Sejak peletakan batu pertama di Walini, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, pada 21 Januari 2016, pembangunan jalur kereta api berkecepatan tinggi yang membentang dari Jakarta ke Bandung bakal menjadi proyek prestisius bersama Indonesia-China.
Ground breaking tersebut membangun optimisme kedua negara yang kala itu sedang menatap peningkatan kerja sama bilateral ke taraf strategis komprehensif.
Optimisme tersebut sangat penting sebagai suplemen dalam menghadapi pro dan kontra yang menyertai dimulainya proyek tersebut.
Jepang merasa lebih berhak mengerjakan proyek tersebut karena mereka yang melakukan studi kelayakan sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada 2017 hingga 2018, para jurnalis Jepang di Beijing tiada henti-hentinya mencecar juru bicara Kementerian Luar Negeri China (MFA) mengenai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Jubir MFA yang kala itu digawangi trio Hua Chunying, Geng Shuang, dan Lu Kang, menanggapinya dengan lugas bahwa proyek tersebut terus berjalan karena didasari tekad yang kuat antara China dan Indonesia.
Bahkan mereka selalu mengatakan bahwa proyek kereta cepat Jakarta-Bandung itu on progress tanpa menyinggung histori atau kontroversi yang melatarbelakangi.
Media-media Jepang dan Barat pada saat itu memang sedang gencar-gencarnya memberitakan seputar kereta cepat Jakarta-Bandung yang disebutnya di ambang kegagalan. Mereka selalu mengonfirmasi atau meminta tanggapan kepada jubir MFA di setiap pengarahan pers reguler di Beijing tentang hal itu.
Pembebasan lahan adalah masalah klasik yang hampir terjadi di setiap program pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Masalah-masalah itulah yang mungkin melatarbelakangi penilaian jurnalis Jepang dan jurnalis asing lainnya atas kendala yang dihadapi dalam realisasi proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Pemerintah dan publik di China pun ternyata punya pandangan yang sama sehingga proyek tersebut terkesan hanya berhenti atau berakhir pada seremonial ground breaking. Setelah itu tidak ada kelanjutannya.
Sejak proyek tersebut dicanangkan pada 2016, Indonesia memang semakin populer di mata warga China. Bagaimana tidak bangga, kereta cepat Jakarta-Bandung itu proyek kereta cepat pertama China di luar negeri.
Namun makin ke sini, proyek tersebut tidak jelas jeluntrung-nya. Hingga dua atau tiga tahun sejak peletakan batu pertama, proyek tersebut sama sekali tidak kelihatan wujudnya sehingga publik di China mulai bertanya-tanya tentang keseriusan Indonesia.
"Kenapa terus-terusan tertunda?" "Apakah proyek tersebut dikembalikan ke Jepang lagi?" Begitu petanyaan yang sering muncul.
Disalip Viantiane-Yuxi
Dalam hal pembangunan, China tidak bisa dibandingkan dengan Indonesia, meskipun keduanya sama-sama negara berkembang karena sistem sosial politik dan tata kelola pemerintahannya saja berbeda.
Di China sangat wajar membangun rel kereta cepat sepanjang 15 kilometer bisa terselesaikan dalam jangka waktu kurang dari sembilan jam. Hal itu karena di China, tak ada sejengkal tanah pun yang dikuasai oleh perorangan. Semua lahan dikuasai oleh negara. Pihak swasta atau perorangan hanya diberikan hak konsesi atau sewa berjangka.
Ini perbedaan yang sangat mendasar dengan di Indonesia. Setiap pembangunan proyek infrastruktur butuh pengadaan lahan. Dan lahan yang dibutuhkan itu kebanyakan bukan milik negara.
Beberapa jurnalis China manggut-manggut mendengar pernyataan penulis dalam menjawab pertanyaan mengenai fenomena itu dalam diskusi kecil dengan beberapa awak media setempat pada pertengahan 2018.
Lama tak terdengar kelangsungan proyek tersebut. Bahkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung sama sekali tidak disinggung saat Presiden Joko Widodo menerima kunjungan Perdana Menteri China Li Keqiang di Jakarta pada 7 Mei 2018.
