Yayasan Penggak Men Mersi berkolaborasi dengan sejumlah kelompok seni dan sanggar komunitas di Bali menampilkan garapan bernuansa kesenian rakyat agraris dengan konsep Kerta Masa dalam ajang Festival Pangan Lokal di Kota Denpasar.

Kadek Wahyudita selaku Kelian (Ketua) Penggak Men Mersi yang juga koordinator garapan di sela pementasan di Denpasar, Jumat (4/11) malam, mengatakan pihaknya menampilkan berbagai jenis kesenian rakyat agraris seperti Jegog, Rindik, Okokan, dan Gong Suling.

"Konsep Kerta Masa diambil dari sebuah istilah dalam kehidupan sosial masyarakat Bali agraris. Kerta Masa adalah sebuah kondisi masyarakat yang hidup teratur, makmur dengan pangan yang berlimpah, dan bahagia dalam balutan seni dan keindahan," ujarnya.

Garapan yang melibatkan 75 orang dengan berdurasi 90 menit tersebut di Festival Pangan Lokal yang digelar Pemprov Bali itu, Penggak Men Mersi berkolaborasi dengan Sanggar Gumiart dan Sekaa Gong Suling Gita Semara.

Kemudian, juga melibatkan Sekaa Okokan Sanggar Seni Kebo Iwa, Haridwipa Gamelan dan Sekaa Jegog serta Rindik Gora Yowana Jembrana.

"Garapan seni yang ditampilkan mengimplementasikan pertanian. Sektor agraris inilah yang menjadi sumber pangan yang menghidupi masyarakat Bali. Pertanian adalah ibu dari kebudayaan masyarakat Bali," ujar Wahyudita.

Pertanian, lanjut dia, melahirkan tata cara yang menjadi lelaku masyarakat Bali untuk senantiasa hidup harmonis bersama alam.

Ia menambahkan, kesuburan alam dan hasil panen yang berlimpah melahirkan wujud syukur yang diekspresikan dengan puspa ragam keindahan dalam bentuk seni musik dan tari.

"Inilah Kerta Masa, sebuah nilai adi luhung yang hingga kini eksis dalam kehidupan sosial masyarakat Bali. Kerta ikang Jagad, Rahayu ikang Rat," katanya pula.

Wahyudita menekankan, garapan yang ditampilkan merupakan aktualisasi agraris mengantarkan pada sentuhan pertanian menjadi esensi bermakna ganda.

Menurut dia, realitas pertanian berbentur modernisasi dan interpretasi manusia dengan Tuhan, manusia dengan alam serta manusia dengan manusia menjadi sisi, gelap dan terang.

"Kenyataan kesejahteraan menuju pangan jasmani rohani seimbang di era globalisasi menjadi pesan musik teatrikal pelestarian pertanian ini," ujarnya.

Penampilan garapan tari energik, inovatif menghibur oleh Sanggar Gumiart diiringi gamelan Gong Suling "Ngapat".

"Ngapat" merupakan sebuah karya yang terinspirasi dari sasih kapat (musim semi) dimana bunga-bunga sedang bermekaran. Pada musim inilah para seniman dan pujangga mendekatkan diri pada alam untuk melahirkan karya seni yang bermutu.

Ngapat dalam konteks karya ini menggambarkan keceriaan masyarakat agraris menikmati keindahan alam dan melimpahnya anugerah hasil pertanian.

Kemudian, ditampilkan kesenian Okokan dan Tektekan adalah wujud kesenian khas Kabupaten Tabanan. Kesenian ini awalnya termasuk ke dalam kesenian sakral yang dipentaskan saat pertanian mengalami gagal panen atau pertanian diserang oleh hama.

Kesenian ini dipentaskan untuk memohon ke hadapan ibu pertiwi agar segala musibah dan penyakit yang yang melanda pertanian dilenyapkan.

Berikutnya sebagal sajian pamungkas pengunjung dimanjakan sajian kesenian Jegog yang membawakan Tari Luihing Paksi dan Tari Joged Bumbung.

Tari Luihing Paksi adalah sebuah tari kreasi yang menggambarkan tentang Tari Jalak Bali sebagai ikon Bali Barat.

Tari ini ditarikan oleh tiga orang gadis dengan iringan gamelan Jegog. Sedangkan Tari Joged tak kalah serunya, dua penari tampil sekaligus menghibur penonton dengan berjoget di atas panggung.

 

Pewarta: Ni Luh Rhismawati

Editor : Adi Lazuardi


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022