Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali menyebut ada upaya penggiringan opini publik dalam penanganan kasus dugaan korupsi dana sumbangan pengembangan institusi (SPI) di Universitas Udayana.

Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Bali Putu Agus Eka Sabana Putra, saat ditemui di Denpasar, Jumat, mengatakan belakangan ini muncul berbagai upaya menggiring opini publik dari pihak tertentu di luar dari fakta persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Bali.

Berbagai opini itu berseliweran di media sosial yang tidak berdasar fakta persidangan. Sehingga, kata Eka, informasi bias sengaja dilakukan untuk menggiring opini publik dalam penanganan perkara tersebut.

"Penanganan kasus SPI ini bukan untuk menyidangkan perbuatan penerimaan mahasiswa baru dengan cara 'titipan'. Hal titip-menitip dalam kasus ini berkaitan erat dengan penyalahgunaan kewenangan, dengan sengaja membuat pungutan tanpa dasar hukum, sehingga dapat dikatakan sebagai pungutan liar; dan pungutan ini dipungut oleh pejabat negara/ASN/pejabat pemerintah/seseorang yang digaji oleh negara. Sehingga, kualifikasi perbuatan-perbuatan tersebut masuk dalam ranah perbuatan korupsi," jelas Eka Sabana.

Baca juga: Guru Besar Universitas Udayana mengaku tak tahu dasar hukum penarikan SPI

Opini-opini lain perlu diluruskan dalam kasus tersebut, lanjut Eka, ialah terkait status Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Menurut Eka, PNBP seharusnya diperoleh dari kegiatan yang sah atau legal. Kemudian, penggunaan dana PNBP tersebut secara spesifik seharusnya digunakan untuk infrastruktur yang telah direncanakan sebelumnya.

Dengan kata lain, tambahnya, negara tidak boleh memungut pendapatan secara tidak sah.

"Dalam kasus ini, pungutan SPI Unud dibuat secara tidak sah, sebagaimana yang diterangkan secara jelas dan gamblang dalam surat dakwaan penuntut umum yang saat ini diperiksa di persidangan, bahwa terdapat fakta dinikmatinya perolehan yang tidak sah untuk kepentingan pribadi di dalam kasus SPI Unud tersebut," jelasnya.

Baca juga: Jaksa: Kerugian negara akibat korupsi Rektor Unud capai Rp274 M

Ketidaksahan itu salah satunya muncul pada persidangan dalam keterangan saksi Wiksuana selaku Wakil Rektor II Unud.

Wiksuana mengatakan terdapat kekeliruan dalam pemungutan SPI, yaitu aturan yang dipakai sebagai dasar pelaksanaan SPI hanya SK Rektor Universitas Udayana dan tidak termuat dalam peraturan menteri keuangan.

Wiksuana juga mengakui bahwa SPI dijadikan sebagai bagian dari tarif layanan Unud.

Eka menerangkan bahwa jika berbicara tarif layanan, maka hal itu harus diatur dalam peraturan pemerintah (PP) dan peraturan menteri keuangan (PMK).

Namun, lanjut Eka, kenyataannya dalam PP Nomor 23 Tahun 2005 yang diubah PP Nomor 74 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Keuangan BLU dan PMK Nomor 51 dan 95 tentang Tarif Layanan Badan Layanan Umum; Unud tidak menyebutkan bahwa SPI merupakan salah satu tarif layanan.

Wiksuana juga mengatakan bahwa pada tahun akademik 2018/2019 dan 2019/2020, SPI itu digunakan sebagai salah satu syarat kelulusan calon mahasiswa baru, sebagaimana dituangkan dalam pedoman operasional baku penerimaan mahasiswa jalur mandiri, dengan bobot 40 persen dari 100 persen nilai kelulusan.

"Seyogianya, kita semua menghormati proses peradilan. Opini-opini tersebut disampaikan di luar persidangan, terlebih di media sosial sangatlah tidak tepat. Marilah kita sama-sama menghormati proses hukum di persidangan dengan tidak membuat opini yang dapat membuat bias fakta yang terungkap di persidangan," ujar Eka.

Pewarta: Rolandus Nampu

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023