Mungkin pemerintah Indonesia merasa enggan menyampaikan perkembangan proyek yang sudah berlangsung lebih dari dua tahun itu hanya menghasilkan pembebasan lahan tidak lebih dari 60 persen.
Di tengah ketidakmenentuan tentang proyek kereta api cepat di Indonesia itu, datanglah kabar dari Laos yang secara mengejutkan berhasil mengoperasikan jalur kereta api baru bersama China.
Satu rangkaian kereta listrik (EMU) yang mengangkut para penumpang dari Vientiane, Ibu Kota Laos, tiba di Stasiun Yuxi, Provinsi Yunnan, China, pada 3 Desember 2021.
Laju perdana kereta yang melintasi jalur sepanjang 422 kilometer dalam waktu 10 jam tersebut disaksikan secara daring oleh Presiden China Xi Jinping dan Presiden Laos Thongloun Sisoulith.
Jalur Viantiane-Yuxi lebih panjang dibandingkan dengan Jakarta-Bandung yang mencapai sekitar 140 kilometer.
Dimulainya pembangunan Viantiane-Yuxi lebih lambat dibandingkan dengan Jakarta-Bandung. Namun pengoperasian Viantiane-Yuxi lebih cepat dibandingkan Jakarta-Bandung.
Biar lambat asal selamat. Pepatah ini sangat populer di Indonesia itu sangat cocok untuk menggambarkan kelangsungan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Indonesia bisa keluar dari tekanan setelah berhasil memanfaatkan momentum Keketuaan G20. Momentum itu tidak hanya membuahkan aplaus dari berbagai kepala negara, kepala pemerintahan, dan komunitas asing lainnya yang kagum atas keberhasilan Indonesia menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi G20 pada 15-16 November 2022 di tengah situasi global yang tidak menentu akibat konflik Ukraina dan pandemi COVID-19 yang berkepanjangan.
Kereta cepat Jakarta-Bandung yang di China dikenal dengan nama Yawan Gaotie juga berhasil memanfaatkan momentum itu.
Presiden Jokowi berhasil membuat Presiden Xi Jinping tersenyum sebelum memulai pertemuan bilateral di sela-sela KTT G20 di Bali pada Rabu (16/11).
Presiden Xi tampak puas menyaksikan kereta cepat Jakarta-Bandung yang melaju dari Stasiun Tegal Luar pada pagi itu. Pandangan orang nomor satu di China itu terus tertuju pada layar monitor yang menggambarkan perjalanan kereta api hasil rekayasa teknologi bangsanya itu.
Meskipun baru terealisasi 88 persen, Xi sangat yakin atas pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang berjanji akan menuntaskan proyek tersebut hingga dapat beroperasi secara penuh pada Juni 2023.
Kereta itu terus menjauh dari emplasemen Stasiun Tegal Luar di Kabupaten Bandung tatkala Jokowi dan Xi beserta masing-masing delegasi Indonesia dan China memasuki ruang pertemuan bilateral.
Media-media China, termasuk platform media sosial populer, seperti Baidu, Duoyin, Kuaishou, dan WeChat tak ada habisnya menurunkan video-video melajunya Si Yawan Gaotie, kereta cepat pertama China di luar negeri sekaligus kereta cepat pertama di kawasan Asia Tenggara, dari Stasiun Tegal Luar itu.
Sampai-sampai juru bicara MFA Mao Ning tak mau ketinggalan dengan memberikan komentar atas lagu tentang kereta cepat yang dibawakan seorang raper Indonesia Akbar Fernando yang sangat viral di Indonesia.
Kereta cepat Jakarta-Bandung tidak hanya sebagai tonggak keberhasilan kemitraan strategis komprehensif Indonesia-China sekaligus perpaduan proyek Prakarsa Sabuk Jalan (Belt and Road Initiaves/BRI) ala China dan Poros Maritim Dunia ala Indonesia yang disebut-sebut sebagai model percontohan kerja sama bilateral bagi negara-negara lain.
