Terkenal sebagai Pulau Seribu Pura, Bali memiliki keberagaman kebudayaan dan tradisi, terutama untuk perayaan hari suci. Dalam agama Hindu banyak sekali hari suci keagamaan, salah satunya adalah Tumpek Landep.

Secara etimologis, Tumpek Landep berasal dari dua kata, yaitu tumpek dan landep. Kata tumpek diambil dari bahasa Jawa Kuno “tampa” yang berarti turun, dan sumber susatra lain menyebutkan istilah tumpek berasal dari kata “metu” yang berarti pertemuan dan “mpek” yang berarti akhir, jadi tumpek diartikan sebagai pertemuan akhir antara Panca Wara Kliwon dengan Sapta Wara Sabtu.

Sementara landep merupakan salah satu pawukon di Bali yang diartikan sebagai runcing atau tajam. Maka dalam pelaksanaannya segala sesuatu yang runcing dan tajam di upacarai, mulai dari keris, pisau, dan perkakas lainnya yang berguna di kehidupan sehari-hari.

Hari suci Tumpek Landep dirayakan setiap enam bulan sekali atau 210 hari, yang jatuh pada saniscara (Sabtu) Kliwon wuku landep. Di tahun 2023 ini, Tumpek Landep jatuh pada Hari Sabtu, 3 Juni 2023, dan Hari Sabtu, 30 Desember 2023

Penentuan Hari Tumpek Landep dimuat dalam lontar Sundarigama yang berbunyi “kunang ring wara landep, saniscara kliwon, pujawalin bhatara siwa, mwah yoga nira sang hyang pasupati”. Perayaan hari suci ini merupakan wujud bhakti kepada Sang Hyang Siwa Pasupati yang merupakan dewanya taksu dan senjata menurut kepercayaan umat Hindu di Bali, dengan harapan Sang Hyang Siwa Pasupati memberikan anugerahnya kepada benda-benda yang dimiliki agar mempermudah kehidupan pemiliknya.

Dalam masyarakat, istilah pasupati dikenal sebagai proses sakralisasi atau penyucian benda-benda pusaka yang penyuciannya menggunakan mantram Weda atau sesonteng dan menggunakan sarana banten (sesajen). Dalam pelaksanaan pemujaan Tumpek Landep, sarana (banten) yang wajib digunakan adalah sesayut pasupati dan sarana lainnya, menyesuaikan.

Jero Mangku Wayan Werdiadi, tokoh Hindu Bali, menjelaskan bahwa banten yang digunakan biasanya menyesuaikan dengan desa, kala, atau patra, karena setiap daerah memiliki budayanya masing-masing.

Baca juga: Delegasi R20 saksikan "Tumpek Landep" di Prambanan

Kalau di Karangasem itu biasanya menggunakan banten berupa sesayut, dilengkapi dengan pisang temage (pisang berwarna merah) dan sampian andong berwarna merah.

Di tengah perkembangan teknologi, pelaksanaan upacara Tumpek Landep dalam masyarakat tidak hanya berfokus terhadap benda-benda tajam ataupun pusaka-pusaka saja, tetapi mulai beralih pada benda-benda elektronik hingga kendaraan bermotor.

Hal ini terjadi karena secara sosial masyarakat memiliki pemahaman yang berbeda-beda terkait dengan pelaksanaan Tumpek Landep. Kini masyarakat meyakini bahwa Tumpek Landep ini menjadi momentum untuk mengupacarai segala sesuatu yang memiliki unsur besi di dalamnya dan membantu kehidupan manusia.

Seperti yang dijelaskan Jero Mangku Wayan Werdiadi bahwasanya hal tersebut bukannya salah, karena Agama Hindu sifatnya fleksibel, akan tetapi kurang tepat. Kendaraan bermotor dan benda elektronik lainnya sejatinya diupacarai pada saat Tumpek Kuningan sebagai wujud pemujaan kepada Dewi Sri sebagai dewi kemakmuran.

Tapi sekarang, perayaan Tumpek Landep lebih ke menyucikan kendaraan, seperti motor, mobil, yang sebenarnya kurang pas. Kalau dilihat motor, mobil, dan alat elektronik lainnya tepat disucikan saat Tumpek Kuningan karena wujud pemujaan terhadap Bhatara Sri sebagai simbolisasi dari kemakmuran.


Asal mula

Melihat kilas balik hari suci Tumpek Landep, perayaan Tumpek Landep sudah dilakukan secara turun temurun sejak dulu oleh Warga Pande yang merupakan pewaris kepercayaan terhadap logam, yang dulunya dihormati oleh para raja. Pelaksanaan hari suci Tumpek Landep ini berkaitan dengan kisah perjalanan Rsi Markandeya dari Jawa ke Bali untuk merambas hutan yang nantinya akan dijadikan lahan pertanian. Kisah ini dimuat dalam Babad Catur Brahmana yang digubah oleh Manik Mas.

