Kuta (Antara Bali) - Parlemen Eropa merasa yakin "Paket Bali" yang menjadi kesepakatan Konferensi Tingkat Menteri Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) nantinya dapat mengatasi kesenjangan antara negara sedang berkembang dengan negara terbelakang.
"Paket Bali saya kira sangat penting karena akan membawa perubahan cepat pada sistem perdagangan multilateral dan bermanfaat bagi negara sedang berkembang dengan negara terbelakang," kata Jorg Leichtfried sebagai juru bicara Parlemen Eropa pada Konferensi Parlemen WTO di Kuta, Bali, Kamis.
Menurut dia beberapa negara sedang berkembang telah mengalami perubahan besar setelah akses perdagangan bebas dibuka.
"Memang perdagangan bebas tidak selalu otomatis (berdampak positif bagi perekomian suatu negara) karena yang terpenting dalam perdagangan bebas itu adalah asas keadilan untuk menghilangkan kesenjangan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat," kata Leichtfried.
Oleh sebab itu, dia menganggap kesepakatan yang dihasilkan dari Konferensi Parlemen WTO yang digelar di Kuta pada 2 dan 5 Desember 2013 itu sangat penting sebagai bagian dari upaya parlemen memanfaatkan pengaruh politiknya pada KTM WTO.
Dalam kesempatan itu pula, dia mengusulkan kepada WTO untuk memasukkan masalah hak asasi manusia (HAM), hak lingkungan, dan hak sosial setelah Paket Bali disepakati.
"WTO bisa memberikan sanksi kepada negara yang perdagangannya melanggar ketiga hak itu," ujarnya.
Menurut dia HAM dan kelestarian lingkungan serta hak sosial pekerja harus mendapat perlindungan dari sistem perdagangan multilateral.
Namun usulan Leichtfried tersebut tidak mendapatkan respons dari para peserta Konferensi Parlemen WTO, termasuk Indonesia. "Kita sepakati dulu saja Paket Bali sebelum berbicara mengenai HAM dan lingkungan," ujar Nurhayati Ali Assegaf, delegasi Indonesia pada konferensi tersebut.
Sementara itu, Kazutoshi Chatani selaku pakar ekonomi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mendesak WTO membedakan mekanisme pasar uang dan komoditas dengan pasar tenaga kerja.
"Perdagangan uang dan komoditas sangat mudah, apalagi sekarang era `online`. Tapi tidak demikian dengan pasar tenaga kerja. Karena yang kita tempatkan adalah orang sehingga butuh kebijakan yang tepat," katanya saat berbicara di depan 39 anggota parlemen dari 39 negara itu.
Ia mencontohkan industri tekstil yang saat ini daya saingnya berkurang. "Padahal untuk menjadikan seorang insinyur tekstil tidak bisa dalam waktu semalam. Kalau negara gagal dalam mengatasi pekerja tekstil, maka sudah barang tentu upah pekerja naik, sedangkan daya saingnya menurun," kata Kazutoshi.
Menurut dia, WTO harus bisa mengantisipasi dampak perdagangan bebas terhadap lalu lintas pekerja untuk menjaga fleksibilitas perekenomian di negara-negara anggota. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
"Paket Bali saya kira sangat penting karena akan membawa perubahan cepat pada sistem perdagangan multilateral dan bermanfaat bagi negara sedang berkembang dengan negara terbelakang," kata Jorg Leichtfried sebagai juru bicara Parlemen Eropa pada Konferensi Parlemen WTO di Kuta, Bali, Kamis.
Menurut dia beberapa negara sedang berkembang telah mengalami perubahan besar setelah akses perdagangan bebas dibuka.
"Memang perdagangan bebas tidak selalu otomatis (berdampak positif bagi perekomian suatu negara) karena yang terpenting dalam perdagangan bebas itu adalah asas keadilan untuk menghilangkan kesenjangan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat," kata Leichtfried.
Oleh sebab itu, dia menganggap kesepakatan yang dihasilkan dari Konferensi Parlemen WTO yang digelar di Kuta pada 2 dan 5 Desember 2013 itu sangat penting sebagai bagian dari upaya parlemen memanfaatkan pengaruh politiknya pada KTM WTO.
Dalam kesempatan itu pula, dia mengusulkan kepada WTO untuk memasukkan masalah hak asasi manusia (HAM), hak lingkungan, dan hak sosial setelah Paket Bali disepakati.
"WTO bisa memberikan sanksi kepada negara yang perdagangannya melanggar ketiga hak itu," ujarnya.
Menurut dia HAM dan kelestarian lingkungan serta hak sosial pekerja harus mendapat perlindungan dari sistem perdagangan multilateral.
Namun usulan Leichtfried tersebut tidak mendapatkan respons dari para peserta Konferensi Parlemen WTO, termasuk Indonesia. "Kita sepakati dulu saja Paket Bali sebelum berbicara mengenai HAM dan lingkungan," ujar Nurhayati Ali Assegaf, delegasi Indonesia pada konferensi tersebut.
Sementara itu, Kazutoshi Chatani selaku pakar ekonomi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mendesak WTO membedakan mekanisme pasar uang dan komoditas dengan pasar tenaga kerja.
"Perdagangan uang dan komoditas sangat mudah, apalagi sekarang era `online`. Tapi tidak demikian dengan pasar tenaga kerja. Karena yang kita tempatkan adalah orang sehingga butuh kebijakan yang tepat," katanya saat berbicara di depan 39 anggota parlemen dari 39 negara itu.
Ia mencontohkan industri tekstil yang saat ini daya saingnya berkurang. "Padahal untuk menjadikan seorang insinyur tekstil tidak bisa dalam waktu semalam. Kalau negara gagal dalam mengatasi pekerja tekstil, maka sudah barang tentu upah pekerja naik, sedangkan daya saingnya menurun," kata Kazutoshi.
Menurut dia, WTO harus bisa mengantisipasi dampak perdagangan bebas terhadap lalu lintas pekerja untuk menjaga fleksibilitas perekenomian di negara-negara anggota. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013