Denpasar (Antara Bali) - Budayawan Slamet Rahardjo Djarot meminta pengawak TVRI untuk mengubah etos kerja dari mental "bangsawan" menjadi "anak biasa" yang siap bertarung di medan laga pertelevisian nasional.

"Kalau TVRI tidak mau mengubah etos kerja, minta ampun. Saya kalau bekerja sama dengan TV swasta harus menyediakan tiga sapu tangan karena berkeringat, tapi dengan TVRI kadang tidak perlu itu," katanya dalam dialog publik bertema "Peran TVRI Bali sebagai Media Kebudayaan" di Denpasar, Selasa.

Ia mengemukakan bahwa TVRI itu bisa dikatakan sebagai anak raja atau keturunan bangsawan yang mendapat warisan. TVRI itu mendapatkan dana dari APBN, sementara televisi swasta harus mencari uang sendiri agar tidak bangkrut.

"Tapi di Yogyakarta, bangsawan itu menjadi 'bangsane tangi awan' (bangsanya orang bangun kesiangan). Mental seperti itu menjadi terlena karena mendapat fasilitas, keenakan sehingga bangunnya kesiangan," kata aktor terkemuka Indonesia itu.

Ia memberikan contoh, acara yang diasuhnya di TVRI setiap malam Minggu hanya melibatkan dia bersama satu orang temannya. Ia kemudian berseloroh, untuk program tersebut ia juga dibantu oleh Tuhan. TVRI tidak pernah membayar bantuan Tuhan itu.

"Bandingkan dengan acara Kick Andy di Metro TV yang melibatkan 36 orang. Ke-36 orang itu memiliki tanggung jawab yang pasti," kata pria kelahiran Serang, 21 Januari 1949 itu.

Pada kesempatan yang juga menampilkan Dirut LPP TVRI Hariono itu, ia juga mengemukakan bahwa TVRI jangan menabukan acara yang sensaional, bahkan hal itu harus dilakukan agar tidak ditinggalkan oleh pemirsanya.

"TVRI sensasional? Kenapa tidak?. Bahkan harus sensasional. Tetapi sensasional yang esensial dong. TVRI harus membuat acara hiburan dengan tampilan yang sebenarnya hiburan. Jangan seperti sinetron dan infotainment Indonesia yang isinya perseteruan," katanya.

Sementara Dirut LPP TVRI Hariono mengemukakan bahwa saat ini rating telah menjadi dewa bagi insan televisi dan profit menjadi ukuran keberhasilan media.

Ia juga menyinggung banyak sensasi yang ditampilkan media akhir-akhir ini. Menurut dia, sensasi itu muncul karena ada kekebasan pers di era demokrasi.

"Kita tidak bisa membatasi apalagi memberangus itu. Yang bisa kita lakukan adalah memperkuat lembaga penyiaran publik, seperti TVRI dan RRI sehingga sensasi dari infotainment dan hiburan ada keseimbangan," katanya. (*)

Pewarta:

Editor : Masuki


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2009