Yawan Gaotie kini juga menjadi jawaban atas keraguan publik China yang terpendam sejak beberapa tahun silam.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022
Ground breaking tersebut membangun optimisme kedua negara yang kala itu sedang menatap peningkatan kerja sama bilateral ke taraf strategis komprehensif.
Optimisme tersebut sangat penting sebagai suplemen dalam menghadapi pro dan kontra yang menyertai dimulainya proyek tersebut.
Jepang merasa lebih berhak mengerjakan proyek tersebut karena mereka yang melakukan studi kelayakan sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Pada 2017 hingga 2018, para jurnalis Jepang di Beijing tiada henti-hentinya mencecar juru bicara Kementerian Luar Negeri China (MFA) mengenai proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Jubir MFA yang kala itu digawangi trio Hua Chunying, Geng Shuang, dan Lu Kang, menanggapinya dengan lugas bahwa proyek tersebut terus berjalan karena didasari tekad yang kuat antara China dan Indonesia.
Bahkan mereka selalu mengatakan bahwa proyek kereta cepat Jakarta-Bandung itu on progress tanpa menyinggung histori atau kontroversi yang melatarbelakangi.
Media-media Jepang dan Barat pada saat itu memang sedang gencar-gencarnya memberitakan seputar kereta cepat Jakarta-Bandung yang disebutnya di ambang kegagalan. Mereka selalu mengonfirmasi atau meminta tanggapan kepada jubir MFA di setiap pengarahan pers reguler di Beijing tentang hal itu.
Pembebasan lahan adalah masalah klasik yang hampir terjadi di setiap program pembangunan infrastruktur di Indonesia.
Masalah-masalah itulah yang mungkin melatarbelakangi penilaian jurnalis Jepang dan jurnalis asing lainnya atas kendala yang dihadapi dalam realisasi proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Pemerintah dan publik di China pun ternyata punya pandangan yang sama sehingga proyek tersebut terkesan hanya berhenti atau berakhir pada seremonial ground breaking. Setelah itu tidak ada kelanjutannya.
Sejak proyek tersebut dicanangkan pada 2016, Indonesia memang semakin populer di mata warga China. Bagaimana tidak bangga, kereta cepat Jakarta-Bandung itu proyek kereta cepat pertama China di luar negeri.
Namun makin ke sini, proyek tersebut tidak jelas jeluntrung-nya. Hingga dua atau tiga tahun sejak peletakan batu pertama, proyek tersebut sama sekali tidak kelihatan wujudnya sehingga publik di China mulai bertanya-tanya tentang keseriusan Indonesia.
"Kenapa terus-terusan tertunda?" "Apakah proyek tersebut dikembalikan ke Jepang lagi?" Begitu petanyaan yang sering muncul.
Disalip Viantiane-Yuxi
Dalam hal pembangunan, China tidak bisa dibandingkan dengan Indonesia, meskipun keduanya sama-sama negara berkembang karena sistem sosial politik dan tata kelola pemerintahannya saja berbeda.
Di China sangat wajar membangun rel kereta cepat sepanjang 15 kilometer bisa terselesaikan dalam jangka waktu kurang dari sembilan jam. Hal itu karena di China, tak ada sejengkal tanah pun yang dikuasai oleh perorangan. Semua lahan dikuasai oleh negara. Pihak swasta atau perorangan hanya diberikan hak konsesi atau sewa berjangka.
Ini perbedaan yang sangat mendasar dengan di Indonesia. Setiap pembangunan proyek infrastruktur butuh pengadaan lahan. Dan lahan yang dibutuhkan itu kebanyakan bukan milik negara.
Beberapa jurnalis China manggut-manggut mendengar pernyataan penulis dalam menjawab pertanyaan mengenai fenomena itu dalam diskusi kecil dengan beberapa awak media setempat pada pertengahan 2018.
Lama tak terdengar kelangsungan proyek tersebut. Bahkan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung sama sekali tidak disinggung saat Presiden Joko Widodo menerima kunjungan Perdana Menteri China Li Keqiang di Jakarta pada 7 Mei 2018.
