. Demikian pula I Nyoman Djirna, seniman lokal menggambarkan wanita Bali dari keluguan, kepolosan dan kodratnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
Wanita Bali seminggu menjelang hari suci itu sudah mulai mempersiapkan diri membuat rangkaian janur maupun kue kering untuk kombinasi kelengkapan ritual.
Kehalusan jiwa dan watak sosok wanita Bali yang bisa tersenyum di tengah kesibukan hari raya yang jatuh secara beruntun, karena sebelumnya 31 Maret 2014 juga merayakan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1936.
Wanita Bali memang dikenal gigih dan sanggup kerja apa saja yang produktif dalam meningkatkan pendapatan keluarga. Setiap saat mereka sangat sibuk menyiapkan sarana ritual rangkaian hari suci Galungan yang tinggal beberapa hari lagi.
Kegigihan wanita Bali tampak dengan tanpa pandang bulu dalam melakukan pekerjaan, karena jenis pekerjaan apapun sanggup dipikulnya. Hal itu terbukti, jenis pekerjaan kasar yang indentik dengan pria seperti buruh bangunan yang bekerja di bawah terik matahari juga sanggup dilakoninya, tutur Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana Institut Hindu Dharma Indonesia Negeri (IHDN) Denpasar Dr. I Ketut Sumadi.
Ia mengungkapkan, wanita Bali dalam kehidupan sosial kemasyarakatan juga mengemban tugas yang sangat penting dalam menyukseskan berbagai kegiatan ritual dan upacara adat.
Semua itu dilakoninya dengan ikhlas dan senang hati, di luar tugas dan tanggung jawab dalam menekuni profesi masing-masing.
"Saya merasa terharu menyaksikan ketulusan, keiklasan dan ketekunan wanita Bali dalam memaknai hari-hari suci keagamaan yang kadang kala jatuh secara beruntun," tutur ayah dua putra itu.
Wanita Bali memang tidak bekerja sendirian untuk itu, mereka dibantu oleh suami dan anggota keluarga masing-masing, meskipun yang lebih menonjol adalah peranan dan aktivitas kaum ibu.
Tanpa kerja sama dan saling membantu dalam keluarga itu, mustahil dapat menyiapkan dan menyukseskan rangkaian pelaksanaan hari suci yang mewarnai kehidupan masyarakat sehari-hari.
Semua sibuk
Masyarakat Bali yang bermukim di kota maupun pedesaan mulai sibuk melakukan persiapan yang sama menyambut Galungan, yang pria dalam satu keluarga sudah memotong bambu dan bagi masyarakat kota membeli bambu dan ambu (enau) untuk hiasan penjor yang nantinya dipajang di depan pintu masuk keluarga masing-masing.
Namun berbagai jenis peralatan penjor (bambu yang dihias) itu sudah ada yang menjualnya secara lengkap di pasar, sehingga kebanyakan warga membeli modifikasi peralatan penjor yang terbuat darii lontar.
Kelengkapan satu set penjor berkisar Rp150.000 - Rp1 juta tergantung ukuran dan aneka jenis hiasan. Dengan kelengkapan modifikasi itu lebih praktis, karena hanya tinggal mengikat pada bambu sudah rampung, berbeda halnya dengan menggunakan enau atau janur yang memerlukan waktu lebih lama untuk menghias bambu menjadi penjor.
Sementara yang perempuan, baik remaja putri maupun ibu rumah tangga sejak awal pekan ini telah memanfaatkan waktu luangnya untuk merangkai janur (mejejahitan) guna dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sanghyang Widhi Wasa, saat Hari Raya Galungan maupun Kuningan.
Tidak ketinggalan pula ibu rumah tangga yang bekerja di perkontaran pemerintah, swasta termasuk wanita karier, memanfaatkan waktu senggang pada malam hari membuat bebantenan dan perlengkapan upacara keagamaan lainnya.
Oleh sebab itu bahan baku berupa janur, buah-buahan, pisang, daging dan kebutuhan sehari-hari lainnya menjelang Galungan dan Kuningan harganya melonjak.
