Jakarta (Antara Bali) - Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia mendorong pemerintah untuk mempopulerkan singkong sebagai bahan pangan primer dan komoditas yang mempunyai nilai tambah tinggi.
Dalam diskusi yang bertajuk "Roundtable Singkong" di Jakarta, Rabu, Komite Ketetapan Pengembangan Industri Derivatif Pertanian Kadin, Andi Bachtiar Sirang, mengatakan singkong perlu disejajarkan dengan komoditas populer, seperti buah-buahan di antaranya pisang, jeruk dan pepaya.
"Kita merasa singkong belum mendapat perhatian, kurang populer, singkong juga perlu kita populerkan," kata Andi.
Bahkan, dia juga mengajukan untuk mengganti nama singkong menjadi ubi kayu agar kesan singkong sebagai bahan pangan yang biasanya terpinggirkan menjadi yang diutamakan.
"Namanya juga kalau perlu diubah menjadi lebih besar, kita kepingin mengetengahkan singkong menjadi ubi kayu. Singkong kan image-nya (gambarannya) selalu kecil, sulit berkembang dan tidak menarik," katanya.
Namun, Konsultan Senior dan Penemu Pembuat Tepung Singkong Modifikasi (Mocaf) tidak menyetujui pergantian nama tersebut agar singkong diminati oleh seluruh masyarakat
"Justru nama singkong ini yang harus kita populerkan, lebih Indonesia," katanya.
Dia juga menyayangkan saat ini masyarakat terlalu berfokus mengkonsumsi beras di tengah bahan pangan pokok lainnya, seperti jagung dan singkong.
Dosen Universitas Jember itu mencatat pada tahun 1945 konsumsi beras baru mencapai 53,5 persen dan sisanya dipenuhi dari ubi kayu (22,26 persen), jagung (18,9 persen) dan kentang (4,99 persen).
"Setelah 33 tahun, pada 1987, pola pangan sudah bergeser luar biasa, yakni beras 81 persen, ubi kayu 10,02 persen dan jagung 7,82 persen," katanya.
Pada 2010, lanjut dia, konsumsi terigu naik 500 persen, yakni 15 kilogram terigu per kapita per tahun dalam kurun waktu 30 tahun.
"Pangsa pangan selain beras dalam pola konsumsi pangan pokok nyaris hilang," katanya.
Namun, Kementerian Pertanian telah menetapkan dalam rencana strategis (Renstra) 2015--2019 bahwa komoditas ubi kayu termasuk dalam komoditas strategis yang akan diakselerasi.
Dalam kesempatan sama Direktur Pascapanen Tanaman Pangan Pending Dadih Permana menyebutkan konsep kebijakan pengembangan ubi kayu dimulai dari pengembangan kawasan yang berorientasi pada kekuatan pasar (market driven), integrasi hulu-hilir dengan pendalaman "supply chain management" (manajemen rantai ketersediaan), rantai nilai, tata niaga dan rencana bisnis.
"Jangan sampai terjadi jual putus antara produsen dan pasar harus ada sistem yang disepakati , sehingga kepastian pasokan dan pemenuhan pasar industri konsumen terpenuhi dengan harga yang layak," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014
Dalam diskusi yang bertajuk "Roundtable Singkong" di Jakarta, Rabu, Komite Ketetapan Pengembangan Industri Derivatif Pertanian Kadin, Andi Bachtiar Sirang, mengatakan singkong perlu disejajarkan dengan komoditas populer, seperti buah-buahan di antaranya pisang, jeruk dan pepaya.
"Kita merasa singkong belum mendapat perhatian, kurang populer, singkong juga perlu kita populerkan," kata Andi.
Bahkan, dia juga mengajukan untuk mengganti nama singkong menjadi ubi kayu agar kesan singkong sebagai bahan pangan yang biasanya terpinggirkan menjadi yang diutamakan.
"Namanya juga kalau perlu diubah menjadi lebih besar, kita kepingin mengetengahkan singkong menjadi ubi kayu. Singkong kan image-nya (gambarannya) selalu kecil, sulit berkembang dan tidak menarik," katanya.
Namun, Konsultan Senior dan Penemu Pembuat Tepung Singkong Modifikasi (Mocaf) tidak menyetujui pergantian nama tersebut agar singkong diminati oleh seluruh masyarakat
"Justru nama singkong ini yang harus kita populerkan, lebih Indonesia," katanya.
Dia juga menyayangkan saat ini masyarakat terlalu berfokus mengkonsumsi beras di tengah bahan pangan pokok lainnya, seperti jagung dan singkong.
Dosen Universitas Jember itu mencatat pada tahun 1945 konsumsi beras baru mencapai 53,5 persen dan sisanya dipenuhi dari ubi kayu (22,26 persen), jagung (18,9 persen) dan kentang (4,99 persen).
"Setelah 33 tahun, pada 1987, pola pangan sudah bergeser luar biasa, yakni beras 81 persen, ubi kayu 10,02 persen dan jagung 7,82 persen," katanya.
Pada 2010, lanjut dia, konsumsi terigu naik 500 persen, yakni 15 kilogram terigu per kapita per tahun dalam kurun waktu 30 tahun.
"Pangsa pangan selain beras dalam pola konsumsi pangan pokok nyaris hilang," katanya.
Namun, Kementerian Pertanian telah menetapkan dalam rencana strategis (Renstra) 2015--2019 bahwa komoditas ubi kayu termasuk dalam komoditas strategis yang akan diakselerasi.
Dalam kesempatan sama Direktur Pascapanen Tanaman Pangan Pending Dadih Permana menyebutkan konsep kebijakan pengembangan ubi kayu dimulai dari pengembangan kawasan yang berorientasi pada kekuatan pasar (market driven), integrasi hulu-hilir dengan pendalaman "supply chain management" (manajemen rantai ketersediaan), rantai nilai, tata niaga dan rencana bisnis.
"Jangan sampai terjadi jual putus antara produsen dan pasar harus ada sistem yang disepakati , sehingga kepastian pasokan dan pemenuhan pasar industri konsumen terpenuhi dengan harga yang layak," katanya. (WDY)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014