Mungkin pemerintah Indonesia merasa enggan menyampaikan perkembangan proyek yang sudah berlangsung lebih dari dua tahun itu hanya menghasilkan pembebasan lahan tidak lebih dari 60 persen.
Di tengah ketidakmenentuan tentang proyek kereta api cepat di Indonesia itu, datanglah kabar dari Laos yang secara mengejutkan berhasil mengoperasikan jalur kereta api baru bersama China.
Satu rangkaian kereta listrik (EMU) yang mengangkut para penumpang dari Vientiane, Ibu Kota Laos, tiba di Stasiun Yuxi, Provinsi Yunnan, China, pada 3 Desember 2021.
Laju perdana kereta yang melintasi jalur sepanjang 422 kilometer dalam waktu 10 jam tersebut disaksikan secara daring oleh Presiden China Xi Jinping dan Presiden Laos Thongloun Sisoulith.
Jalur Viantiane-Yuxi lebih panjang dibandingkan dengan Jakarta-Bandung yang mencapai sekitar 140 kilometer.
Dimulainya pembangunan Viantiane-Yuxi lebih lambat dibandingkan dengan Jakarta-Bandung. Namun pengoperasian Viantiane-Yuxi lebih cepat dibandingkan Jakarta-Bandung.
Biar lambat asal selamat. Pepatah ini sangat populer di Indonesia itu sangat cocok untuk menggambarkan kelangsungan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung.
Indonesia bisa keluar dari tekanan setelah berhasil memanfaatkan momentum Keketuaan G20. Momentum itu tidak hanya membuahkan aplaus dari berbagai kepala negara, kepala pemerintahan, dan komunitas asing lainnya yang kagum atas keberhasilan Indonesia menyelenggarakan Konferensi Tingkat Tinggi G20 pada 15-16 November 2022 di tengah situasi global yang tidak menentu akibat konflik Ukraina dan pandemi COVID-19 yang berkepanjangan.
Kereta cepat Jakarta-Bandung yang di China dikenal dengan nama Yawan Gaotie juga berhasil memanfaatkan momentum itu.
Presiden Jokowi berhasil membuat Presiden Xi Jinping tersenyum sebelum memulai pertemuan bilateral di sela-sela KTT G20 di Bali pada Rabu (16/11).
Presiden Xi tampak puas menyaksikan kereta cepat Jakarta-Bandung yang melaju dari Stasiun Tegal Luar pada pagi itu. Pandangan orang nomor satu di China itu terus tertuju pada layar monitor yang menggambarkan perjalanan kereta api hasil rekayasa teknologi bangsanya itu.
Meskipun baru terealisasi 88 persen, Xi sangat yakin atas pernyataan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan yang berjanji akan menuntaskan proyek tersebut hingga dapat beroperasi secara penuh pada Juni 2023.
Kereta itu terus menjauh dari emplasemen Stasiun Tegal Luar di Kabupaten Bandung tatkala Jokowi dan Xi beserta masing-masing delegasi Indonesia dan China memasuki ruang pertemuan bilateral.
Media-media China, termasuk platform media sosial populer, seperti Baidu, Duoyin, Kuaishou, dan WeChat tak ada habisnya menurunkan video-video melajunya Si Yawan Gaotie, kereta cepat pertama China di luar negeri sekaligus kereta cepat pertama di kawasan Asia Tenggara, dari Stasiun Tegal Luar itu.
Sampai-sampai juru bicara MFA Mao Ning tak mau ketinggalan dengan memberikan komentar atas lagu tentang kereta cepat yang dibawakan seorang raper Indonesia Akbar Fernando yang sangat viral di Indonesia.
Kereta cepat Jakarta-Bandung tidak hanya sebagai tonggak keberhasilan kemitraan strategis komprehensif Indonesia-China sekaligus perpaduan proyek Prakarsa Sabuk Jalan (Belt and Road Initiaves/BRI) ala China dan Poros Maritim Dunia ala Indonesia yang disebut-sebut sebagai model percontohan kerja sama bilateral bagi negara-negara lain.
Yawan Gaotie kini juga menjadi jawaban atas keraguan publik China yang terpendam sejak beberapa tahun silam.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022