Denpasar (Antara Bali) - Wanita Bali mulai berkiprah sebagai penabuh instrumen gamelan, bahkan membentuk sebuah perkumpulan (sekaa) yang anggotanya khusus kaum perempuan.
"Mereka menghimpun diri dalam satu wadah untuk saling berkomunikasi, berinteraksi guna mempelajari dan mendalami instrumen musik tradisional yang sebelumnya hanya digeluti kaum pria. Sementara wanita hanya sebagai penari di atas panggung," kata I Komang Darmayuda SSn MSi, dosen Jurusan Seni Karawitan Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Jumat.
Ia mengatakan, terbentuknya sekaa gong wanita di sejumlah dusun (banjar) di Bali, adalah hasil spontanitas para wanita dalam bidang emosi religius, serta kesadaran dalam berkesenian guna meningkatkan status dan aktualisasi penampilan keindahan.
Sedikitnya ada dua komponen yang berperan dalam proses terbentuknya sekaa gong wanita, yaitu motivasi keluarga dan peranserta masyarakat.
Keberadaan wanita dalam seni karawitan, khususnya dalam memainkan instrumen gamelan, mampu mengubah pandangan masyarakat terhadap kaum hawa yang sebelumnya tereliminasi dari aktivitas seni karawitan.
Komang Darmayuda yang melakukan penelitian dan kajian terhadap sekaa gong wanita di Bali, menambahkan, melalui gamelan wanita mampu menunjukkan perubahan ikon budaya, di samping penampilan mereka dalam melengkapi kegiatan ritual.
Selain itu juga mampu menunjukkan adanya presentasi estetis, pelestarian karya-karya seni karawitan dan mengikat solidaritas.
Kondisi tersebut mampu memberikan pengaruh terhadap perubahan tatanan nilai dalam proses berkesenian secara etika dan estetika, sekaligus meningkatkan peran wanita dalam status sosial.
Komang Darmayuda menambahkan, penelitian yang menggunakan teori estetika itu mengungkapkan eksistensi sekaa gong wanita yang menyangkut keindahan, serta dari aspek musikalitas dan tata penyajiannya.
Menggunakan teori feminisme untuk menganalisa biologis wanita yang secara estetis mampu memunculkan nuansa estetis feminim dalam karawitan Bali.
Teori fungsi dipergunakan untuk menganalisis fungsi sekaa gong wanita dalam konteks ritual dan sosial di masyarakat, serta teori perubahan dalam menganalisa perkembangan wanita yang tidak hanya sebagai penari, namun terampil menjadi penabuh gamelan.
Meluasnya peranan wanita dalam seni pertunjukan berkat munculnya kesadaran dalam mengantisipasi perkembangan nilai dan zaman, termasuk tuntutan dari perkembangan pariwisata Bali yang cukup pesat, tuturnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010
"Mereka menghimpun diri dalam satu wadah untuk saling berkomunikasi, berinteraksi guna mempelajari dan mendalami instrumen musik tradisional yang sebelumnya hanya digeluti kaum pria. Sementara wanita hanya sebagai penari di atas panggung," kata I Komang Darmayuda SSn MSi, dosen Jurusan Seni Karawitan Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Jumat.
Ia mengatakan, terbentuknya sekaa gong wanita di sejumlah dusun (banjar) di Bali, adalah hasil spontanitas para wanita dalam bidang emosi religius, serta kesadaran dalam berkesenian guna meningkatkan status dan aktualisasi penampilan keindahan.
Sedikitnya ada dua komponen yang berperan dalam proses terbentuknya sekaa gong wanita, yaitu motivasi keluarga dan peranserta masyarakat.
Keberadaan wanita dalam seni karawitan, khususnya dalam memainkan instrumen gamelan, mampu mengubah pandangan masyarakat terhadap kaum hawa yang sebelumnya tereliminasi dari aktivitas seni karawitan.
Komang Darmayuda yang melakukan penelitian dan kajian terhadap sekaa gong wanita di Bali, menambahkan, melalui gamelan wanita mampu menunjukkan perubahan ikon budaya, di samping penampilan mereka dalam melengkapi kegiatan ritual.
Selain itu juga mampu menunjukkan adanya presentasi estetis, pelestarian karya-karya seni karawitan dan mengikat solidaritas.
Kondisi tersebut mampu memberikan pengaruh terhadap perubahan tatanan nilai dalam proses berkesenian secara etika dan estetika, sekaligus meningkatkan peran wanita dalam status sosial.
Komang Darmayuda menambahkan, penelitian yang menggunakan teori estetika itu mengungkapkan eksistensi sekaa gong wanita yang menyangkut keindahan, serta dari aspek musikalitas dan tata penyajiannya.
Menggunakan teori feminisme untuk menganalisa biologis wanita yang secara estetis mampu memunculkan nuansa estetis feminim dalam karawitan Bali.
Teori fungsi dipergunakan untuk menganalisis fungsi sekaa gong wanita dalam konteks ritual dan sosial di masyarakat, serta teori perubahan dalam menganalisa perkembangan wanita yang tidak hanya sebagai penari, namun terampil menjadi penabuh gamelan.
Meluasnya peranan wanita dalam seni pertunjukan berkat munculnya kesadaran dalam mengantisipasi perkembangan nilai dan zaman, termasuk tuntutan dari perkembangan pariwisata Bali yang cukup pesat, tuturnya.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010