Sepintas panggung di Jaba Pura Lingga Bhuwana, Mangupura, masih terlalu formal untuk sebuah panggung hiburan, seperti masih adanya podium berlogo Pemerintah Kabupaten Badung di pojok depan sebelah kiri.

Formasi para penabuh gamelan berseragam putih-hitam juga menambah kesan formal panggung yang terhampar di halaman pura Pusat Pemerintahan Kabupaten Badung itu. Apalagi, posisi tempat duduk para tamu undangan yang lurus menghadap panggung.

Dua penyanyi perempuan dan satu pria di atas panggung pun seakan kesulitan menghilangkan kesan resmi, setidaknya tergambar dari kostum mereka. Di tambah lagi "bebondresan" yang dibawakan tiga pelawak Bali boleh dibilang gagal mencairkan suasana Jumat (30/8) malam itu.

Padahal panggung tersebut disediakan untuk memberikan hiburan kepada pegawai Pemkab Badung dan jajaran forum pimpinan daerah saat melepas Wakil Bupati Ketut Sudikerta yang baru saja dilantik sebagai Wakil Gubernur Bali periode 2013-2018 mendampingi Gubernur petahana Made Mangku Pastika.

Sudikerta yang seharusnya malam itu menjadi bintang justru terkesan canggung. Gayanya yang lepas dan suka tampil apa adanya sama sekali tidak terlihat malam itu.

Upayanya mencairkan suasana dengan meminta izin berpidato tidak di atas mimbar yang disediakan panitia juga terlihat sia-sia. Malah pidatonya yang saat itu didampingi istri, Ida Ayu Ketut Sri Sumaitini, dan putri bungsunya, Made Ayu Dwinda Maharani Putri, terkesan kaku.

Hadirin pun seakan maklum karena mungkin saja suasana hati pria asal Pecatu, Kuta Selatan, yang saat itu mengenakan atasan warna gelap senada dengan celananya, bercampur aduk, antara sedih, haru, dan bahagia.

Duet Sudikerta dan istri membawakan lagu "Madu dan Racun" karya almarhum Ari Wibowo juga belum bisa mencairkan suasana di pelataran pura yang megah itu. Begitu juga tembang tradisional Bali berjudul "Selem-Selem Manis" yang mereka bawakan sebelum turun dari panggung belum juga mengubah suasana menjadi lebih bergairah.

Padahal lagu itu sangat mengena bagi Sudikerta yang memang hitam manis. Apalagi sebelum menyanyikannya bersama istri, Sudikerta memberikan intro, "Lagu ini kesukaan anak saya."

Kalau pun ratusan penonton memberikan aplaus atas penampilan Sudikerta dan keluarga kecilnya itu, kesannya biasa-biasa saja. Tepuk tangan miskin makna.

Ketua DPD Partai Golkar Provinsi Bali itu menyadari bahwa panggung itu bukan miliknya. Apalagi tidak ada dalam literatur yang mewajibkan seorang politikus ulung piawai menghibur masyarakat. Kecuali hanya orang-orang tertentu yang multitalenta, seperti Presiden SBY yang juga pandai bernyanyi dan mahir memainkan alat musik atau mungkin selebritas lain yang kini duduk di kursi parlemen.

Bakat "sampingan" orang-orang seperti itu memang menjadi modal tersendiri dalam meraih simpati masyarakat, meskipun bukan sebagai hal yang utama.

Panggung Sang Raja

Suasana benar-benar mencair tatkala Bupati Badung Anak Agung Gde Agung tampil di atas panggung. Kebersamannya dengan Sudikerta selama delapan tahun 24 hari memimpin Kabupaten Badung dikemasnya dalam sebuah kisah yang menyegarkan dan sesekali mengharukan.

Audiens mafhum perjalanan hidup Sudikerta, terutama di panggung politik penuh heroisme. Namun gaya penyampaian Gde Agung di panggung itu membuat penggalan demi penggalan cerita perjalanan "sang partner" menjadi lebih dinamis dan inspiratif diselingi kekonyolan-kekonyolan yang mengocok perut hadirin.

"Pak, saya sudah siap difoto dengan daster ini," kata Gde Agung menirukan ucapan Sudikerta sambil memegang kepala sebelum foto bersama untuk keperluan baliho pasangan Cabup-Cawabup Badung pada Pilkada 2005.

Kejadian konyol itu diingat-ingat terus oleh Gde Agung yang sebelum terpilih menjadi Bupati Badung periode pertama 2005-2010 berprofesi sebagai notaris yang selalu berhubungan dengan Sudikerta, pria asal daerah perbukitan di bagian selatan Pulau Dewata.

"Sampai-sampai istri saya bilang kepada Pak Sudikerta, mungkin Pak salah membawa daster? Mestinya yang dibuka daster istri di rumah," ucap Gde Agung disambut "Gerrrhhhhh...!" ratusan undangan yang memadati halaman pura.

