Oleh  I Ketut Sutika

Denpasar (Antara Bali) - Memasuki awal tahun 2013, umat Hindu di Bali merayakan hari suci yang jatuh secara beruntun yakni hari perenungan dosa yang lebih dikenal masyarakat setempat Hari Siwaratri, 10-11 Januari.

Disusul hari suci Saraswati hari lahirnya ilmu pengetahuan yang jatuh pada hari Sabtu (12/1) dan hari Pagerwesi pada hari Rabu, 16 Januari 2013 yang bermakna untuk mengokohkan kekuatan iman.

Hari Perenungan dosa atau Siwaratri diperingari setiap 420 hari sekali, kali ini jatuh pada hari ke-14 paruh gelap, bulan ketujuh (panglong ping 14 sasih kepitu) 10-11 Januari 2013.

Perayaan Siwaratri dipusatkan di Pura Besakih, tempat suci umat Hindu terbesar di Pulau Dewata yang berlokasi di kaki lereng Gunung Agung, Kabupaten Karangasem, sekitar 80 km timur Denpasar.

Kegiatan serupa umumnya juga berlangsung di setiap pura yang ada di masing-masing desa adat di Bali, yang dihadiri oleh seluruh warganya.

Kepala Biro Humas Pemprov Bali I Ketut Teneng menjelaskan, Gubernur Bali Made Mangku Pastika dan kepala satuan kerja perangkat daerah (SKPD) tingkat Provinsi Bali berbaur dengan masyarakat dari berbagai pelosok pedesaan untuk mengikuti rangkaian hari Siwaratri

Kegiatan ritual hari perenungan dosa yang dipimpin puluhan pendeta itu juga dihadiri 52 sulinggih serta 46 pemangku, pemimpin ritual umat Hindu dari delapan kabupaten dan satu kota di Bali.

Salah satu hari suci umat Hindu itu bermakna untuk melakukan introspeksi diri melalui "Jagra" atau tidak makan, minum, tidak tidur, dan tidak bicara.

Selama pelaksanaan ritual itu, umat akan melaksanakan tiga kali persembahyangan yang dipimpin para pendeta berlangsung pada Kamis (10/1) malam pertama pukul 19.00 Wita, kedua pada tengah malam (24.00 Wita), dan persembahyangan ketiga pada Jumat (11/1) pukul 05.00 Wita.

Kegiatan ritual itu sekaligus bermakna untuk mohon keselamatan kepada Tuhan Yang Maha Esa, Ida Sanghyang Widhi Wasa agar bangsa dan negara Indonesia terhindar dari bencana alam.

Mulai dari anak-anak, remaja dan orang tua dengan mengenakan busana adat khas Bali, nominasi warna putih mulai sore hari melakukan rangkaian kegiatan ritual di Pura desa adat masing-masing, hingga dinihari sesuai tradisi yang diwarisi.

Kerja penuh inovasi
Ketua Program Studi Pemandu wisata Institut Hindu Dharma Negeri (IHDN) Denpasar Dr I Ketut Sumadi M.Par berharap, melalui perayaan Siwaratri umat dapat melakukan instrospeksi diri mencari penyebab dan jalan keluar dari krisis global dengan menerapkan konsep "Karma Marga", yakni kerja keras dengan penuh inovasi.

Aktualisasi diri dalam melakukan pendakian spiritual tersebut dapat mengendalikan diri dan hidup hemat dalam memenuhi keinginan pada kehidupan sehari-hari.

Jika keinginan tidak dapat dikendalikan kehidupan menjadi boros, padahal itu tidak menjadi kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari. Hal lain yang tidak kalah penting memberikan pengetahuan kepada umat manusia agar menyadari, bahwa dalam dirinya selalu ada "pertarungan" antara Dewi Sampad (sifat baik) dengan Asuri Sampad (sifat buruk).

Oleh sebab itu, sebaik-baiknya tingkah laku dan perbuatan manusia pasti pernah melakukan dosa (kesalahan) dalam kehidupannya. Demikian pula sejelek-jeleknya manusia pasti pernah berbuat yang baik (benar).

Menyadari hal itu, melalui perayaan Siwaratri dimaksudkan mampu memberikan motivasi kepada setiap umat manusia, khususnya Hindu, agar sadar dan berusaha maksimal menghindari perbuatan dosa serta memperbanyak perbuatan dharma (kebaikan).

Manusia menurut Ketut Sumadi, alumnus S-3 Kajian Budaya Universitas Udayana itu memang merasa sulit untuk menghindari perbuatan dosa, namun bagaimanapun telah melakukan kesalahan, tidak tertutup kemungkinan menemukan jalan untuk kembali sadar berbuat dharma.

