Bali tidak hanya tersohor akan keindahan alam, tetapi juga terkenal dengan keberagaman kesenian dan kebudayaannya. Seni dan budaya yang menjadi ciri khas Bali adalah tariannya yang bermacam-macam, salah satunya yakni tari topeng sidakarya.
Tari topeng sidakarya merupakan tarian sakral yang dipentaskan sebagai pelengkap jalannya upacara yadnya masyarakat di Bali. Tarian ini masuk ke dalam sembilan tarian Bali yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya takbenda pada 2 September 2015.
Secara etimologi, tari topeng sidakarya diambil dari dua kata yaitu topeng dan sidakarya. Istilah topeng diambil dari kata “tup” yang berarti tutup atau penutup. Sedangkan kata sidakarya berasal dari kata “sida” yang berarti mencapai dan “karya” yang diartikan sebagai pekerjaan. Jadi sidakarya memiliki makna mencapai atau menyelesaikan suatu pekerjaan, sehingga tari topeng sidakarya ini dijadikan simbolisasi bahwa upacara yadnya yang dilakukan terselesaikan dengan baik.
Tarian sakral ini biasanya hanya ditarikan oleh seorang pemangku (orang suci) yang memiliki kebersihan serta kesucian secara lahir dan batin. Salah satunya adalah Pande Made Suardana, M.Si.
Selaku penari topeng sidakarya, Pande menjelaskan beberapa syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk bisa menarikan tarian tersebut.
“Karena tarian ini merupakan pamuput upacara yadnya, hendaknya tarian ini ditarikan oleh seorang pemangku yang paham betul dengan konsepsi Tri Kaya Parisuda dan Tri Hita Karana, memiliki kesucian dan kebersihan diri, paham dengan dasar tari serta memahami sumber sastra dan mantram khusus untuk sidakarya,” ujar Pande kepada ANTARA.
Dalam pementasannya, tari topeng sidakarya diiringi dengan tarian topeng lainnya seperti topeng keras, penasar, prembon (drama tari), topeng tua, serta bebondresan. Selain itu, dalam prosesi penarian topeng sidakarya ini terdapat banten (persembahan) wajib yang disebut dengan banten sayut sidakarya.
Penari topeng sidakarya ini, akan membawa bokoran yang di dalamnya terdapat canang sari, dupa, beras kuning dan sekar rura sebagai simbol dari kedamaian. Isi dalam bokoran ini nantinya akan ditebar sebagai rangkaian pementasan tari yang sarat akan makna. Mulai dari penebaran beras kuning, dengan tujuan untuk menetralisir buta kala agar tidak mengganggu kehidupan manusia dan memperoleh kesejahteraan dan keharmonisan dalam hidup.
Selain itu, tarian ini juga disertai dengan pemberian uang kepeng sebagai simbolisasi dari siklus kehidupan yang tidak dapat dihentikan, dari lahir, tumbuh sampai dewasa, tua kemudian mati hingga lahir kembali ke dunia.
Pementasan tari topeng sidakarya ini ditutup dengan penebaran sekar rura sebagai simbol pemberian persembahan kepada unsur buta kala agar upacara yadnya yang dilakukan berjalan dengan lancar.
Asal usul
Kisah dibalik tari topeng sidakarya diungkap dalam lontar Bebali Sidakarya yang digubah oleh I Nyoman Kantun dan I Ketut Yadnya. Lontar tersebut menjelaskan mengenai Ida Dalem Sidakarya yang merupakan seorang brahmana yang dikenal sebagai Brahmana Keling yang masih memiliki ikatan saudara dengan Raja Dalem Waturenggong.
Dikisahkan dalam pemerintahan Raja Dalem Waturenggong di Bali pada tahun 1515, Brahmana Keling datang ke Bali untuk bertemu dengan Raja Dalem Waturenggong di Puri Gelgel. Namun saat itu beliau tidak bertemu dengan raja karena raja sedang mempersiapkan upacara yadnya yaitu upacara maun nanggluk merana di Pura Besakih karena saat itu Bali terkena wabah.
