Denpasar (Antara Bali) - Puluhan ekor sapi berderet di kandang yang tertata apik yang berlokasi di antara kebun dan persawahan di daerah Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Bali.

Sebanyak 21 ekor sapi yang dipelihara petani melalui wadah Sistem Pertanian Terintegrasi (Simantri) itu dirintis Gubernur Bali Made Mangku Pastika sejak 28 Agustus 2008.

Kegiatan dengan membuat beberapa proyek percontohan Simantri itu awalnya sulit diterima petani, meskipun dikucurkan dana masing-masing sebesar Rp200 juta, tutur Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan Provinsi Bali, Ir Ida Bagus Wisnuardana.

Awalnya tahun 2009 pihaknya hanya mampu membentuk 50 simantri dari alokasi dana yang disediakan untuk membangun 100 unit. Namun dalam tahun-tahun berikut masyarakat yang terhimpun dalam kelompok tani harus antre, karena usulan untuk membangun simantri datang dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali.

Bali selama empat tahun terakhir hingga kini berhasil membentuk 400 unit Simantri, termasuk dalam penggarapan tahun 2013 sebanyak 75 unit. Simantri yang memadukan pengembangan tanaman pangan, sektor peternakan, sektor perkebunan dan sektor perikanan itu mampu memberikan dampak positif dalam meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan petani.

Tanaman jagung, kacang tanah dan sayur mayur misalnya tumbuh subur di sela-sela tanaman jeruk di kawasan Kintamani, Kabupaten Bangli, padahal daerah itu sebelumnya dikenal kritis dan tandus.

Kekritisan itu terjadi akibat sebagian besar lahan ditutupi lahar dingin muntahan Gunung Batur yang meletus hampir bersamaan dengan Gunung Agung pada tahun 1963.

Namun kesan tandus dan gersang itu kini tidak kentara lagi, berkat lingkungannya mulai menghijau dan produktif ditumbuhi berbagai jenis komoditas pertanian dalam arti luas.

Upaya mengubah lahan tandus menjadi produktif itu berkat sentuhan proyek Simantri. Kotoran sapi atau limbah pertanian lainnya diolah menjadi pupuk anorganik, yang mutunya jauh lebih baik dibanding pupuk anorganik yang mengandung zat kimia yang diproduksi pabrik.

Ida Bagus Wisnuardana menuturkan, pupuk yang diproduksi petani yang terhimpun dalam simantri, hingga kini tercatat 18 kelompok tani dan usaha tani yang memproduksi pupuk organik dengan memanfaatkan limbah peternakan dan pertanian. Usaha tersebut terus didorong dengan harapan bisa berkembang, untuk memenuhi kebutuhan pupuk ramah lingkungan bagi petani di Pulau Dewata.

Simantri, pionir kelompok tani dan usaha pupuk ramah lingkungan diharapkan terus bertambah, sebagai modal menjadikan Bali sebagai Pulau Organik, bebas sampah sekaligus mewujudkan Bali menjadi provinsi hijau dan bersih (Green Province).

Gubernur Bali Made Mangku Pastika memang bertekad untuk terus memperbanyak pembangunan Simantri, dengan harapan nantinya minimal ada 400-500 unit, sebagai upaya memacu pembangunan sektor pertanian, yang berbasis pada kelestarian lingkungan, karena petani menghindari penggunaan pupuk produksi pabrik maupun pestisida dalam proses pertanian.

Pengembangan pola pertanian terintegrasi itu dinilai sangat penting dalam memberikan kemudahan kepada petani, sekaligus meningkatkan pendapatan kesejahteraan petani Bali yang umumnya masih di bawah garis kemiskinan.

Bahkan Menteri Pertanian Suswono memberikan apresiasi positif terhadap Simanteri yang dirintis pemerintah Provinsi Bali dalam memadukan kegiatan sektor pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan dalam satu kawasan.


Pusat Pembibitan Sapi

Pengembangan Simantri oleh Kepala Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan setempat Putu Sumantra dijadikan terobosan dalam meningkatkan populasi sapi Bali, yakni mengarahkan sistem pertanian terintigrasi itu menjadi pusat pembibitan ternak sapi bali yang selama ini merupakan satu-satunya sumber plasmanutfah yang menjadi aset nasional.

Dengan adanya pusat pembibitan sapi bali diharapkan ternak tersebut tetap dapat dilestarikan dan dikembangkan, sekaligus populasinya terus bertambah, mampu memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat setempat termasuk wisatawan dalam menikmati liburan di Bali.

Komoditas itu sekaligus merupakan mata dagangan antarpulau untuk memenuhi kebutuhan daging bagi masyarakat di ibukota Jakarta, yang selama ini mendatangkan sapi dari Bali setiap tahun 65.000 ekor, masing-masing dengan berat 350 kg.

Bantuan bibit sapi betina yang siap dikawinan kepada Simantri seluruhnya sekitar 4.350 ekor. Dari sapi betina yang diberikan itu, ratusan ekor sudah dalam kondisi bunting dan melahirkan, sehingga nantinya mampu menjadi pusat pembibitan bagi pengembangan ternak sapi di sekitarnya.

