Oleh I Ketut Sutika
Denpasar (Antara Bali) - Penjor, bambu berhias enau dan janur itu membuat semarak Pura Sakenan, di Desa Adat Serangan, Kota Denpasar, tempat berlangsungnya ritual Kuningan yang digelar umat Hindu.
Umat Hindu Dharma pada Sabtu, 22 Mei 2010, merayakan hari raya Kuningan, rangkaian hari raya Galungan yang bermakna memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) melawaan Adharma (keburukan).
Upacara besar yang dihadiri ribuan umat Hindu dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali, persiapannya dilakukan jauh-jauh hari.
Yang unik, persiapan itu tidak hanya dilakukan umat Hindu, namun juga melibatkan warga Kampung Bugis yang beragama Islam, di desa adat Serangan.
I Wayan Karma (38), tokoh masyarakat setempat menuturkan, desa adat serangan terdiri atas enam banjar dan satu kampung Bugis. Mereka "mesra dan harmonis", hidup berdampingan satu sama lainnya, selama ini tidak pernah terjadi masalah.
Kerukunan hidup beragama berlangsung secara turun-temurun sejak orang Bugis, Sulawesi Selatan, datang dan bermukim di Kampung Bugis, Pulau Serangan, pada sekitar abad XVII.
"Mereka hidup rukun dan saling membantu satu sama lain, sehingga layak menjadi contoh bagi kerukunan antarumat beragama," ungkap Wayan Karma di sela-sela memimpin gotong royong membersihkan areal parkir, menyiapkan tenda dan pembangun posko.
Ungkapan itu dilandasi atas kenyataan, peran serta kaum Muslim dalam menyukseskan kegiatan-kegiatan Hindu. Demikian pula jika Muslim dalam menyambut hari-hari besar keagamaan, umat Hindu tanpa pernah diminta akan membantu, apa yang bisa dilakukan dalam menyambut hari suci umat Islam.
Mohammad Sidik (39), seorang warga Kampung Bugis menuturkan, warga non Hindu semata-mata tidak hanya dilibatkan untuk persiapan, namun pada acara puncak bertepatan dengan Hari Raya Kuningan juga diikutsertakan.
Kepanitiaan kegiatan ritual di Pura Sakenan juga melibatkan Muslim. Mereka berbaur satu sama lain. Mengenakan pakaian adat Bali mereka ikut membantu kelancaran saat umat Hindu melaksanakan piodalan di Pura Sakenan.
"Saya sering kali ditunjuk sebagai pecalang, petugas keamanan desa adat yang bertugas menjaga pintu masuk pura. Saya diberi kewenangan untuk menutup pintu sekaligus melarang umat masuk jika halaman pura sudah penuh, sehingga menunggu persembahyangan tahap berikutnya," tutur ayah dari dua putra-putri yang berprofesi sebagai nelayan.
Warga Kampung Bugis di Wilayah Desa Adat Serangan yang mewarisi tradisi atau upacara "Sinto" yang dilakukan setahun sekali yakni pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW itu. Selama ini hidup rukun dan harmonis dengan tetangganya yang beragama Hindu.
Kerukunan antar umat beragama sangat kokoh, tidak pernah terjadi masalah yang menyangkut antar agama dan kondisi demikian itu sudah disadari dan semua pihak bertekad untuk memelihara dan lebih dimantapkan pada masa-masa mendatang.
Kerukunan antarumat beragama yang demikian itu tidak jauh berbeda dengan kerukunan antar umat secara umum di Pulau Dewata, ujar Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali Dr I Gusti Ngurah Sudiana.
Kehidupan umat beragama yang mesra dan harmonis di Bali juga tercermin dari aktualisasi budaya antara Islam dan Hindu. Kesenian hasil perpaduan antara unsur seni Bali dan Islam itu pernah disuguhkan dalam memeriahkan pembukaan STQ ke XIII tingkat Nasional di Pulau Dewata tahun 1988.
Membeludak
Setiap "piodalan" Hari Raya Kuningan di Pura Sakenan, salah satu pura "Sad Kayangan", umat Hindu selalu membludak untuk melakukan persembahyangan di Pura tersebut.
