Denpasar (Antara Bali) - Organisasi pengairan tradisional bidang pertanian (Subak) bersamaan dengan seni budaya Bali diperkenalkan kepada masyarakat dunia oleh para peneliti mancanegara.

"Miguel Covarrubias, seorang peneliti, penulis, pelukis dan antropolog kelahiran Meksiko pernah menetap di Bali dan menulis buku berjudul `Island of Bali` pada tahun 1930 atau 83 tahun yang silam," tutur Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana, Prof Dr I Wayan Windia.

Buku tentang Bali Island (Pulau Bali) yang ditulis hampir seabad yang lalu, isinya masih sangat relevan dan inspiratif bagi pembacanya hingga sekarang.

Miguel Covarrubias memiliki pandangan yang sangat tajam, deskripsi pendapatnya tentang tujuan dibentuknya sistem subak, ternyata masih sangat relevan dengan tujuan-tujuan subak yang dideskripsikan oleh Coward maupun Prof Dr Nyoman Sutawan pada awal abad ke-21.

Subak dibentuk bertujuan untuk menjamin agar semua petani anggota subak tidak kekurangan air irigasi, dan melakukan kegiatan ritual. Kegiatan ritual adalah sesuatu yang khas dilakukan oleh anggota subak yang membedakannya dengan sistem irigasi lainnya di belahan dunia.

Leluhur orang Bali membangun sawah dan subak banyak berkorban, bahkan sampai berdarah-darah, karena tidak gampang membangun sawah Pulau Dewata yang berlereng-lereng.

Demikian pula setelah menjadi sawah, masih harus dibela dan dipertahankan dengan berdarah-darah. Tercatat perang Badung dan Mengwi pada Abad ke-13, salah satu pertaruhannya adalah niat kedua kerajaan untuk menguasai Tukad Mambal. Sebab, kalau Tukad Mambal dikuasai, maka ada jaminan terhadap sistem irigasi bagi sawah-sawah di kerajaan masing-masing.

Demikian betapa pentingnya sawah bagi kerajaan, karena sawah dan aktivitas pertanian, adalah salah satu landasan kultural kerajaan pada masa lampau.

Dalam perkembangannya hingga sekarang petani Bali umumnya sangat mencintai sawah warisan dari leluhurnya dan mereka sadar sangat riskan untuk menjualnya.

Namun kenyataannya banyak petani di daerah tujuan wisata ini, khususnya di daerah perkotaan menjual sawah warisan leluhurnya akibat keterpaksaan. Petani dengan terpaksa menjual sawahnya, akibat tidak mampu lagi bertahan dari tekanan lingkungan sosial-ekonomi yang sangat kuat.

Kelemahan pokok dari semua lembaga yang berlandaskan sosio-kultural (termasuk subak) adalah bahwa mereka tidak tahan terhadap tekanan eksternalnya, atau lingkungan sekitarnya.

Pendapatan Petani Rendah

Tekanan utama yang dihadapi subak di Bali antara lain pendapatan petani sangat kecil, karena petani yang menanam padi pada lahan garapan seluas satu hektare, penghasilannya hanya sekitar Rp2 juta/bulan atau Rp8 juta per musim tanam.

Pendapatan tersebut relatif kecil, paling rendah dibanding menekuni sektor industri kecil, buruh bangunan maupun jasa pariwisata. Penghasilan yang relatif kecil untuk lahan garapan seluas satu hektare, padahal petani Bali umumnya menggarap lahan rata-rata 20 are, sehingga penghasilannya lebih kecil lagi.

Pada sisi lain petani Bali membayar pajak bumi dan bangunan (PBB) yang sangat tinggi dan mencekik, khususnya petani yang bekerja di kawasan sawah yang berada dalam lingkungan yang sedang membangun.

Kalau di kawasan sawah ada pembangunan, maka pajak PBB-nya otomatis akan naik, karena dasar pajak PBB adalah lokasi (NJOP), padahal seharusnya yang adil adalah berdasarkan produksi.

"Sangat banyak petani yang mengeluh tak mampu membayar pajak PBB, lalu harus menjual sawahnya," ujar Prof Windia.

Akibatnya banyak petani Bali menjual sawahnya untuk melunasi pembayaran pajak. Kasus tersebut sekarang terjadi secara besar-besaran menimpa petani di kawasan sepanjang jalan by pass Ida Bagus Mantra yang melewati jalur Denpasar-Gianyar-Klungkung.

Demikian pula petani di kawasan Renon, Denpasar yang kini menjadi pusat kantor pemerintahan maupun di daerah perkotaan kabupaten lainnya di Bali.

Untuk itu pemerintah provinsi Bali serta Pemkab dan Pemkot perlu memberikan keringanan kepada petani, jika memungkinkan membebaskan petani dari PBB.

Petani yang betul-betul mengelola sawahnya untuk kepentingan pertanian agar diberikan berbagai kemudahan, termasuk bebas pajak dan kemudahan lainnya dalam bentuk subsidi bibit, pupuk dan sarana produksi pertanian lainnya.

Dengan kemudahan itu petani diharapkan mampu mempertahankan sawah garapann di tengah sulitnya mengendalikan alih fungsi lahan pertanian, sekaligus mampu bertahan di tengah persaingan ekonomi yang sangat ketat.

Badan Pusat Statistik (BPS) Bali mencatat pekerja yang menggeluti sektor pertanian di Pulau Dewata dalam setahun terakhir periode Februari 2012- Februari 2013 berkurang 73.400 orang atau 11,23 persen.

Hanya sektor pertanian satu-satunya yang mengalami penurunan jumlah pekerja, berbeda dengan sektor jasa lainnya yang justru mengalami peningkatan signifikan.

Kondisi demikian itu menyebabkan alih fungsi lahan pertanian di Bali dalam lima tahun belakangan ini sangat mengkhawatirkan sehingga bisa mengancam ketahanan panngan di daerah tujuan wisata ini.

Alih fungsi lahan mencapai 5.000 hektare, atau setiap tahunnya rata-rata 1.000 hektare. Sementara lima tahun sebelumnya, rata-rata sawah berkurang sekitar 750 hektare setiap tahunnya.

Hal ini menunjukkan adanya kecenderungan penjualan sawah, sehingga semakin cepat dan semakin meluas, karena jual beli sawah itu tidak hanya terjadi di daerah perkotaan, namun juga sampai kepedesaan.

Terjadinya penjualan sawah dengan tren yang terus meningkat itu menunjukkan masyarakat setempat mulai kurang menghargai warisan leluhurnya, padahal sawah itu dibangun dengan berdarah-darah, tutur Prof Windia. (*/ADT)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013