Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) RI menanggapi kritik-kritik yang ditujukan kepada lembaga itu dalam film dokumenter “Dirty Vote” buatan Sutradara Dandhy Dwi Laksono.
“Teman-teman jika mengkritisi Bawaslu silakan saja, tidak ada masalah bagi Bawaslu selama kami melakukan tugas dan fungsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” kata Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menjawab pertanyaan wartawan saat jumpa pers di Jakarta, Minggu.
Menurut Bagja, Bawaslu RI dan jajaran pengawas pemilu di daerah sejauh ini telah melakukan tugasnya dengan baik. Oleh karena itu, dia menyerahkan penilaian atas kinerja Bawaslu itu sepenuhnya kepada masyarakat.
“Alhamdulillah, silakan kritik kami. Proses sedang berjalan, kami tidak ingin proses-proses ini dianggap tidak benar. Namun, pada titik ini Bawaslu sudah melakukan tugas fungsinya dengan baik, tetapi tergantung masyarakat juga, perspektif masyarakat silakan. Kami tidak bisa meng-drive (mengendalikan, red.) perspektif masyarakat,” kata Bagja.
Dia pun menghormati kebebasan berpendapat yang menjadi hak setiap warga negara. “Apa yang diungkapkan oleh teman-teman adalah hak yang dilindungi konstitusi, demikian juga hak dan tugas Bawaslu dijamin, diatur oleh undang-undang,” kata Ketua Bawaslu RI.
Film dokumenter “Dirty Vote” pada Minggu siang dirilis oleh rumah produksi WatchDoc di platform YouTube. Film tersebut menampilkan tiga pakar hukum tata negara, yaitu Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada, Feri Amsari dari Universitas Andalas, dan Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera.
Tiga pakar itu secara bergantian dan bersama-sama menjelaskan rentetan peristiwa yang diyakini bagian dari kecurangan pemilu. Dalam beberapa bagian, beberapa pakar juga mengkritik Bawaslu yang dinilai tidak tegas dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran pemilu. Alhasil menurut mereka, tidak ada efek jera sehingga pelanggaran pemilu cenderung terjadi berulang.
Sutradara “Dirty Vote” Dandhy Dwi Laksono menyebut filmnya itu sebagai bentuk edukasi untuk masyarakat terutama beberapa hari sebelum mereka menggunakan hak pilihnya saat pemungutan suara pada 14 Februari 2024.
“Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres, tetapi hari ini saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara,” kata Dandhy.
Dia menjelaskan film itu digarap dalam waktu sekitar 2 minggu, yang mencakup proses riset, produksi, penyuntingan, sampai rilis. Pembuatannya, dia menambahkan, melibatkan 20 lembaga, antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Perludem, Indonesia Corruption Watch, JATAM, Lokataru, LBH Pers, WALHI, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.
Dalam waktu kurang lebih 8 jam setelah siar di YouTube, film itu saat ini telah dilihat satu juta lebih orang dan dan disukai oleh 117.000 lebih pengguna YouTube.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2024
“Teman-teman jika mengkritisi Bawaslu silakan saja, tidak ada masalah bagi Bawaslu selama kami melakukan tugas dan fungsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan,” kata Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menjawab pertanyaan wartawan saat jumpa pers di Jakarta, Minggu.
Menurut Bagja, Bawaslu RI dan jajaran pengawas pemilu di daerah sejauh ini telah melakukan tugasnya dengan baik. Oleh karena itu, dia menyerahkan penilaian atas kinerja Bawaslu itu sepenuhnya kepada masyarakat.
“Alhamdulillah, silakan kritik kami. Proses sedang berjalan, kami tidak ingin proses-proses ini dianggap tidak benar. Namun, pada titik ini Bawaslu sudah melakukan tugas fungsinya dengan baik, tetapi tergantung masyarakat juga, perspektif masyarakat silakan. Kami tidak bisa meng-drive (mengendalikan, red.) perspektif masyarakat,” kata Bagja.
Dia pun menghormati kebebasan berpendapat yang menjadi hak setiap warga negara. “Apa yang diungkapkan oleh teman-teman adalah hak yang dilindungi konstitusi, demikian juga hak dan tugas Bawaslu dijamin, diatur oleh undang-undang,” kata Ketua Bawaslu RI.
Film dokumenter “Dirty Vote” pada Minggu siang dirilis oleh rumah produksi WatchDoc di platform YouTube. Film tersebut menampilkan tiga pakar hukum tata negara, yaitu Zainal Arifin Mochtar dari Universitas Gadjah Mada, Feri Amsari dari Universitas Andalas, dan Bivitri Susanti dari Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera.
Tiga pakar itu secara bergantian dan bersama-sama menjelaskan rentetan peristiwa yang diyakini bagian dari kecurangan pemilu. Dalam beberapa bagian, beberapa pakar juga mengkritik Bawaslu yang dinilai tidak tegas dalam menjatuhkan sanksi terhadap pelanggaran pemilu. Alhasil menurut mereka, tidak ada efek jera sehingga pelanggaran pemilu cenderung terjadi berulang.
Sutradara “Dirty Vote” Dandhy Dwi Laksono menyebut filmnya itu sebagai bentuk edukasi untuk masyarakat terutama beberapa hari sebelum mereka menggunakan hak pilihnya saat pemungutan suara pada 14 Februari 2024.
“Ada saatnya kita menjadi pendukung capres-cawapres, tetapi hari ini saya ingin mengajak setiap orang untuk menonton film ini sebagai warga negara,” kata Dandhy.
Dia menjelaskan film itu digarap dalam waktu sekitar 2 minggu, yang mencakup proses riset, produksi, penyuntingan, sampai rilis. Pembuatannya, dia menambahkan, melibatkan 20 lembaga, antara lain Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Bangsa Mahardika, Ekspedisi Indonesia Baru, Ekuatorial, Fraksi Rakyat Indonesia, Perludem, Indonesia Corruption Watch, JATAM, Lokataru, LBH Pers, WALHI, Yayasan Kurawal, dan YLBHI.
Dalam waktu kurang lebih 8 jam setelah siar di YouTube, film itu saat ini telah dilihat satu juta lebih orang dan dan disukai oleh 117.000 lebih pengguna YouTube.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2024