Mengenakan pakaian adat Bali, ribuan umat datang ke Pura Sakenan yang berlokasi di Kelurahan Serangan, Kota Denpasar. Tempat suci itu sebelumnya terpisah dengan daratan Pulau Bali, sehingga umat Hindu yang bersembahyang ke sana menggunakan jasa perahu motor atau jukung.
Namun sekarang lokasi tersebut menyatu dengan daratan Pulau Bali, berkat adanya pengerukan dan perluasan yang dilakukan oleh Bali Turtle Island Development (BTID), sebuah perusahaan swasta nasional, kini daerah itu menjadi satu dengan daratan Bali.
Masyarakat kini dengan mudah bisa menjangkau lokasi itu dengan kendaraan bermotor. Desa adat Serangan telah menyediakan tempat parkir yang memadai, termasuk mengatur lalu lintas dengan harapan lancar terhindar dari kemacetan.
Sebelum ada perluasan Pulau Serangan tahun 1995, masyarakat yang hendak melaksanakan persembahyangan ke Pura Sakenan hanya bisa ditempuh menggunakan jasa perahu motor atau berjalan kaki tiga kilometer di pesisir pantai untuk mencapai tempat suci Pura Sakenan, saat air laut surut.
Wisatawan mancanegara yang umumnya mengenakan pakaian adat Bali maupun kain ikut berbaur dengan umat Hindu untuk menyaksikan jalannya upacara keagamaan yang berlangsung setiap 210 hari sekali.
Pura Sakenan tempat suci umat Hindu yang berada tidak jauh dari jalur bebas hambatan Sanur-Nusa Dua itu memiliki keunikan dan keistimewaan.
Pura "Sad Kayangan" itu memiliki "Persada" yang tidak ada pada pura lainnya di Bali. "Persada" merupakan bangunan yang bertingkat-tingkat seperti limas.
Menurut sejarah pura Sakenan dibangun oleh Asthapaka, seorang pendeta Budha. Hal itu dilakukan karena sang pendeta kagum akan keindahan laut berpadu dengan keindahan daratan.
Sang pendeta merasa bahwa di tempat itu ada suatu kekuatan suci, sangat baik untuk memuja Tuhan demi keselamatan dan kesejahteraan umat manausia.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010
Denpasar (Antara Bali) - Penjor, bambu berhias enau dan janur itu membuat semarak Pura Sakenan, di Desa Adat Serangan, Kota Denpasar, tempat berlangsungnya ritual Kuningan yang digelar umat Hindu.
Umat Hindu Dharma pada Sabtu, 22 Mei 2010, merayakan hari raya Kuningan, rangkaian hari raya Galungan yang bermakna memperingati kemenangan Dharma (kebaikan) melawaan Adharma (keburukan).
Upacara besar yang dihadiri ribuan umat Hindu dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali, persiapannya dilakukan jauh-jauh hari.
Yang unik, persiapan itu tidak hanya dilakukan umat Hindu, namun juga melibatkan warga Kampung Bugis yang beragama Islam, di desa adat Serangan.
I Wayan Karma (38), tokoh masyarakat setempat menuturkan, desa adat serangan terdiri atas enam banjar dan satu kampung Bugis. Mereka "mesra dan harmonis", hidup berdampingan satu sama lainnya, selama ini tidak pernah terjadi masalah.
Kerukunan hidup beragama berlangsung secara turun-temurun sejak orang Bugis, Sulawesi Selatan, datang dan bermukim di Kampung Bugis, Pulau Serangan, pada sekitar abad XVII.
"Mereka hidup rukun dan saling membantu satu sama lain, sehingga layak menjadi contoh bagi kerukunan antarumat beragama," ungkap Wayan Karma di sela-sela memimpin gotong royong membersihkan areal parkir, menyiapkan tenda dan pembangun posko.
Ungkapan itu dilandasi atas kenyataan, peran serta kaum Muslim dalam menyukseskan kegiatan-kegiatan Hindu. Demikian pula jika Muslim dalam menyambut hari-hari besar keagamaan, umat Hindu tanpa pernah diminta akan membantu, apa yang bisa dilakukan dalam menyambut hari suci umat Islam.
Mohammad Sidik (39), seorang warga Kampung Bugis menuturkan, warga non Hindu semata-mata tidak hanya dilibatkan untuk persiapan, namun pada acara puncak bertepatan dengan Hari Raya Kuningan juga diikutsertakan.
