Denpasar (Antara Bali) - Bali Bakti, lembaga nirlaba di Pulau Dewata di bidang seni dan kebudayaan bersama elemen masyarakat lainnya menolak diberlakukannya Peraturan Pemerintah No.109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan.
"Kami menilai peraturan itu telah melanggar Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 Ayat 2 sebab PP No.109 tahun 2012 terlalu spesifik hanya mengatur produk tembakau," kata Wayan Jengki Sunarta selaku koordinator Bali Bakti di Denpasar, Rabu.
Dia menjelaskan, peraturan tersebut terlalu spesifik hanya mengatur produk tembakau sedangkan menurut Undang Undang No.35 tahun 2009 tentang narkotika, zat adiktif masuk kategori psikotropika atau produk ilegal.
Artinya dalam peraturan pemerintah itu tersirat bahwa produk tembakau dianggap barang ilegal, hal itu sangat kontradiksi dengan kenyataan bahwa komoditas tersebut dijual bebas di pasaran.
"Jadi jelas bahwa peraturan pemerintah itu dibuat tidak sebagaimana mestinya karena rujukannya adalah Undang Undang Kesehatan, sedangkan zat adiktif sendiri masuk dalam UU Narkotika," ujarnya.
Sementara itu Faris Valeryan Wangge selaku Direktur Socratian Institute menduga hadirnya peraturan tersebut merupakan upaya untuk monopoli melalui produk hukum. "Kami menduga ini adalah bagian dari memonopoli dan menstandarisasi produk tembakau melalui produk hukum. Selain itu ada kepentingan dari pihak tertentu," ucapnya.
Pihaknya menolak peraturan itu bukan berarti tidak pro terhadap kesehatan masyarakat. (IGT)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013
"Kami menilai peraturan itu telah melanggar Undang Undang Dasar 1945 Pasal 5 Ayat 2 sebab PP No.109 tahun 2012 terlalu spesifik hanya mengatur produk tembakau," kata Wayan Jengki Sunarta selaku koordinator Bali Bakti di Denpasar, Rabu.
Dia menjelaskan, peraturan tersebut terlalu spesifik hanya mengatur produk tembakau sedangkan menurut Undang Undang No.35 tahun 2009 tentang narkotika, zat adiktif masuk kategori psikotropika atau produk ilegal.
Artinya dalam peraturan pemerintah itu tersirat bahwa produk tembakau dianggap barang ilegal, hal itu sangat kontradiksi dengan kenyataan bahwa komoditas tersebut dijual bebas di pasaran.
"Jadi jelas bahwa peraturan pemerintah itu dibuat tidak sebagaimana mestinya karena rujukannya adalah Undang Undang Kesehatan, sedangkan zat adiktif sendiri masuk dalam UU Narkotika," ujarnya.
Sementara itu Faris Valeryan Wangge selaku Direktur Socratian Institute menduga hadirnya peraturan tersebut merupakan upaya untuk monopoli melalui produk hukum. "Kami menduga ini adalah bagian dari memonopoli dan menstandarisasi produk tembakau melalui produk hukum. Selain itu ada kepentingan dari pihak tertentu," ucapnya.
Pihaknya menolak peraturan itu bukan berarti tidak pro terhadap kesehatan masyarakat. (IGT)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013