Bali, sebuah pulau kecil dengan luas wilayah hanya 5.632,86 km2, memiliki populasi 675.419 ekor sapi, atau meningkat rata-rata 3,41 persen per tahun, setelah dikurangi untuk perdagangan sapi antarpulau, kebutuhan hotel dan pemotongan untuk masyarakat setempat yang setiap 100.000 hingga 120.000 ekor

Dengan demikian kepadatan rata-rata 93,3 ekor setiap kilometer persegi, termasuk paling padat di Indonesia, menyusul Jawa Tengah memiliki kepadatan 68,91 ekor dan Yogyakarta 61 ekor setiap kilometer persegi.

Meskipun tergolong padat, menurut Kadis Putu Sumantra, populasi sapi itu masih bisa ditingkatkan menjadi lebih dari satu juta ekor, atau dua kali lipat, mengingat sistem pemeliharaan dan pengembangan ternak sapi dapat dilakukan dengan menghemat lahan.


Lemahkan Posisi Subak

Ketua Pusat Penelitian Subak Universitas Udayana Prof Dr I Wayan Windia MS menilai, Simantri dalam pengembangan sektor pertanian di Bali tidak diletakkan di bawah pengelolaan subak, organisasi pengairan tradisional bidang pertanian.

Namun Pemerintah provinsi Bali kembali membuat organisasi baru yang disebut dengan gapoktan dan fenomena ini sangat melemahkan posisi subak sehingga ada potensi konflik antara subak dengan gapoktan di masa mendatang.

Kondisi tersebut menyebabkan organisasi subak merasa tersisih, karena tidak sanggup melawan pihak-pihak eksternal yang melakukan intervensi di kawasan subak.

Padahal subak selama ini dinilai terbaik diantara sistem pertanian yang ada di Indonesia maupun di berbagai negara di belahan dunia yang perlu dapat dipertahankan dan dilestarikan.

Prof Windia yang juga mantan anggota DPR-RI itu mengkhawatiran kerawanan terjadi konflik, karena keberadaan Simantri yang baru dibentuk itu tidak bernaung di bawah subak.

Organisasi pengairan tradisional dalam bidang pertanian yang diwarisi secara turun temurun di Bali itu sebaiknya menanungi keberadaan Simantri yang ada di wilayah subak masing-masing.

Dengan cara itu sekaligus mampu memberdayakan petani yang terhimpun dalam wadah subak. Simantri yang bernaung dalam wadah subak mirip seperti kehadiran Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di masing-masing wilayah desa adat (Pekraman) yang mampu memberdayakan masyarakat dalam bidang ekonomi.

Jika hanya kelompok tani atau gabungan kelompok tani yang mendapat kucuran dana atau bantuan dalam program Simantri itulah menimbulkan kerawanan konflik atau benturan dengan subak, karena subak merupakan organisasi sosial, meskipun mendapat kucuran dana pemerintah, namun belum mampu untuk memberdayakan anggotanya.

Kehadiran Simantri hingga kini tidak pernah melakukan koordinasi dengan subak di mana mereka berada, padahal simantri tersebut berlokasi di wilayah subak bersangkutan.

Dengan demikian kehadiran simantri dapat lebih memberdayakan anggota subak dari segi ekonomi. Hanya perlu penyempurnaan manajemen, karena gabungan kelompok tani yang dikembangkan menjadi simantri juga merupakan anggota subak bersangkutan.

Pengembangan simantri selain bernaung di bawah subak juga perlu melibatkan pemerintah kabupaten/kota di mana Simantri tersebut dibangun. Hal itu dimaksudkan memberikan kesempatan kepada anggota Simantri, jika menghadapi hambatan dan kesulitan juga bisa menyampaikan keluhan mereka kepada bupati/walikota atau pejabat di kabupaten/kota bersangkutan.

Dengan bernaungnya simantri di bawah subak sekaligus mampu melestarikan dan memberdaya salah satu warisan budaya masyarakat Bali yang berwatak sosio-kultural yang telah diakui sebagai salah satu warisan budaya dunia (WBD).

Subak telah berkembang dan mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan sosio-kultural masyarakat sekitarnya di Pulau Dewata. Segala perubahan yang terjadi dalam subak merupakan proses transformasi sistem irigasi untuk menyesuaikan diri dengan perkembangan di lingkungan sekitarnya.

Subak mulai dicatat keberadaannya pada abad XI. Yakni pada tahun 1072, atau 393 tahun setelah sistem pertanian mulai ditemukan di Bali. Sepanjang kurun waktu tersebut, subak terus mengalami proses transformasi hingga sampai sekarang.

Oleh sebab itu kehadiran simantri diharapkan mampu memberdayakan subak bukan menghilangkan atau melunturkan sosiokultural masyarakat, tutur Prof Windia. (*/ADT)

Pewarta: Oleh I Ketut Sutika

Editor : I Nyoman Aditya T I


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013