Singkat cerita, Brahmana Keling beranjak menuju Pura Besakih dengan mengenakan pakaian yang lusuh dan usang. Ketika sampai di sana para pembantu raja menanyakan maksud dan tujuan beliau datang ke pura tersebut. Brahmana Keling menjelaskan bahwa dirinya ingin bertemu dengan Raja Dalem Waturenggong yang merupakan saudara beliau, namun para pembantu raja tidak percaya.
Kemudian Brahmana Keling memutuskan untuk beristirahat sejenak di salah satu pelinggih sanggar tawang yang ada di Pura Besakih. Saat itu, Raja Dalem Waturenggong melihat Brahmana Keling yang sedang istirahat. Namun sangat disayangkan raja tidak mengenali Brahmana Keling dan mengusirnya.
Akhirnya Brahmana Keling mengutuk (memastu) upacara yadnya yang dilakukan oleh Raja Dalem Waturenggong supaya upacara yandnya yang dilaksanakan tidak berjalan dengan lancar.
“Beliau memastu, di mana isi dari pemastunya adalah dumadak dumadik rakyat Bali kulina grubug agung, sehingga semua sarana prasarana upacara yadnya yang disiapkan busuk dan tidak bisa dipakai,” kata Pande.
Singkat cerita, Raja Dalem Waturenggong melaksanakan semadi (bertapa) bersama masyarakat baliaga memohon petunjuk kepada Tuhan tentang apa yang terjadi. Kemudian Raja Dalem Waturenggong memperoleh pawisik (bisikan Tuhan) bahwa yang beliau usir adalah benar saudaranya.
Menyesali perbuatannya dan menyadari bahwa Brahmana Keling adalah saudaranya, Raja Dalem Waturenggong meminta maaf kepada Brahmana Keling. Dan Brahmana Keling pun mencabut kutukannya dan ikut serta dalam upacara yadnya yang dilaksanakan di Pura Besakih.
Pada akhirnya Brahmana Keling ini diberikan gelar Dalem Sidakarya. Semenjak saat itu, setiap upacara yadnya yang dilaksanakan dilengkapi dengan tari topeng sidakarya.
Cerita yang dikemas
Tari topeng sidakarya digambarkan sebagai sosok manusia setengah demanik dengan ciri fisik gigi yang tonggos dengan rambut panjang yang putih dan memiliki mata yang sipit. Tarian ini biasanya ditarikan oleh laki-laki sebagai perwujudan dari Brahmana Keling.
Sebagai salah satu dari tari wali, tari topeng sidakarya mengemas cerita tentang tuntunan kepada masyarakat agar tetap menjaga dan melestarikan konsepsi Tri Hita Karana. Dengan menyeimbangkan tiga unsur yang menciptakan kebahagiaan dalam hidup menurut agama Hindu.
Konsepsi ini menekankan pada bagaimana sesama makhluk hidup yang saling berdampingan. Dalam pementasan tari ini, masyarakat dibimbing dan diingatkan pentingnya menjaga hubungan yang harmonis, baik itu hubungan dengan Tuhan, sesama manusia dan juga dengan lingkungan.
Selain itu, pementasan tari topeng sidakarya ini juga menjelaskan mengenai tetuek (tujuan) dari upacara panca yadnya yang dilaksanakan. Mulai dari penjelasan siapa yang melaksanakan upacara yadnya, wangsanya hingga maksud dilaksanakannya upacara tersebut.
Sebagai salah satu tarian yang digemari masyarakat, tari topeng sidakarya tidak hanya dikemas menjadi tarian sakral saja tetapi dikombinasikan dengan tarian hiburan seperti bebondresan dan tarian lainnya.
Di era digitalisasi seperti saat ini, berdasarkan fakta di lapangan keberadaan tari topeng sidakarya sangat eksis di masyarakat. Tari topeng sidakarya sudah menjamur di berbagai kalangan dibuktikan dengan munculnya kelompok penari sidakarya atau sanggar seni baru dan jumlah permintaan pementasan masyarakat meningkat.
