Denpasar (Antara Bali) - Pengamat budaya dari Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Dr Ketut Sumadi menilai, umat Hindu dalam menetralisir pencemaran (keletehan) dari ratusan pesawat udara yang melintasi Bali setiap harinya secara rutin menggelar ritual "bhuta yadnya" (caru).

"Pesawat terbang yang melintas di udara Pulau Dewata melewati pura dan tempat-tempat suci lainnya dalam keyakinan orang Bali dirasakan menimbulkan keletehan (pencemaran) terhadap tempat suci," kata Dr Ketut Sumadi yang juga Direktur Program Doktor Ilmu Agama Pascasarjana IHDN Denpasar, Jumat.

Ia mengatakan, untuk menetralisir dampak pencemaran itulah, orang Bali rutin menggelar ritual "bhuta yadnya" sebagai tahap awal dalam setiap prosesi ritual piodalan (perayaan hari suci keagamaan) di lingkungan rumah tangga, pura (tempat suci) setiap enam bulan sekali dan di tempat-tempat tertentu secara berkala.

"Semua ritual itu memerlukan biaya yang besar dan sekarang menjadi beban berat hidup orang Bali di tengah berkembangnya pariwisata dan meningkatnya volume lalu-lintas penerbangan di atas Pulau Bali," ujar Ketut Sumadi.

Setiap hari ribuan wisatawan mancanegara maupun wisatawan dalam negeri menggunakan jasa penerbangan di Bandara Ngurah Rai dipunguti "airport tax".

Pemerintah, khususnya pengelola Bandara Ngurah Rai semestinya tidak ragu-ragu meningkatkan kontribusinya kepada penduduk lokal Bali yang untuk melaksanakan aktivitas religius demi menjaga keamanan dan kenyamanan semua orang yang tinggal di Pulau Dewata.

Pendapatan dari bandara itu hendaknya sebagian bisa disisihkan yang bisa dimanfaatkan untuk kepentingan menjaga kearifan lokal Bali, termasuk mendukung kegiatan-kegiatan ritual.

Semakin meriah

Ketut Sumadi mengingatkan, meskipun hingga kini tidak ada kontribusi dari Bandara Ngurah Rai maupun pihak hotel dan pengelola fasilitas pariwisata lainnya kepada penduduk lokal Bali, berkat berkembangnya pariwisata, aktivitas religius di Bali tampak semakin meriah.

Warga desa adat semakin sadar dan bergairah mengikuti setiap prosesi ritual, meski untuk itu banyak diantara mereka yang rela menjual tanah warisan leluhurnya.

Sikap kebersamaan dan penuh kegembiraan itulah merupakan sikap dewasa kaum beragama dalam iman dan amalnya, yang akhirnya berkembang menjadi masyarakat religius.

"Kemeriahan dan kegairahan tersebut memang bukan merupakan hal yang bersifat hura-hura, namun sebagai wujud rasa bhakti (sujud dengan hati suci) krama desa kepada Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa," ujar Ketut Sumadi.

Masyarakat mempunyai keyakinan bahwa jika bhakti melaksanakan yadnya, maka Tuhan berkenan melimpahkan keselamatan dan kesejahteraan kepada masyarakat melalui industri pariwisata.

Dari persepsi "bhakti dan sweca" itulah tumbuh kesadaran krama desa adat dan pelaku industri pariwisata di Kuta, untuk terus menjaga hubungan harmonis antara kegiatan religius dengan aktivitas kerja sehari-hari yang secara langsung atau tidak langsung saling memberi kontribusi.

Sikap religius itu juga terlihat dari perlakuan krama desa adat di Bali yang sangat menyayangi para wisatawan, terutama wisatawan asing yang sedang berwisata di Pulau Dewata.

Wisatawan diberi kebebasan untuk berinteraksi dan menyaksikan praktik-praktik kearifan lokal yang dilaksanakan oleh Desa Adat di Bali, tutur Ketut Sumadi. (*/DWA)

Pewarta: Oleh IK Sutika

Editor : Dewa Sudiarta Wiguna


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2014