Dikisahkan pada abad ke-9, Rsi Markandeya yang sebelumnya melakukan semadhi di kaki Gunung Raung (di perbatsan Banyuwangi, Bondowoso, dan Jember) datang ke Bali bersama ribuan pasukannya untuk merambas hutan dan membuka lahan pertanian. Rombongan ini tiba di Desa Sarwada, Kabupaten Gianyar, Bali.

Karena usahanya mengalami kegagalan fatal karena ribuan prajurit yang dibawa terserang wabah, Rsi Markandeya kembali ke kaki Gunung Raung untuk melakukan semadhi kembali, memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.

Singkat cerita, Rsi akhirnya memperoleh pawisik (bisikan) bahwa sebelum merambas hutan diminta melaksanakan upacara Bhuta Yadnya, dengan menanam lima jenis logam yang disebut sebagai Panca Datu di kaki Gunung Agung yang merupakan asal muasal dari berdirinya Pura Besakih di Bali.

Akhinya dengan melaksanakan upacara Bhuta Yadnya tersebut para prajurit sembuh dan perambasan hutan berjalan dengan lancar. Karena hutan yang dirambas memiliki pohon yang menjulang tinggi, akhirnya tempat tersebut diberi nama Desa Taro yang terletak di Kecamatan Tegallalang, Gianyar, Bali.

Konsepsi yang diyakini dalam pelaksanaan Bhuta Yadnya ini adalah bahwa logam memiliki kekuatan yang mampu menetralisir kekuatan yang bersifat negatif dan mengganggu. Sejatinya kepercayaan terhadap logam ini sudah muncul jauh sebelum era Rsi Markandeya, yang dibuktikan dengan adanya peninggalan situs berupa benda logam, seperti senjata dan perhiasan.

Baca juga: Pemkot Denpasar rayakan Tumpek Landep dengan ritual Jana Kerthi

Makna filosofis

Hari suci Tumpek Landep sebagai salah satu hari suci yang dihitung berdasarkan pawukon merupakan serangkaian dari hari suci Saraswati. Hal ini dimuat dalam lontar sundarigama dan dikombinasikan dengan lontar Widya Tatwa dan lontar Sang Hyang Aji Saraswati.

Dosen Sastra Agama dan Pendidikan Bahasa Bali Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Mpu Kuturan Singaraja Ni Made Ari Dwijayanthi, SS. M.Hum menjelaskan bahwa Tumpek Landep ini sebagai bentuk rangkaian peringatan Saraswati yang dimulai dari hari suci Saraswati, Banyu Pinaruh, Some ribek, Sabuh Mas, Pagerwesi, Tumpek Landep dan ditutup dengan redite manis ukir.

Rangkaian pelaksanaan Tumpek Landep ini dimulai dari perayaan hari raya Saraswati yang merupakan hari turunnya ilmu pengetahuan yang jernih dan suci. Setelah melakukan upacara di hari Saraswati, selanjutnya umat Hindu akan melaksanakan Banyu Pinaruh. Banyu Pinaruh merupakan upacara yang dilakukan di mata air untuk menyucikan dan membersihkan diri dari kegelapan pikiran yang melekat pada diri manusia. Hal ini juga menjadi simbol bahwa ilmu pengetahuan disebarkan melalui air, maka dari itu ilmu pengetahuan memiliki sifat yang menyejukkan.

Setelah melakukan pembersihan diri di mata air, selanjutnya adalah peringatan hari suci Some Ribek dan Sabuh Mas. Pada Some Ribek pengetahuan yang jernih digunakan untuk mencari penghidupan, sedangkan pada hari suci Sabuh Mas pengetahuan digunakan untuk mencari harta benda. Kemudian dilanjutkan dengan pelaksanaan upacara Pagerwesi, dimana pelaksanaan hari suci ini memiliki makna membentengi ilmu pengetahuan agar memiliki batasannya.

Prosesi yang dilalui setelah ilmu pengetahuan dibentengi adalah ilmu pengetahuan ini akan dipasupati pada saat Tumpek Landep. Dalam lontar sundarigama dijelaskan “tumpek landep pinaka landeping idep” yang berarti Tumpek Landep sebagai sarana untuk mempertajam jnana (pengetahuan) dan pikiran manusia. Dimana dalam pelaksanaannya, pengetahuan yang tajam dan runcing disimbolisasikan sebagai senjata. Dengan mempertajam penggunaan pikiran, maka segala persoalan hidup dapat terselesaikan, dan juga mampu mengendalikan kegelapan yang ada dalam diri manusia.

Rangkain pelaksanaan hari suci Tumpek Landep ini ditutup dengan pemujaan kepada Dewa Siwa sebagai Bhatara Hyang Guru yang jatuh pada Redite (minggu) umanis ukir. Dimana di hari ini beberapa umat Hindu akan melaksanakan upacara pada Bhatara Guru atau sanggah kemuliaan.
 

Pewarta: Komang Agus Suartama / Widodo S Jusuf

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023