“kalau dulu karena sumber susastra disembunyikan tari topeng sidakarya jarang dipentaskan di masyarakat, beda halnya di zaman sekarang sumber susastra sudah tersebar luas, sehingga penari topeng sidakarya menjamur makin banyak, meluas, dan kian semarak,” tutup Pande.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023
Tari topeng sidakarya merupakan tarian sakral yang dipentaskan sebagai pelengkap jalannya upacara yadnya masyarakat di Bali. Tarian ini masuk ke dalam sembilan tarian Bali yang ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya takbenda pada 2 September 2015.
Secara etimologi, tari topeng sidakarya diambil dari dua kata yaitu topeng dan sidakarya. Istilah topeng diambil dari kata “tup” yang berarti tutup atau penutup. Sedangkan kata sidakarya berasal dari kata “sida” yang berarti mencapai dan “karya” yang diartikan sebagai pekerjaan. Jadi sidakarya memiliki makna mencapai atau menyelesaikan suatu pekerjaan, sehingga tari topeng sidakarya ini dijadikan simbolisasi bahwa upacara yadnya yang dilakukan terselesaikan dengan baik.
Tarian sakral ini biasanya hanya ditarikan oleh seorang pemangku (orang suci) yang memiliki kebersihan serta kesucian secara lahir dan batin. Salah satunya adalah Pande Made Suardana, M.Si.
Selaku penari topeng sidakarya, Pande menjelaskan beberapa syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk bisa menarikan tarian tersebut.
“Karena tarian ini merupakan pamuput upacara yadnya, hendaknya tarian ini ditarikan oleh seorang pemangku yang paham betul dengan konsepsi Tri Kaya Parisuda dan Tri Hita Karana, memiliki kesucian dan kebersihan diri, paham dengan dasar tari serta memahami sumber sastra dan mantram khusus untuk sidakarya,” ujar Pande kepada ANTARA.
Dalam pementasannya, tari topeng sidakarya diiringi dengan tarian topeng lainnya seperti topeng keras, penasar, prembon (drama tari), topeng tua, serta bebondresan. Selain itu, dalam prosesi penarian topeng sidakarya ini terdapat banten (persembahan) wajib yang disebut dengan banten sayut sidakarya.
Penari topeng sidakarya ini, akan membawa bokoran yang di dalamnya terdapat canang sari, dupa, beras kuning dan sekar rura sebagai simbol dari kedamaian. Isi dalam bokoran ini nantinya akan ditebar sebagai rangkaian pementasan tari yang sarat akan makna. Mulai dari penebaran beras kuning, dengan tujuan untuk menetralisir buta kala agar tidak mengganggu kehidupan manusia dan memperoleh kesejahteraan dan keharmonisan dalam hidup.
Selain itu, tarian ini juga disertai dengan pemberian uang kepeng sebagai simbolisasi dari siklus kehidupan yang tidak dapat dihentikan, dari lahir, tumbuh sampai dewasa, tua kemudian mati hingga lahir kembali ke dunia.
Pementasan tari topeng sidakarya ini ditutup dengan penebaran sekar rura sebagai simbol pemberian persembahan kepada unsur buta kala agar upacara yadnya yang dilakukan berjalan dengan lancar.
Asal usul
Kisah dibalik tari topeng sidakarya diungkap dalam lontar Bebali Sidakarya yang digubah oleh I Nyoman Kantun dan I Ketut Yadnya. Lontar tersebut menjelaskan mengenai Ida Dalem Sidakarya yang merupakan seorang brahmana yang dikenal sebagai Brahmana Keling yang masih memiliki ikatan saudara dengan Raja Dalem Waturenggong.
Dikisahkan dalam pemerintahan Raja Dalem Waturenggong di Bali pada tahun 1515, Brahmana Keling datang ke Bali untuk bertemu dengan Raja Dalem Waturenggong di Puri Gelgel. Namun saat itu beliau tidak bertemu dengan raja karena raja sedang mempersiapkan upacara yadnya yaitu upacara maun nanggluk merana di Pura Besakih karena saat itu Bali terkena wabah.