Perayaan hari suci Siwaratri sekaligus memotivasi manusia agar tidak berputusasa dalam menjalani kehidupan. Pintu Dharma selalu terbuka lebar-lebar bagi orang yang sadar akan segala perbuatan dosanya, ujar Ketut Semadi.

Lubdaka
Ilustrasi cerita Siwaratri yang diuraikan dalam berbagai "Purana", seperti Skandapurana, Siwapurana, Garudapurana dan Padmapurana, semua bertemakan kebangkitan dan kesadaran akan perbuatan dosa yang pernah diperbuat untuk kembali munuju kebenaran (dharma).

Dalam cerita berbentuk kakawin (syair) "Siwaratrikalpa", menyebutkan, seorang pemburu bernama Lubdaka bersama keluarganya tingal di puncak gunung (tempat dipujanya Dewa Siwa).

Pekerjaan si Lubdaka sehari-harinya adalah berburu binatang ke hutan membunuh harimau, gajah, kera, badak serta semua binatang yang menghuni kawasan hutan.

Pada suatau hari yaitu "Pangelong ke-14 Kepitu (hari ke 14 bulan mati pada bulan ketujuh) yang kini dikenal dengan Siwaratri, Lubdaka pagi hari sudah meninggalkan rumah untuk berburu ke tengah hutan.

Namun sehari penuh menelusuri hutan rimba dan lembah-lembah gunung, tak satu pun anak panah yang dilepaskan mengenai sasaran binatang buruan, bahkan jaraknya semakin jauh dari rumah tempat tinggal, matahari tenggelam menjelang malam.

Malam yang gelap itu, Lubdaka tidak berani pulang karena takut disergap binatang buas, kemudian menuju ke suatu telaga (kolam) dan di tepi telaga itulah Lubdaka istirahat sambil tetap waspada jangan-jangan ada binatang yang datang untuk minum air ke kolam.

Si Lubdaka takut sendirian tinggal di bawah pohon, lalu memanjat naik pohon kayu (titik tumpu untuk berdiri) pohon bila yang ada di pinggir kolam kebetulan dahannya menjulur ke atas telaga.

Di atas dahan pohon kayu "bila" itulah si Lubdaka duduk merenungi perbuatannya, semalam suntuk tidak tidur, takut jatuh, guna menghilangkan rasa ngantuknya memetik daun pohon kemudian dijatuhkan ke dalam telaga.

Sambil memetik pohon daun bila itulah Lubdaka menghitung-hitung perbuatan yang pernah dilakukannya semasa hidupnya. Tidak terduga olahnya dalam telaga itu terdapat sebuah Lingga (tempat pemujaan) yang tidak diketahui keberadaannya oleh si Lubdaka.

Lingga tersebut merupakan permukaan Dewa Siwa atau perwujudan lambang Siwa. Pekerjaan memetik-metik daun pohon bila itu dilakukann semalam suntuk hingga pagi keesokan harinya, sehingga tidak tidur semalam suntuk.

Keesokan harinya si Lubdaka pulang dengan tangan hampa, karena tidak seekor pun memperoleh binatang buruan. Sampainya di rumah dia disambut oleh anak dan istrinya.

Pada suatu ketika si Lubdaka jatuh sakit. sakitnya semakin parah dan akhirnya meninggal. Setelah "Atma" (jiwa) Lubdaka mengalami kebingungan dan kegelapan, karena semasa hidupnya berprofesi sebagai pembunuh binatang.

Dewa Siwa mengetahui hal itu dan mengenal pemburu Lubdaka itu karena dahulu pernah memujanya ketika di hutan pada "Malam Siwa". Akhirnya Dewa Siwa mengutus abdinya menyambut "Atma" si Lubdaka untuk dibawa ke "Siwaloka" (sorga), saat bersamaan datang pula laskar Dewa Yamadipati sebagai penguasa neraka.

Setelah didahului dengan perselisihan, maka terjadilah peperangan hebat antara laskar Dewa Siwa dengan laskar Yamadipati memperebutkan atma si Lubdaka. Dalam peperangan tersebut laskar Dewa Siwalah yang menang dan Atma si Lubdaka dibawa ke Siwaloka (sorga diberikan tempat yang baik).

"Oleh sebab itu umat Hindu hingga sekarang mempercayai perayaan Hari Siwaratri untuk perenungan dosa, agar tidak mengulangi perbuatan serupa, ujar Ketut Sumadi. (*/T007)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2013