Denpasar (Antara Bali) - Bentara Budaya Bali (BBB) sebagai lembaga kebudayaan nirlaba Kompas-Gramedia menggelar dialog sastra bertajuk "Sandyakala Sastra #40: Puisi-Puisi dan Kisah Penyair dari Pesantren" yang melibatkan sejumlah sastrawan dari empat kota di Indonesia.

"Sejumlah sastrawan antara lain Binhad Nurohmat, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Sahlul Fuad dan M. Faizi telah menyatakan kepastiannya unruk hadir dalam diskusi sastra yang akan digelar Sabtu (26/7)," kata staf BBB Putu Aryasthawa di sela-sela persiapan kegiatan tersebut di Denpasar, Jumat.

Ia mengatakan dialog sastra kali ini secara khusus mengetengahkan

pembacaan puisi, pembahasan buku dan diskusi seputar fenomena karya sastra yang terlahir dari dunia pesantren, disertai pemutaran film dokumenter.

"Acara yang merujuk pada buku JIMAT NU (2014) yang merupakan buku ketiga yang menghimpun tulisan Jamaah NU Miring (seniman). Buku sebelumnya adalah Dari Kiai Kampung ke NU Miring (2010) dan NUhammadiyah Bicara Nasionalisme (2012). Karya-karya mereka terangkum dalam bunga rampai sebelumnya, kali ini dengan mengambil tajuk JIMAT NU," katanya.

Sejumlah sastrawan tersebut mengadakan kegiatan sastra ke sejumlah kota di Nusantara dengan mengagendakan dialog buku, pementasan sastra, musik dan karya visual yang berisi kegiatan kesenian.

Menyebut dirinya sebagai Jamaah "NU Miring", para sastrawan dan seniman yang terlibat dalam acara itu menyatakan kegiatannya murni satu ekspresi akan keindahan.

Mereka mencipta dan berekspresi sambil mengelak dari bentuk organisasi yang mapan maupun pengaruh ideologi yang seringkali dianggap hanya sekadar alat yang mengaburkan tujuan.

Jamaah "NU Miring" itu mengedepankan ekspresi kejujuran dan ketulusan dan bukan taklid kepada rasionalisme. Bagi mereka, rasio bukan satu-satunya alat untuk memahami realitas.

Rasionalisme terlampau mengedepankan doktrin yang dinilai justru akan mengaburkan atau menyusutkan realitas sebagai keniscayaan kenyataan.

"Bagi jamaah seniman ini, intuisi dan pancaindera juga terbukti melengkapi pemahaman terhadap apa yang disebut sebagai realitas. Berangkat dari kesadaran itulah, mereka berkreasi dan berhimpun dalam laku penciptaan," ujar Putu Aryasthawa. (WDY)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Gusti Bagus Widyantara


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014