Singkat cerita, Brahmana Keling beranjak menuju Pura Besakih dengan mengenakan pakaian yang lusuh dan usang. Ketika sampai di sana para pembantu raja menanyakan maksud dan tujuan beliau datang ke pura tersebut. Brahmana Keling menjelaskan bahwa dirinya ingin bertemu dengan Raja Dalem Waturenggong yang merupakan saudara beliau, namun para pembantu raja tidak percaya.
Kemudian Brahmana Keling memutuskan untuk beristirahat sejenak di salah satu pelinggih sanggar tawang yang ada di Pura Besakih. Saat itu, Raja Dalem Waturenggong melihat Brahmana Keling yang sedang istirahat. Namun sangat disayangkan raja tidak mengenali Brahmana Keling dan mengusirnya.
Akhirnya Brahmana Keling mengutuk (memastu) upacara yadnya yang dilakukan oleh Raja Dalem Waturenggong supaya upacara yandnya yang dilaksanakan tidak berjalan dengan lancar.
“Beliau memastu, di mana isi dari pemastunya adalah dumadak dumadik rakyat Bali kulina grubug agung, sehingga semua sarana prasarana upacara yadnya yang disiapkan busuk dan tidak bisa dipakai,” kata Pande.
Singkat cerita, Raja Dalem Waturenggong melaksanakan semadi (bertapa) bersama masyarakat baliaga memohon petunjuk kepada Tuhan tentang apa yang terjadi. Kemudian Raja Dalem Waturenggong memperoleh pawisik (bisikan Tuhan) bahwa yang beliau usir adalah benar saudaranya.
Menyesali perbuatannya dan menyadari bahwa Brahmana Keling adalah saudaranya, Raja Dalem Waturenggong meminta maaf kepada Brahmana Keling. Dan Brahmana Keling pun mencabut kutukannya dan ikut serta dalam upacara yadnya yang dilaksanakan di Pura Besakih.
Pada akhirnya Brahmana Keling ini diberikan gelar Dalem Sidakarya. Semenjak saat itu, setiap upacara yadnya yang dilaksanakan dilengkapi dengan tari topeng sidakarya.
Cerita yang dikemas
Tari topeng sidakarya digambarkan sebagai sosok manusia setengah demanik dengan ciri fisik gigi yang tonggos dengan rambut panjang yang putih dan memiliki mata yang sipit. Tarian ini biasanya ditarikan oleh laki-laki sebagai perwujudan dari Brahmana Keling.
Sebagai salah satu dari tari wali, tari topeng sidakarya mengemas cerita tentang tuntunan kepada masyarakat agar tetap menjaga dan melestarikan konsepsi Tri Hita Karana. Dengan menyeimbangkan tiga unsur yang menciptakan kebahagiaan dalam hidup menurut agama Hindu.
Konsepsi ini menekankan pada bagaimana sesama makhluk hidup yang saling berdampingan. Dalam pementasan tari ini, masyarakat dibimbing dan diingatkan pentingnya menjaga hubungan yang harmonis, baik itu hubungan dengan Tuhan, sesama manusia dan juga dengan lingkungan.
Selain itu, pementasan tari topeng sidakarya ini juga menjelaskan mengenai tetuek (tujuan) dari upacara panca yadnya yang dilaksanakan. Mulai dari penjelasan siapa yang melaksanakan upacara yadnya, wangsanya hingga maksud dilaksanakannya upacara tersebut.
Sebagai salah satu tarian yang digemari masyarakat, tari topeng sidakarya tidak hanya dikemas menjadi tarian sakral saja tetapi dikombinasikan dengan tarian hiburan seperti bebondresan dan tarian lainnya.
Di era digitalisasi seperti saat ini, berdasarkan fakta di lapangan keberadaan tari topeng sidakarya sangat eksis di masyarakat. Tari topeng sidakarya sudah menjamur di berbagai kalangan dibuktikan dengan munculnya kelompok penari sidakarya atau sanggar seni baru dan jumlah permintaan pementasan masyarakat meningkat.
“kalau dulu karena sumber susastra disembunyikan tari topeng sidakarya jarang dipentaskan di masyarakat, beda halnya di zaman sekarang sumber susastra sudah tersebar luas, sehingga penari topeng sidakarya menjamur makin banyak, meluas, dan kian semarak,” tutup Pande.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2023