Harga sejumlah kebutuhan pokok di sentra pasar tradisional di Denpasar mengalami fluktuasi menjelang Hari Raya Galungan. Di Pasar Badung, salah satu pasar terbesar di Pulau Dewata menunjukkan harga sejumlah kebutuhan hari raya mengalami kenaikan, namun adapula yang menurun.
Untuk kebutuhan janur misalnya yang merupakan kebutuhan utama untuk keperluan upakara, mengalami kenaikan dari harga biasanya untuk satu bendel janur yang berisi 10 ikat dihargai Rp20.000 dari harga sebelumnya berkisar Rp18.000.
Sedangkan harga janur satu ikat yang berisi 40 lembar dihargai Rp6.000 atau naik Rp1.000 dari harga sebelumnya. Namun pengakuan para pedagang Janur, kenaikan harga itu belum terlalu signifikan .
"Kenaikannya tidak signifikan karena pasokan lancar," kata seorang pegadang janur, Nyoman Rai. Ia menjelaskan bahwa pasokan janur didapat dari Malang dan Banyuwangi, Jawa Timur. Tetapi ada pula yang dipasok dari daerah di Bali sendiri.
Belum terlalu signifikannya kenaikan harga itu karena selain pasokan melimpah, adanya janur jenis "ibung" dari Sulawesi menjadi pilihan alternatif masyarakat.
Selain harga janur, harga buah pisang mengalami kenaikan. Harga pisang raja satu sisir dihargai Rp25.000 atau naik dari harga semula sekitar Rp20.000.
"Harga satuan pisang naik rata-rata Rp300 yakni untuk satu biji Rp1.500 dari semula Rp1.200," kata pedagang pisang, Nyoman Sri Purnawati. Pasokan pisang juga sebagian besar didapat dari daerah Banyuwangi, Jawa Timur.
Diperkirakan dua hari menjelang Galungan, harga pisang akan semakin melonjak meskipun pasokan lancar. Untuk harga buah jeruk lokal, per kilogram berkisar Rp12.000. Sedangkan harga apel Malang harganya mencapai Rp25.000/kilogram. Sedangkan apel impor dari Jepang atau apel Fuji dihargai sekitar Rp30.000/kilogram.
Belajar sejak kecil
I Ketut Sumadi menjelaskan, wanita Bali memang sejak kecil telah terlatih membuat bebanten berkat orang tua selalu melibatkan anak perempuan dalam membuat sesaji upacara ritual. Bebantenan merupakan reringgitan dedaunan, tata letak, posisi dan bahan-bahan yang digunakan sebagai bagian dari sebuah yadnya (banten).
Metode mendidik anak belajar sambil bekerja sangat efektif dan menunjukan hasil gemilang, sehingga wanita Bali tidak pernah berkeluh kesah dalam menunaikan tugas serta kewajibannya.
Dengan keluguan mengarungi kehidupan, wanita Bali sanggup beradaptasi dengan perempuan modern. Mereka juga menjadi objek dan inspirasi bagi seniman lukis dalam menciptakan karya seni di atas kanvas.
Kalau diinventarisasi, tidak terhitung jumlahnya keesotikan perempuan Bali yang dimanfaatkan menjadi objek lukisan oleh seniman dalam dan luar negeri yang berdomisili di Pulau Dewata.
W. Gerard Holker, seniman asing yang lama bermukim di perkampungan seniman Ubud, misalnya sangat terpesona oleh "Kartini Bali" dalam pakaian adat serat bunga emas, membawa sesajen dalam bokor.
Demikian pula perintis seni lukis Pita Maha di Ubud, Rudolf Bonnet sering kali melukis sosok wanita Bali yang polos, rambut panjang dikepang dengan bunga kamboja terselit di pangkal ekor kepang rambutnya.
Sementara Mario Antonio Belanco (alm) maupun pelukis Dullah tidak luput menggambarkan wanita Bali dari segi erotisnya. Demikian pula I Nyoman Djirna, seniman lokal menggambarkan wanita Bali dari keluguan, kepolosan dan kodratnya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014