Badung (Antara Bali) - Pemerintah Kabupaten Badung kesulitan mengimplementasikan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa karena desa adat dan desa dinas di Bali saling memiliki keterkaitan.

"Kami belum bisa menentukan, apakah desa adat atau desa dinas yang harus menerapkan undang-undang tersebut? Selama ini peraturan tentang desa adat dan desa dinas di Bali selalu terpisah. Sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda sampai saat ini peraturan perundang-undangan selalu memisahkan antara desa adat dan desa dinas," kata Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Pemerintah Desa Kabupaten Badung, Putu Gede Sridana, Kamis.

Ia menjelaskan bahwa dalam UU Nomor 6/2014 mengatur bahwa desa adat dan desa dinas tidak boleh saling intervensi. "Sementara di Bali desa adat dan desa dinas bagaikan pasangan suami-istri yang saling membutuhkan antara satu dengan yang lain," ujarnya.

Menurut dia, penerapan undang-undang itu bukan persoalan dana bantuan dari pusat, melainkan persoalan yang lebih besar, termasuk mengenai batas wilayah. Apalagi jumlah desa adat di Kabupaten Badung lebih besar daripada desa dinas. Di kabupaten terkaya di Provinsi Bali itu, desa adat jumlahnya 123, sedangkan desa dinas hanya 46.

"Desa adat di Badung ada yang wilayahnya sampai Kabupaten Tabanan dan Kota Denpasar sehingga tidak mudah untuk menerapkan undang-undang tersebut. Kami punya rencana mengadakan pertemuan dengan `stakeholder` untuk membicarakan masalah ini," ujarnya.

Desa adat di Bali yang dikenal dengan sebutan desa "pakraman" lebih banyak mengurusi kegiatan ritual keagamaan, kebudayaan, dan penegakan peraturan desa adat atau "awig-awig", sedangkan desa dinas lebih banyak mengurusi masalah administrasi kependudukan. Wilayah desa adat pun bersinggungan dengan desa dinas, termasuk persebaran penduduk.

Kepala desa adat yang disebut dengan "bendesa" dipilih oleh beberapa kepala banjar atau dusun adat di wilayah tersebut, sedangkan desa dinas dikepalai "perbekel" yang dipilih secara langsung oleh penduduk desa tersebut.

"Kalau pun nanti yang akan mengimplementasikan undang-undang tersebut desa adat, maka numenkelaturnya harus diubah dan diusulkan kepada pusat. Namun yang pasti, semua pihak ingin mempertahankan kedua-duanya, ya desa adat, ya desa dinas," kata Sridana menambahkan.

Terlepas dari persoalan tersebut, Pemkab Badung selama ini memiliki komitmen yang kuat terhadap pembangunan desa, baik desa adat maupun desa dinas.

Pada tahun 2012, bantuan keuangan umum (BKU) yang dikucurkan oleh Pemkab Badung untuk program pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa mencapai Rp1 miliar per desa. Kemudian pada 2013 jumlah rata-rata mencapai Rp2,2 miliar per desa. "Tahun ini BKU bervariasi antara Rp3,5 miliar hingga Rp5,3 miliar per desa atas pertimbangan ADD (alokasi dana desa)," ujarnya.

Selain BKU, desa adat dan desa dinas di Kabupaten Badung masih mendapatkan bantuan keuangan khusus (BKK) yang besarnya tergantung proposal yang diajukan oleh masyarakat desa tersebut. (WRA) 

Pewarta: Oleh M. Irfan Ilmie

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014