Denpasar (Antara Bali) - Komisi Penanggulangan AIDS Daerah atau KPAD Bali melaporkan, penularan HIV/AIDS kini telah menginfeksi 133 anak di Pulau Dewata.
"Penyakit ini penularannya diperkirakan melalui kedua orang tuannya. Ini menunjukkan HIV/AIDS penularannya sudah masuk dalam ranah keluarga dan tidak lagi sebatas pada kelompok beresiko," kata Koordinator Hubungan Media KPAD Bali Mercya Soesanto pada keteranganya di Denpasar, Senin.
Menurut dia, penularan HIV/AIDS pada anak-anak ini paling banyak kasusnya ditemukan di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Kasus penularan HIV/AIDS pada anak tidak saja didominasi oleh anak-anak di daerah perkotaan, tetapi juga oleh anak-anak di daerah pedesaan.
"Penyebaran tempat hiburan malam seperti cafe hingga ke pelosok desa disinyalir menjadi salah satu faktor meningkatnya kasus HIV/AIDS di pedesaan. Mengingat para pekerja seks sering berperan ganda dengan menjadi pelayan cafe yang menjamur di pedesaan," katanya.
Tantangan ke depan dalam penanggulangan HIV/AIDS, menurutnya, akan menjadi semakin berat mengingat penyebaran penularan menjadi semakin luas. Selain itu tantangan lainnya adalah masih terbatasnya sarana pengobatan bagi para pasien HIV/AIDS.
"Belum lagi para pasien HIV/AIDS cendrung enggan untuk memeriksakan kesehatannya akibat terjadi diskriminasi dan stigma. Artinya kita perlu semakin banyak rumah sakit, dokter, para medis yang mau ikut perduli terhadap permasalahan ini, karena begitu ditemukan kasus pada anak itu juga berarti kasus pada ibunya," ujarnya.
Ia menyampaikan perlu adanya perluasan sosialisasi terhadap tenaga kesehatan di tingkat bawah, seperti bidang dan petugas puskesmas, mengingat kasus HIV/AIDS telah meluas ke pedesaan dan masuk dalam lingkup keluarga.
Hal ini sangat diperlukan sekali agar petugas kesehatan tingkat bawah tidak melakukan diskriminasi dan stigma terhadap pasien HIV/AIDS. "Paling tidak, bidan di desa bisa memberikan pelayanan pada ibu hamil yang diduga terinfeksi HIV," katanya.
Dia mengungkapkan, ke depan perlu juga adanya sosialisasi pada masyarakat untuk memeriksakan status HIV/AIDS ke klinik VCT (Klinik tes kesehatan secara sukarela).
"Budaya tes ke klinik VCT harus menjadi suatu bagian dari gaya hidup di tengah meluasnya penularan HIV/AIDS. Selama ini masyarakat pada takut ke klinik VCT karena ketakutan akan diskriminasi yang diterima. Ini harus segera diluruskan," ujarnya.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Bali Karyasa Adnyana memprediksikan jumlah kasus HIV/AIDS pada anak di Bali lebih dari 133 kasus, karena jumlah yang ada di lapangan dan belum tercatat lebih banyak.
"Ini ibarat fenomena gunung es, apalagi gejalannya cendrung tidak kelihatan," katanya.
Menurut dia, DPRD Bali kini sedang mengembangkan suatu kebijakan untuk meminimalisasi terjadinya diskriminasi pada pasien HIV/AIDS terutama dalam memperoleh layanan kesehatan.
"Bagaimana mengubah stigma dari masyarakat agar tidak HIV/AIDS itu dianak tirikan sehingga cendrung lebih awal mereka memeriksakan diri," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2009
"Penyakit ini penularannya diperkirakan melalui kedua orang tuannya. Ini menunjukkan HIV/AIDS penularannya sudah masuk dalam ranah keluarga dan tidak lagi sebatas pada kelompok beresiko," kata Koordinator Hubungan Media KPAD Bali Mercya Soesanto pada keteranganya di Denpasar, Senin.
Menurut dia, penularan HIV/AIDS pada anak-anak ini paling banyak kasusnya ditemukan di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar. Kasus penularan HIV/AIDS pada anak tidak saja didominasi oleh anak-anak di daerah perkotaan, tetapi juga oleh anak-anak di daerah pedesaan.
"Penyebaran tempat hiburan malam seperti cafe hingga ke pelosok desa disinyalir menjadi salah satu faktor meningkatnya kasus HIV/AIDS di pedesaan. Mengingat para pekerja seks sering berperan ganda dengan menjadi pelayan cafe yang menjamur di pedesaan," katanya.
Tantangan ke depan dalam penanggulangan HIV/AIDS, menurutnya, akan menjadi semakin berat mengingat penyebaran penularan menjadi semakin luas. Selain itu tantangan lainnya adalah masih terbatasnya sarana pengobatan bagi para pasien HIV/AIDS.
"Belum lagi para pasien HIV/AIDS cendrung enggan untuk memeriksakan kesehatannya akibat terjadi diskriminasi dan stigma. Artinya kita perlu semakin banyak rumah sakit, dokter, para medis yang mau ikut perduli terhadap permasalahan ini, karena begitu ditemukan kasus pada anak itu juga berarti kasus pada ibunya," ujarnya.
Ia menyampaikan perlu adanya perluasan sosialisasi terhadap tenaga kesehatan di tingkat bawah, seperti bidang dan petugas puskesmas, mengingat kasus HIV/AIDS telah meluas ke pedesaan dan masuk dalam lingkup keluarga.
Hal ini sangat diperlukan sekali agar petugas kesehatan tingkat bawah tidak melakukan diskriminasi dan stigma terhadap pasien HIV/AIDS. "Paling tidak, bidan di desa bisa memberikan pelayanan pada ibu hamil yang diduga terinfeksi HIV," katanya.
Dia mengungkapkan, ke depan perlu juga adanya sosialisasi pada masyarakat untuk memeriksakan status HIV/AIDS ke klinik VCT (Klinik tes kesehatan secara sukarela).
"Budaya tes ke klinik VCT harus menjadi suatu bagian dari gaya hidup di tengah meluasnya penularan HIV/AIDS. Selama ini masyarakat pada takut ke klinik VCT karena ketakutan akan diskriminasi yang diterima. Ini harus segera diluruskan," ujarnya.
Wakil Ketua Komisi IV DPRD Bali Karyasa Adnyana memprediksikan jumlah kasus HIV/AIDS pada anak di Bali lebih dari 133 kasus, karena jumlah yang ada di lapangan dan belum tercatat lebih banyak.
"Ini ibarat fenomena gunung es, apalagi gejalannya cendrung tidak kelihatan," katanya.
Menurut dia, DPRD Bali kini sedang mengembangkan suatu kebijakan untuk meminimalisasi terjadinya diskriminasi pada pasien HIV/AIDS terutama dalam memperoleh layanan kesehatan.
"Bagaimana mengubah stigma dari masyarakat agar tidak HIV/AIDS itu dianak tirikan sehingga cendrung lebih awal mereka memeriksakan diri," katanya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2009