Jakarta (Antara Bali) - Potongan rambutnya pendek, jika tidak diperhatikan seksama
banyak yang mengira gadis mungil yang mempunyai tinggi 125 centimeter
itu anak lelaki.
Namanya Risma. Nama lengkapnya Ni Putu Risma Yanti, berasal dari Kintamani, Bali. Risma terlihat malu-malu berada di kerumunan orang yang mengerubunginya sesampainya dari Basel, Swiss, di Bandara Soekarno Hatta,Rabu.
Namun siapa sangka dibalik sifatnya yang pemalu, Risma adalah seorang petarung. Dia seorang karateka belia yang mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.
Saat ini, Risma memegang sabuk coklat. Seharusnya, dia memegang sabuk hitam, namun umurnya yang masih di bawah 14 tahun, sehingga mau tidak mau dia harus puas dengan sabuk coklat.
Tim karateka Indonesia yang terdiri dari 12 pelajar SMA dan SMP, berhasil membawa pulang lima medali emas, tiga medali perak dan lima medali perunggu dalam kejuaraan karate kelas dunia Basel Open Master 2013 yang berlangsung 19-20 Oktobe lalu.
Hebatnya lagi, Risma meraih dua medali sekaligus yakni emas dari kategori kata perorangan dan perak dari kategori kumite perorangan putri kurang dari 47 kilogram.
"Awalnya memang agak takut-takut, melihat lawan yang besar-besar badannya," ujar pelajar kelas VIII SMPN 1 Kintamani tersebut.
Meski demikian, Risma tidak gentar. Dia membulatkan tekad, turun melawan karateka yang postur tubuhnya lebih tinggi dari dirinya.
"Untuk mencari poin, saya mengarah ke perutnya. Walaupun dapat poin tidak banyak," lanjut dia.
Akhirnya dia, meraih medali perak untuk kategori kumite. Sementara untuk kategori kata yang lebih sulit, dia meraih medali emas.
Selain masalah lawan, lanjut dara kelahiran 12 Februari 2000 itu, suhu yang dingin juga menjadi kendala. Tim Indonesia tiba di Basel, Swiss, disambut dengan suhu sembilan derajat celsius, padahal saat itu jam menunjukkan pukul 11 siang.
"Karena dingin, pemanasan harus lama. Beda di Indonesia, pemanasan dikit, sudah berkeringat," jelas anak pasangan Ketut Nuyati dan I Wayan Reken itu.
Anak pedagang jeruk itu menceritakan karate adalah panggilan jiwanya. Ayahnya yang juga seorang karateka mengenalkan beladiri asal Jepang itu pada dirinya.
"Terus saya juga melihat senior berlatih di sekolah."
Setiap hari, Risma tidak lelah mengikuti latihan. Untuk Senin hingga Sabtu, dia berlatih mulai pukul 16.00 hingga 19.00 WITA. Sedangkan pada Minggu dia berlatih mulai pukul 07.00 hingga 10.00 WITA.
Olahraga tersebut juga bermanfaat bagi dirinya untuk pertahanan diri. "Saya ingin menjadi guru olahraga," cetus Risma saat ditanya mengenai cita-citanya.
Atas prestasinya itu, Kemendikbud memberikan hadiah uang sebesar Rp22,5 juta. Risma mengatakan uang tersebut akan diberikan kepada orang tuanya.
Susah Cari Poin
Karateka belia lainnya, Muhammad Zulfikri Firmansyah yang meraih medali perunggu mengatakan dirinya sulit mencari poin menghadapi lawan yang postur tubuhnya lebih besar.
"Kalau kena kepala dapat tiga poin. Tapi itu jarang, biasanya hanya dapat satu poin karena kena di bawah kepala," ujar pelajar kelas IX SMP Global Andalan, Pelalawan, Riau itu.
Selain itu, kata Fikri, lawannya yang besar-besar itu suka memepet dirinya. Sehingga sulit bagi dirinya untuk mencuri poin.
"Alhamdulillah dapat perunggu juga. Ini pengalaman berharga buat saya," kata Fikri yang mendapat bonus sebesar Rp7,5 juta itu.
Lain lagi cerita Jihan Sakinah Putri Fadil yang berasal dari Sukabumi. Jihan yang meraih emas dari kategori kata perorang tersebut mengaku tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika perlombaan tersebut.
"Yang dinilai gerak seperti kekuatan, kecepatan, bentuk, dan yang terutama tidak boleh goyang," ujar Jihan yang dijemput oleh orang tuanya tersebut.
