Jaksa Penuntut Umum pada Pengadilan Tipikor Denpasar, menolak pledoi/pembelaan terdakwa mantan rektor Universitas Udayana Prof. I Nyoman Gde Antara dan tim penasihat hukumnya terkait dugaan pungutan liar dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) penerimaan mahasiswa baru jalur mandiri.
Jaksa Nengah Astawa dan kawan-kawan dalam sidang di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Denpasar, Selasa, mengatakan tim Penasihat Hukum terdakwa telah keliru memahami fakta hukum yang disampaikan Penuntut Umum dalam surat tuntutan, karena itu Jaksa tetap bersikukuh tetap pada tuntutannya.
"Kami menyampaikan kepada Majelis Hakim bahwa kami tetap pada tuntutan kami seperti yang telah kami sampaikan kepada Majelis Hakim pada persidangan Selasa 23 Januari 2024," kata Nengah Astawa saat membacakan replik di Tipikor Denpasar.
Pada pokoknya, JPU menggarisbawahi beberapa poin penolakan terhadap pledoi yang diajukan oleh terdakwa Prof Antara yakni pertama, pembelaan yang disampaikan oleh pribadi terdakwa Prof. Antara dan tim penasehat hukum terdakwa yang pada intinya menyatakan adanya keterlibatan orang lain dalam peristiwa pidana yang didakwakan sehingga meminta dilepaskan dari pertanggungjawaban dan keberatan hanya terdakwa yang dibebani tanggung jawab dalam perkara a quo adalah menunjukkan ketidakpahaman terdakwa maupun tim penasihat hukum terdakwa atas dakwaan yang didakwakan.
Baca juga: Mantan rektor Universitas Udayana dituntut 6 tahun penjara
Baca juga: Mantan rektor Universitas Udayana dituntut 6 tahun penjara
Jaksa menilai meskipun adanya keterlibatan orang lain dalam perkara a quo tidak menghapuskan pertanggungjawaban pidana dari terdakwa, karena telah jelas perbuatan materiil dari masing-masing pelaku dalam perwujudan delik dakwaan.
Kedua, pungutan SPI di Universitas Udayana merupakan pungutan ilegal. Hal tersebut, menurut Jaksa, berdasarkan uraian hasil analisa atas 39 universitas yang diajukan oleh Tim Penasihat Hukum terdakwa sebagai komparasi atau pembanding dengan penerapan pungutan SPI.
Analisis tersebut menunjukkan adanya perbedaan yang sangat mendasar antara penerapan SPI pada Universitas udayana dengan 39 universitas/PTN tersebut, terlebih lagi berbeda dengan sembilan PTN yang sama-sama berstatus sebagai PTN-Badan Layanan Umum (BLU).
Perbedaan mendasar tersebut terlihat dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) masing-masing perguruan tinggi yang mengatur mengenai adanya tarif layanan akademik berupa sumbangan pengembangan institusi (SPI) dan adanya pendelegasian kewenangan dari kementerian keuangan kepada pimpinan BLU dalam pengenaan tarif layanan akademik (SPI) untuk mengikuti Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
Baca juga: Mantan Rektor Unud hadapi sidang tuntutan perkara korupsi dana SPI
Baca juga: Mantan Rektor Unud hadapi sidang tuntutan perkara korupsi dana SPI
Jaksa menambahkan pada PMK Nomor 51/PMK.05.2015 dan PMK Nomor 95/PMK.05/2020 tidak ada menyebutkan mengenai tarif layanan akademik berupa SPI maupun pendelegasian kewenangan menteri keuangan kepada rektor selaku pimpinan BLU maupun kepada kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi.
Ketiga, SPI merupakan tarif layanan akademik bukan sumbangan sukarela.
Jaksa menguraikan dalam PMK beberapa PTN-BLU yang diajukan oleh Tim Penasihat Hukum telah tersurat dengan jelas bahwa SPI/ IPI merupakan tarif layanan akademik sebagaimana dalam Pasal 2 ayat (1) masing-masing PMK pada PTN-BLU yang diajukan sebagai bukti tambahan oleh Tim Penasihat Hukum Terdakwa.
Hal ini juga dapat merujuk pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) dan Penjelasan Pasal 1 ayat (1) huruf d PP Nomor 22 Tahun 2023 yang telah menyebutkan secara tegas bahwa di PTN-Satker menyebutkan IPI merupakan jasa penyelenggaran pendidikan tinggi yang didalamnya terdapat iuran pengembangan institusi dan sumbangan pembinaan pendidikan.
Atas uraian tersebut, JPU meminta hakim untuk menyatakan terdakwa Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 ayat (1) huruf a dan b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo Pasal 65 ayat (1) KUHP sebagaimana dalam Dakwaan Kedua.
Dalam tuntutan Jaksa, terdakwa Prof. Antara dituntut enam tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider tiga bulan kurungan.
Setelah tanggapan Jaksa, Hakim Agus Akhyudi memutuskan sidang akan dilanjutkan pada Selasa 13 Februari 2024 dengan agenda duplik.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2024