Banjarmasin (Antara Bali) - Pemerintah Kota Denpasar belajar menangani pengemis dan gelandangan yang berhasil dilakukan oleh Pemerintah Kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan.
"Masalah pengemis tidak jauh berbeda dengan yang kami hadapi, persoalannya bagaimana mengatur itu. Sekarang modus pengemis sudah berbeda dengan dahulu, kini disinyalir ada yang mengkoordinir," kata Asisten I Sekda Kota Denpasar, Ketut Mister di Banjarmasin, Sabtu (4/5).
Menurut dia, meski telah diatur dalam peraturan daerah hingga implementasi di lapangan melalui tindakan pencegahan, penangkapan, pembinaan, hingga sosialisasi kepada masyarakat agar tidak memberikan uang kepada para pengemis, hal itu tidak menyurutkan keberadaan pengemis di Ibu Kota Provinsi Bali itu.
Kendati memiliki permasalahan yang sama, Mister mengapresiasi Pemerintah Kota Banjarmasin yang memiliki rumah singgah diperuntukkan bagi para gelandangan dan pengemis (gepeng) yang berhasil ditangkap.
Namun dia mengakui bahwa saat ini Denpasar belum memiliki rumah singgah atau rumah titipan bagi gepeng tersebut karena terbatasnya aset tanah yang diperuntukkan khusus bagi gepeng. "Kami belum memiliki rumah singgah atau rumah titipan gepeng karena belum memiliki aset tanah," ujarnya.
Asisten I Sekda Kota Banjarmasin Rusdiansyah menyatakan bahwa penanganan gelandangan dan pengemis membutuhakan kerja keras termasuk anggaran yang besar.
"Kami memiliki rumah singgah, mereka (gepeng) dimasukkan ke sana terlebih dahulu untuk efek jera dan kemudian diberikan keterampilan, tetapi kami harus memberikan konsumsi tetapi anggaran kami juga terbatas," ujarnya.
Kepala Dinas Sosial Kota Banjarmasin Agus Surono mengungkapkan bahwa selain masalah pengemis dan gepeng, pihaknya juga turut disibukkan dengan keberadaan orang gila. "Saat ini di rumah singgah terdapat 29 orang gila yang kami tangani," ujarnya.
Sama halnya dengan Kota Denpasar, sebagian besar gelandangan dan pengemis lanjut Agus berasal dari luar kota atau bahkan luar provinsi. "Setelah dilakukan investigasi sebagian besar bukan merupakan warga kami," katanya. (LHS/DWA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
"Masalah pengemis tidak jauh berbeda dengan yang kami hadapi, persoalannya bagaimana mengatur itu. Sekarang modus pengemis sudah berbeda dengan dahulu, kini disinyalir ada yang mengkoordinir," kata Asisten I Sekda Kota Denpasar, Ketut Mister di Banjarmasin, Sabtu (4/5).
Menurut dia, meski telah diatur dalam peraturan daerah hingga implementasi di lapangan melalui tindakan pencegahan, penangkapan, pembinaan, hingga sosialisasi kepada masyarakat agar tidak memberikan uang kepada para pengemis, hal itu tidak menyurutkan keberadaan pengemis di Ibu Kota Provinsi Bali itu.
Kendati memiliki permasalahan yang sama, Mister mengapresiasi Pemerintah Kota Banjarmasin yang memiliki rumah singgah diperuntukkan bagi para gelandangan dan pengemis (gepeng) yang berhasil ditangkap.
Namun dia mengakui bahwa saat ini Denpasar belum memiliki rumah singgah atau rumah titipan bagi gepeng tersebut karena terbatasnya aset tanah yang diperuntukkan khusus bagi gepeng. "Kami belum memiliki rumah singgah atau rumah titipan gepeng karena belum memiliki aset tanah," ujarnya.
Asisten I Sekda Kota Banjarmasin Rusdiansyah menyatakan bahwa penanganan gelandangan dan pengemis membutuhakan kerja keras termasuk anggaran yang besar.
"Kami memiliki rumah singgah, mereka (gepeng) dimasukkan ke sana terlebih dahulu untuk efek jera dan kemudian diberikan keterampilan, tetapi kami harus memberikan konsumsi tetapi anggaran kami juga terbatas," ujarnya.
Kepala Dinas Sosial Kota Banjarmasin Agus Surono mengungkapkan bahwa selain masalah pengemis dan gepeng, pihaknya juga turut disibukkan dengan keberadaan orang gila. "Saat ini di rumah singgah terdapat 29 orang gila yang kami tangani," ujarnya.
Sama halnya dengan Kota Denpasar, sebagian besar gelandangan dan pengemis lanjut Agus berasal dari luar kota atau bahkan luar provinsi. "Setelah dilakukan investigasi sebagian besar bukan merupakan warga kami," katanya. (LHS/DWA)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013