Kasubdit Kelembagaan dan Peserta Didik Direktorat Pembinaan SMP Ditjen Dikdas Supriano mengatakan prestasi itu adalah prestasi yang membanggakan.
Lebih-lebih lagi, ini untuk pertama kalinya Indonesia ikut dalam kompetisi tersebut.
"Bahkan, juri-jurinya memberi hormat pada tim Indonesia. Mereka juga mengatakan akan memberi diskon jika Indonesia ikut kembali tahun depan," kata Supriano.
Dewan juri memanggil manajer, official dan pelatih tim karate pelajar SMP dan SMA oleh organizing committee (OC) Indonesia hanya untuk menyatakan rasa kagum dan bangga. Bahkan panitia mengundang secara khusus tim dari Indonesia pada kejuaraan yang sama tahun depan.
Untuk tahun ini, kompetisi itu diikuti 29 negara. Indonesia menjadi satu-satunya peserta dari Asia. Kebanyakan negara yang ikut berasal dari Eropa seperti Republik Ceko, Austria, Belgia, Ukraina, Wales, Slovakia, Jerman, Perancis, Denmark dan Inggris.
Supriano mengatakan seluruh personil tim meraih medali semuanya, meski hanya berlatih selama dua pekan.
"Perjuangannya luar biasa, bayangkan mereka bertanding lima kali dengan durasi satu setengah menit setiap pertandingannya," kata Supriano.
Begitu usai satu pertandingan, kru dan teman-teman yang lain langsung membantu mengelap keringat maupun memijatnya.
"Habis bertanding, mereka langsung terkapar karena kelelahan."
Selain itu panitia hanya menyediakan lapangan. Sementara akomodasi dan lainnya, kita yang mencari sendiri."
Bahkan tim Indonesia membawa penanak nasi listrik ke Basel, untuk mengantisipasi masalah makanan. Manajer khawatir, makanan di Basel tidak cocok dengan lidah para karateka belia itu.
"Para karateka ini adalah para pemenang Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) di Kalimantan Timur kemarin," tambah dia.
Seleksi melalui O2SN, lanjut dia, terbukti efektif untuk menjaring bakat-bakat dari pelajar di seluruh Indonesia. Supriano berharap para karateka belia tersebut bisa terus dibina agar dapat mengharumkan nama bangsa. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
Namanya Risma. Nama lengkapnya Ni Putu Risma Yanti, berasal dari Kintamani, Bali. Risma terlihat malu-malu berada di kerumunan orang yang mengerubunginya sesampainya dari Basel, Swiss, di Bandara Soekarno Hatta,Rabu.
Namun siapa sangka dibalik sifatnya yang pemalu, Risma adalah seorang petarung. Dia seorang karateka belia yang mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional.
Saat ini, Risma memegang sabuk coklat. Seharusnya, dia memegang sabuk hitam, namun umurnya yang masih di bawah 14 tahun, sehingga mau tidak mau dia harus puas dengan sabuk coklat.
Tim karateka Indonesia yang terdiri dari 12 pelajar SMA dan SMP, berhasil membawa pulang lima medali emas, tiga medali perak dan lima medali perunggu dalam kejuaraan karate kelas dunia Basel Open Master 2013 yang berlangsung 19-20 Oktobe lalu.
Hebatnya lagi, Risma meraih dua medali sekaligus yakni emas dari kategori kata perorangan dan perak dari kategori kumite perorangan putri kurang dari 47 kilogram.
"Awalnya memang agak takut-takut, melihat lawan yang besar-besar badannya," ujar pelajar kelas VIII SMPN 1 Kintamani tersebut.
Meski demikian, Risma tidak gentar. Dia membulatkan tekad, turun melawan karateka yang postur tubuhnya lebih tinggi dari dirinya.
"Untuk mencari poin, saya mengarah ke perutnya. Walaupun dapat poin tidak banyak," lanjut dia.
Akhirnya dia, meraih medali perak untuk kategori kumite. Sementara untuk kategori kata yang lebih sulit, dia meraih medali emas.
Selain masalah lawan, lanjut dara kelahiran 12 Februari 2000 itu, suhu yang dingin juga menjadi kendala. Tim Indonesia tiba di Basel, Swiss, disambut dengan suhu sembilan derajat celsius, padahal saat itu jam menunjukkan pukul 11 siang.
"Karena dingin, pemanasan harus lama. Beda di Indonesia, pemanasan dikit, sudah berkeringat," jelas anak pasangan Ketut Nuyati dan I Wayan Reken itu.