Pada saat itu, lanjut Gde Agung, Sudikerta masih belum menyadari kesalahan pengucapan "daster" yang seharusnya "destar" atau penutup kepala pria sebagai pelengkap pakaian tradisional Bali.

"Mungkin begitu, orang-orang bukit," tambah Bupati yang makin membuat hadirin terpingkal-pingkal, termasuk Sudikerta dan keluarganya.

Sebelum mengakhiri cerita, Gde Agung mengeluarkan dompet dari saku celananya. "Saya ambil dompet bukan untuk memberikan uang kepada Pak Sudikerta. Percuma! Sama halnya `nguyahin segara` (menggarami lautan)," selorohnya.

Dikeluarkanlah secarik kertas dari dompet berwarna hitam itu. Dibacalah puisi yang disadur dari karya sastra Inggris kuno. "Puisi ini pernah saya baca ketika pertama kali saya terpilih sebagai Bupati bersama Pak Sudikerta," ucap `penglingsir` Puri Mengwi itu.

Usai berpuisi, Bupati berkumis lebat itu melangkah beberapa meter untuk mendekat ke dua penyanyi perempuan. Tapi seorang diri ia menyanyikan lagu "Kaulah Segalanya" ciptaan Tito Sumarsono yang dipopulerkan Ruth Sahanaya pada awal 1990-an.

Tangan kanannya selalu mengarah kepada Sudikerta yang duduk bersama jajaran Forpimda setiap kali lagu yang dilantunkannya itu sampai pada refrain, "kaulah segalanya untukku, kaulah curahan hati ini, tak mungkin ku melupakanmu."

Aplaus panjang mengiringi Gde Agung saat menuruni anak tangga panggung. "He he, biar nggak pusing mikirin politik terus," katanya kepada beerapa pegawai yang berdiri berjajar di belakang kursi undangan.

Pertunjukan masih belum usai. Kali ini Bupati yang malam itu mengenakan kemeja lengan panjang warna biru muda dipadu celana warna gelap naik panggung lagi.

Dia didapuk menyerahkan tumpeng dan kue ulang tahun kepada Sudikerta yang genap berusia 46 tahun pada tanggal 29 Agustus 2013 atau bertepatan dengan pelantikannya sebagai Wakil Gubernur Bali di Denpasar sehari sebelumnya.

"Tidak apa-apa ulang tahun dirayakan belakangan daripada mendahului tanggal," ujar Bupati yang kala itu didampingi istri, Ratna Gde Agung, sebelum menyerahkan potongan tumpeng dan kue tart kepada Sudikerta.

Setelah bersama-sama menyanyikan lagu wajib ulang tahun, Gde Agung tak kunjung turun dari panggung. Diraihnya pelantang suara dari tangan pembawa acara.

"Saya mau nyanyi lagi. Kali ini saya akan bawakan lagu berjudul `Walk Away`," katanya beberapa saat sebelum meminta pemain organ tunggal mencocokkan kunci nada.

Lagu bertempo rendah itu selaras dengan karakter suara Gde Agung yang bariton. Aplaus panjang pun sangat pantas untuk pria yang usianya tidak muda lagi itu, tetapi tetap enerjik dan komunikatif di atas panggung.

Berkali-kali mengeluarkan sapu tangan untuk mengelap peluh di wajahnya, tetapi Bupati tetap bersemangat untuk menyanyi lagi. Kali ini dia berduet dengan istrinya untuk melantunkan lagu "Setangkai Anggrek Bulan".

Gde Agung-Ratna melambungkan memori para penonton pada duet Broery Marantika-Emilia Contessa yang turut memopulerkan lagu ciptaan A Riyanto itu pada era 1970-an. Penonton pun mengiringinya layaknya sebuah paduan suara.

Ratusan kursi lipat yang disediakan panitia saat itu memang melompong. Tapi, di antara taman dan "wantilan" pura berdiri berjajar ratusan pejabat dan pegawai Pemkab Badung.

Rupanya mereka memilih tempat itu untuk menghindari sorotan lampu yang memang mengarah ke kursi-kursi undangan. Dengan "bersembunyi" di tempat remang-remang, mereka lebih bebas tertawa atau bahkan terbahak-bahak menyaksikan aksi panggung Sang Bupati yang sesekali memadukan gaya Broery Marantika dan Frank Sinatra.

Para pegawai dan pejabat itu menyadari adanya sekat bernama feodalisme, mengingat yang membuat mereka terpingkal adalah trah Raja Mengwi yang saat ini memerintah di kabupaten terkaya di Pulau Seribu Pura itu.(LHS)

Pewarta: Oleh M. Irfan Ilmie

Editor : M. Irfan Ilmie


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013