Denpasar (Antara Bali) - Pengamat politik I Nyoman Wiratmaja mengusulkan pembentukan regulasi yang mengatur dan menoleransi mengenai kemajemukan di Indonesia sehingga kaum minoritas tidak semakin terpinggirkan.
"Presiden menekankan toleransi dalam pidato kenegaraan, itu menunjukkan persoalan bangsa terkait kemajemukan sudah menjadi hal krusial yang harus dicarikan solusi," katanya di Denpasar, Jumat, menanggapi pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yodhoyono depan Sidang Bersama DPD RI dan DPR RI.
Menurut dia, kerukunan dalam kehidupan berbangsa itu tidak sebatas pada hubungan sosial semata, melainkan harus ditingkatkan dalam ranah yang lebih luas, seperti dalam regulasi.
"Selama ini dalam perhelatan politik, seringkali garis-garis primordial justru dibangkitkan dan menekankan putra asli daerah yang harus memimpin. Realitanya seperti ini menunjukkan bahwa seolah-olah boleh ada perbedaan, namun sesungguhnya menutup kemajemukan yang ada," ujarnya.
Demikian juga terkait pemekaran wilayah yang kian marak, ucap dia, semakin mengkapling-kapling daerah untuk kelompok yang berasal dari satu suku dan memiliki persamaan. "Ini menunjukkan semakin ada upaya mempertajam garis-garis primordial padahal sejatinya kita memang terdiri dari kalangan yang berbeda-beda," ucapnya.
Oleh karena itu, akademisi dari Universitas Warmadewa itu mengharapkan ada regulasi yang setidaknya mengatur batas minimal perihal kemajemukan.
"Dengan regulasi itu, yang minoritas bisa memperoleh posisi yang nyaman. Mereka bisa mendapatkan penghargaan dan hidup bersama-sama dan bukan di bawah bayang-bayang kaum mayoritas," ujarnya.
Di sisi lain, jika melihat ke Bali sebagai daerah yang dianggap toleran, itu karena Bali terbuka menerima perbedaan yang ada. Memang dominasi ada juga, khususnya dari sisi religius karena mayoritas beragama Hindu, tetapi itu tidak sampai mengganggu ibadah umat lain.
"Kadang kelompok ekstrem tertentu di luar Bali celakanya justru menjadikan toleransi di daerah kita sebagai tunggangan mempertajam perbedaan. Ambilah contoh penutupan bandara dan jalan saat Nyepi di Bali, bagi ekstrem tertentu ada juga yang ingin memperoleh kekhususan seperti halnya Bali untuk kepentingan kelompoknya," kata Wiratmaja.
Sementara itu, dalam pidatonya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia harus diikuti dengan kemampuan bertoleransi dan menghargai perbedaan.
"Bagaimana kita perlu menjaga toleransi dan mengelola kerukunan antar dan intra umat beragama di Indonesia, bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk ini anugerah sekaligus kewajiban untuk mengelolanya secara bijak," kata Presiden. (LHS)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
"Presiden menekankan toleransi dalam pidato kenegaraan, itu menunjukkan persoalan bangsa terkait kemajemukan sudah menjadi hal krusial yang harus dicarikan solusi," katanya di Denpasar, Jumat, menanggapi pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yodhoyono depan Sidang Bersama DPD RI dan DPR RI.
Menurut dia, kerukunan dalam kehidupan berbangsa itu tidak sebatas pada hubungan sosial semata, melainkan harus ditingkatkan dalam ranah yang lebih luas, seperti dalam regulasi.
"Selama ini dalam perhelatan politik, seringkali garis-garis primordial justru dibangkitkan dan menekankan putra asli daerah yang harus memimpin. Realitanya seperti ini menunjukkan bahwa seolah-olah boleh ada perbedaan, namun sesungguhnya menutup kemajemukan yang ada," ujarnya.
Demikian juga terkait pemekaran wilayah yang kian marak, ucap dia, semakin mengkapling-kapling daerah untuk kelompok yang berasal dari satu suku dan memiliki persamaan. "Ini menunjukkan semakin ada upaya mempertajam garis-garis primordial padahal sejatinya kita memang terdiri dari kalangan yang berbeda-beda," ucapnya.
Oleh karena itu, akademisi dari Universitas Warmadewa itu mengharapkan ada regulasi yang setidaknya mengatur batas minimal perihal kemajemukan.
"Dengan regulasi itu, yang minoritas bisa memperoleh posisi yang nyaman. Mereka bisa mendapatkan penghargaan dan hidup bersama-sama dan bukan di bawah bayang-bayang kaum mayoritas," ujarnya.
Di sisi lain, jika melihat ke Bali sebagai daerah yang dianggap toleran, itu karena Bali terbuka menerima perbedaan yang ada. Memang dominasi ada juga, khususnya dari sisi religius karena mayoritas beragama Hindu, tetapi itu tidak sampai mengganggu ibadah umat lain.
"Kadang kelompok ekstrem tertentu di luar Bali celakanya justru menjadikan toleransi di daerah kita sebagai tunggangan mempertajam perbedaan. Ambilah contoh penutupan bandara dan jalan saat Nyepi di Bali, bagi ekstrem tertentu ada juga yang ingin memperoleh kekhususan seperti halnya Bali untuk kepentingan kelompoknya," kata Wiratmaja.
Sementara itu, dalam pidatonya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia harus diikuti dengan kemampuan bertoleransi dan menghargai perbedaan.
"Bagaimana kita perlu menjaga toleransi dan mengelola kerukunan antar dan intra umat beragama di Indonesia, bangsa Indonesia adalah bangsa majemuk ini anugerah sekaligus kewajiban untuk mengelolanya secara bijak," kata Presiden. (LHS)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013