Kepanitiaan kegiatan ritual di Pura Sakenan juga melibatkan Muslim. Mereka berbaur satu sama lain. Mengenakan pakaian adat Bali mereka ikut membantu kelancaran saat umat Hindu melaksanakan piodalan di Pura Sakenan.
"Saya sering kali ditunjuk sebagai pecalang, petugas keamanan desa adat yang bertugas menjaga pintu masuk pura. Saya diberi kewenangan untuk menutup pintu sekaligus melarang umat masuk jika halaman pura sudah penuh, sehingga menunggu persembahyangan tahap berikutnya," tutur ayah dari dua putra-putri yang berprofesi sebagai nelayan.
Warga Kampung Bugis di Wilayah Desa Adat Serangan yang mewarisi tradisi atau upacara "Sinto" yang dilakukan setahun sekali yakni pada peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW itu. Selama ini hidup rukun dan harmonis dengan tetangganya yang beragama Hindu.
Kerukunan antar umat beragama sangat kokoh, tidak pernah terjadi masalah yang menyangkut antar agama dan kondisi demikian itu sudah disadari dan semua pihak bertekad untuk memelihara dan lebih dimantapkan pada masa-masa mendatang.
Kerukunan antarumat beragama yang demikian itu tidak jauh berbeda dengan kerukunan antar umat secara umum di Pulau Dewata, ujar Ketua Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) Bali Dr I Gusti Ngurah Sudiana.
Kehidupan umat beragama yang mesra dan harmonis di Bali juga tercermin dari aktualisasi budaya antara Islam dan Hindu. Kesenian hasil perpaduan antara unsur seni Bali dan Islam itu pernah disuguhkan dalam memeriahkan pembukaan STQ ke XIII tingkat Nasional di Pulau Dewata tahun 1988.
Membeludak
Setiap "piodalan" Hari Raya Kuningan di Pura Sakenan, salah satu pura "Sad Kayangan", umat Hindu selalu membludak untuk melakukan persembahyangan di Pura tersebut.
Mengenakan pakaian adat Bali, ribuan umat datang ke Pura Sakenan yang berlokasi di Kelurahan Serangan, Kota Denpasar. Tempat suci itu sebelumnya terpisah dengan daratan Pulau Bali, sehingga umat Hindu yang bersembahyang ke sana menggunakan jasa perahu motor atau jukung.
Namun sekarang lokasi tersebut menyatu dengan daratan Pulau Bali, berkat adanya pengerukan dan perluasan yang dilakukan oleh Bali Turtle Island Development (BTID), sebuah perusahaan swasta nasional, kini daerah itu menjadi satu dengan daratan Bali.
Masyarakat kini dengan mudah bisa menjangkau lokasi itu dengan kendaraan bermotor. Desa adat Serangan telah menyediakan tempat parkir yang memadai, termasuk mengatur lalu lintas dengan harapan lancar terhindar dari kemacetan.
Sebelum ada perluasan Pulau Serangan tahun 1995, masyarakat yang hendak melaksanakan persembahyangan ke Pura Sakenan hanya bisa ditempuh menggunakan jasa perahu motor atau berjalan kaki tiga kilometer di pesisir pantai untuk mencapai tempat suci Pura Sakenan, saat air laut surut.
Wisatawan mancanegara yang umumnya mengenakan pakaian adat Bali maupun kain ikut berbaur dengan umat Hindu untuk menyaksikan jalannya upacara keagamaan yang berlangsung setiap 210 hari sekali.
Pura Sakenan tempat suci umat Hindu yang berada tidak jauh dari jalur bebas hambatan Sanur-Nusa Dua itu memiliki keunikan dan keistimewaan.
Pura "Sad Kayangan" itu memiliki "Persada" yang tidak ada pada pura lainnya di Bali. "Persada" merupakan bangunan yang bertingkat-tingkat seperti limas.
Menurut sejarah pura Sakenan dibangun oleh Asthapaka, seorang pendeta Budha. Hal itu dilakukan karena sang pendeta kagum akan keindahan laut berpadu dengan keindahan daratan.
Sang pendeta merasa bahwa di tempat itu ada suatu kekuatan suci, sangat baik untuk memuja Tuhan demi keselamatan dan kesejahteraan umat manausia.(*)
Editor : Masuki
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010