Anak pedagang jeruk itu menceritakan karate adalah panggilan jiwanya. Ayahnya yang juga seorang karateka mengenalkan beladiri asal Jepang itu pada dirinya.
"Terus saya juga melihat senior berlatih di sekolah."
Setiap hari, Risma tidak lelah mengikuti latihan. Untuk Senin hingga Sabtu, dia berlatih mulai pukul 16.00 hingga 19.00 WITA. Sedangkan pada Minggu dia berlatih mulai pukul 07.00 hingga 10.00 WITA.
Olahraga tersebut juga bermanfaat bagi dirinya untuk pertahanan diri. "Saya ingin menjadi guru olahraga," cetus Risma saat ditanya mengenai cita-citanya.
Atas prestasinya itu, Kemendikbud memberikan hadiah uang sebesar Rp22,5 juta. Risma mengatakan uang tersebut akan diberikan kepada orang tuanya.
Susah Cari Poin
Karateka belia lainnya, Muhammad Zulfikri Firmansyah yang meraih medali perunggu mengatakan dirinya sulit mencari poin menghadapi lawan yang postur tubuhnya lebih besar.
"Kalau kena kepala dapat tiga poin. Tapi itu jarang, biasanya hanya dapat satu poin karena kena di bawah kepala," ujar pelajar kelas IX SMP Global Andalan, Pelalawan, Riau itu.
Selain itu, kata Fikri, lawannya yang besar-besar itu suka memepet dirinya. Sehingga sulit bagi dirinya untuk mencuri poin.
"Alhamdulillah dapat perunggu juga. Ini pengalaman berharga buat saya," kata Fikri yang mendapat bonus sebesar Rp7,5 juta itu.
Lain lagi cerita Jihan Sakinah Putri Fadil yang berasal dari Sukabumi. Jihan yang meraih emas dari kategori kata perorang tersebut mengaku tidak mengalami kesulitan yang berarti ketika perlombaan tersebut.
"Yang dinilai gerak seperti kekuatan, kecepatan, bentuk, dan yang terutama tidak boleh goyang," ujar Jihan yang dijemput oleh orang tuanya tersebut.
Kasubdit Kelembagaan dan Peserta Didik Direktorat Pembinaan SMP Ditjen Dikdas Supriano mengatakan prestasi itu adalah prestasi yang membanggakan.
Lebih-lebih lagi, ini untuk pertama kalinya Indonesia ikut dalam kompetisi tersebut.
"Bahkan, juri-jurinya memberi hormat pada tim Indonesia. Mereka juga mengatakan akan memberi diskon jika Indonesia ikut kembali tahun depan," kata Supriano.
Dewan juri memanggil manajer, official dan pelatih tim karate pelajar SMP dan SMA oleh organizing committee (OC) Indonesia hanya untuk menyatakan rasa kagum dan bangga. Bahkan panitia mengundang secara khusus tim dari Indonesia pada kejuaraan yang sama tahun depan.
Untuk tahun ini, kompetisi itu diikuti 29 negara. Indonesia menjadi satu-satunya peserta dari Asia. Kebanyakan negara yang ikut berasal dari Eropa seperti Republik Ceko, Austria, Belgia, Ukraina, Wales, Slovakia, Jerman, Perancis, Denmark dan Inggris.
Supriano mengatakan seluruh personil tim meraih medali semuanya, meski hanya berlatih selama dua pekan.
"Perjuangannya luar biasa, bayangkan mereka bertanding lima kali dengan durasi satu setengah menit setiap pertandingannya," kata Supriano.
Begitu usai satu pertandingan, kru dan teman-teman yang lain langsung membantu mengelap keringat maupun memijatnya.
"Habis bertanding, mereka langsung terkapar karena kelelahan."
Selain itu panitia hanya menyediakan lapangan. Sementara akomodasi dan lainnya, kita yang mencari sendiri."
Bahkan tim Indonesia membawa penanak nasi listrik ke Basel, untuk mengantisipasi masalah makanan. Manajer khawatir, makanan di Basel tidak cocok dengan lidah para karateka belia itu.
"Para karateka ini adalah para pemenang Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) di Kalimantan Timur kemarin," tambah dia.
Seleksi melalui O2SN, lanjut dia, terbukti efektif untuk menjaring bakat-bakat dari pelajar di seluruh Indonesia. Supriano berharap para karateka belia tersebut bisa terus dibina agar dapat mengharumkan nama bangsa. (WRA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013