Denpasar (Antara Bali) - Masyarakat Desa Badulu, Kecamatan Blahbatuh, Kabupaten Gianyar, Bali melestarikan tari Sutri, warisan seni budaya yang khas, unik dan menarik yang khusus dipentaskan untuk kelengkapan kegiatan ritual di Pura Samuantiga desa adat setempat, sekitar 21 km timur Denpasar.
"Tari Sutri dibawakan oleh sekelompok penari wanita yang disebut 'permas', mereka adalah orang-orang yang berkomitmen dalam hidupnya mengabdi (ngayah) setiap upacara piodalan di pura tersebut berlangsung," kata dosen jurusan tari Fakultas Seni Pertunjukkan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Ni Made Bambang Rai Kasumari, SST, MSi di Denpasar, Senin.
Ia secara khusus melakukan penelitian terhadap tari Sutri yang diperkirakan sudah ada sejak tahun 988-1001 masehi pada zaman pemerintahan Raja Ganapriya Dharmapatni atau lebih dikenal Raja Udayana Warmadewa, bertahta di Bali.
Tarian khusus untuk kelengkapan kegiatan ritual "piodalan" di Pura Samuantiga yang jatuh setiap 210 hari sekali diiringi oleh dua barung gamelan secara bersamaan, masing-masing gamelan Gong Kebyar dan gamelan Angklung.
"Tarian tersebut hingga sekarang tetap lestari, diwarisi dari satu generasi ke generasi berikut, tanpa banyak mengalami perubahan, meski masyarakat pendukung banyak mengalami perubahan akibat perkembangan jaman," tutur Rai Kasumari.
Perubahan hanya terjadi dalam bentuk penyajian dari semula sangat sederhana menjadi lebih artistik, namun tetap eksis seperti semula, perubahan hanya pada jumlah penari yang kadang-kadang bertambah atau berkurang.
Rai Kasumari menambahkan, hal itu akibat perlakuan masyarakat yang memandang tari Sutri sebagai tarian yang sangat disucikan, sehingga mereka cenderung takut untuk merubahnya. Tidak sembarang orang yang bisa menjadi penari tersebut (permas).
Penari Sutri adalah orang-orang yang menjadi pewaris (keturunan) yang pada mulanya adalah orang-orang yang pernah terkena musibah (sakit) mereka itu sudah dikehendaki Tuhan Yang Maha Esa (Bhatara-Bhatari) yang berstana di Pura Samuantiga.
"Mereka yang akan menjadi penari sutri harus terlebih dulu menjalani proses "pawintenan" yakni disucikan secara skala dan niskala," ujar Rai Kasumari seraya berharap penelitian yang dilakukan itu dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran dalam mengembangkan seni dan budaya di Pulau Dewata.(*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010
"Tari Sutri dibawakan oleh sekelompok penari wanita yang disebut 'permas', mereka adalah orang-orang yang berkomitmen dalam hidupnya mengabdi (ngayah) setiap upacara piodalan di pura tersebut berlangsung," kata dosen jurusan tari Fakultas Seni Pertunjukkan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Ni Made Bambang Rai Kasumari, SST, MSi di Denpasar, Senin.
Ia secara khusus melakukan penelitian terhadap tari Sutri yang diperkirakan sudah ada sejak tahun 988-1001 masehi pada zaman pemerintahan Raja Ganapriya Dharmapatni atau lebih dikenal Raja Udayana Warmadewa, bertahta di Bali.
Tarian khusus untuk kelengkapan kegiatan ritual "piodalan" di Pura Samuantiga yang jatuh setiap 210 hari sekali diiringi oleh dua barung gamelan secara bersamaan, masing-masing gamelan Gong Kebyar dan gamelan Angklung.
"Tarian tersebut hingga sekarang tetap lestari, diwarisi dari satu generasi ke generasi berikut, tanpa banyak mengalami perubahan, meski masyarakat pendukung banyak mengalami perubahan akibat perkembangan jaman," tutur Rai Kasumari.
Perubahan hanya terjadi dalam bentuk penyajian dari semula sangat sederhana menjadi lebih artistik, namun tetap eksis seperti semula, perubahan hanya pada jumlah penari yang kadang-kadang bertambah atau berkurang.
Rai Kasumari menambahkan, hal itu akibat perlakuan masyarakat yang memandang tari Sutri sebagai tarian yang sangat disucikan, sehingga mereka cenderung takut untuk merubahnya. Tidak sembarang orang yang bisa menjadi penari tersebut (permas).
Penari Sutri adalah orang-orang yang menjadi pewaris (keturunan) yang pada mulanya adalah orang-orang yang pernah terkena musibah (sakit) mereka itu sudah dikehendaki Tuhan Yang Maha Esa (Bhatara-Bhatari) yang berstana di Pura Samuantiga.
"Mereka yang akan menjadi penari sutri harus terlebih dulu menjalani proses "pawintenan" yakni disucikan secara skala dan niskala," ujar Rai Kasumari seraya berharap penelitian yang dilakukan itu dapat memberikan manfaat dan sumbangan pemikiran dalam mengembangkan seni dan budaya di Pulau Dewata.(*)
Editor : Masuki
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2010