Siang itu, Gusti Kompyang Aya panik. Seorang wisatawan asing yang dipandunya terjatuh saat mandi di Pantai Candidasa, Kabupaten Karangasem, Bali.
Si turis harus segera dibawa ke rumah sakit karena mengalami luka dan pendarahan. Tak ada alat komunikasi untuk menghubungi petugas kesehatan. Satu-satunya langkah cepat adalah mendatangi kantor polisi sektor (polsek) sekaligus ke kantor komando rayon militer (koramil) setempat.
Pramuwisata muda itu meminta bantuan polisi sekaligus anggota TNI AD untuk memberitahu ke rumah sakit di Kota Amlapura, Kabupaten Karangasem bahwa seseorang membutuhkan pertolongan segera. Jarak Candidasa ke Amlapura sekitar 20 kilometer.
Lewat komunikasi radio, anggota polsek dan koramil berusaha menghubungi kantornya di kota. Dari kantor polres dan kodim, baru disampaikan ke rumah sakit. Ambulans segera dikirim. Membutuhkan waktu tiga hingga lima jam untuk menangani seorang wisatawan yang mengalami kecelakaan seperti itu.
"Saya mengalami kejadian itu dulu, sebelum ada telepon seluler seperti sekarang ini. Kalau sekarang kan sudah enak, karena sewaktu-waktu bisa menghubungi siapa saja jika ada keperluan atau ada peristiwa yang membutuhkan pertolongan mendadak," kata Kompyang Aya, praktisi pramuwisata di Bali.
Ratna N Soebrata, praktisi pariwisata yang dulunya menangani agen travel memiliki cerita lain mengenai ini.
"Dulu, sebelum ada telepon seluler, kami biasa membawa uang koin dalam jumlah banyak kalau melayani tamu, tapi sekarang cukup dengan HP kecil," kata perempuan yang berpengalaman sebagai general manajer di industri pariwisata itu.
Saat mengelola agen travel sekitar tahun 1980-an, Ratna dan praktisi pariwisata lain banyak mengandalkan telepon koin yang disediakan di sejumlah hotel. Saat mengantar tamu ke suatu lokasi, ia menghubungi stafnya di kantor lewat telepon koin.
"Makanya saat itu saya harus selalu menyiapkan uang koin yang banyak. Sampai-sampai saya punya dompet koin yang isinya uang recehan," kata Ketua Asosiasi Travel Asia Pasifik (PATA) kawasan Bali dan Nusa Tenggara itu sambil tertawa.
Setiap ke pasar atau belanja di toko, Ratna rajin mengumpulkan uang recehan tersebut. Koin-koin itu dikumpulkannya untuk keperluan melayani wisatawan.
Dia mengaku, pertama kali menggunakan telepon seluler tahun 1992, namun ukurannya masih sangat besar. Karena besar, maka seringkali penggunanya masih canggung menggunakan telepon tanpa kabel itu di tempat umum.
"Bentuknya kotak panjang, separuh dari batu bata. Namun seiring perkembangan teknologi seluler yang semakin canggih, kini sudah semakin kecil. Apalagi semakin banyak operator, pengguna semakin diuntungkan, termasuk kami yang di pariwisata," katanya.
Ia mengemukakan, awal-awal menggunakan HP, dia harus menyediakan baterei cadangan karena saat itu, bateri telepon seluler hanya tahan sekitar dua jam.
Menurut dia, dengan adanya telepon seluler yang dalam perkembangannya menyediakan banyak pilihan kebutuhan, saat ini industri pariwisata sangat terbantu.
Untuk keperluan mengawasi pramuwisata maupun sopir, katanya, ia tinggal memberikan arahan lewat telepon seluler yang dari sisi tarif cukup murah, saat ini antar operator sudah bersaing.
"Kalau ada apa-apa di jalan yang perlu bantuan dari kantor akan cepat terselesaikan. Misalnya mobil rusak di tengah perjalanan, kami dengan mudah mengirim mobil pengganti ke lokasi. Coba kalau belum ada telepon seluler, kalau ada mobil mogok, kan susah komunikasinya," katanya.
Untuk melayani kebutuhan wisatawan yang menggunakan jasa perusahaannya, telepon seluler sangat membantu. Misalnya ketika mengantar wisatawan yang jumlahnya mencapai 50 orang ke Kintamani, dia hanya menelepon pengelola restoran agar menyiapkan menu makan siang.
"Sampai di lokasi, staf restoran sudah menyambut wisatwan dengan menyematkan bunga dengan tepat waktu. Nah, tamu merasa senang karena dikira staf restoran sudah berdiri lama untuk menyambut mereka," katanya.
Selain itu, katanya, untuk pengambilan keputusan, dengan adanya layanan seluler, tidak perlu lagi harus menunggu waktu bertemu di kantor. Semua tempat bisa menjadi kantor, dan dirinya bisa mengendalikan karyawan dari manapun berada lewat telepon seluler.
Sementara Ketua Badan Pariwisata Bali (BTB) Ngurah Wijaya mengatakan bahwa perkembangan seluler saat ini sangat memudahkan dirinya untuk melakukan aktivitas di bidang pariwisata.
"Sekarang kalau bahas masalah dengan staf tidak perlu bertemu di kantor karena bisa menggunakan handphone. Jadi kami bisa berkantor di mana saja," katanya.
Dengan perkembangan seluler yang bisa mengakses internet, katanya, pelaku pariwisata bisa mengakses perkembangan dunia secara cepat lewat telepon seluler. Perkembangan dunia tersebut tentu sangat dibutuhkan oleh pelaku pariwisata untuk memberikan layanan terbaik kepada wisatawan, terutama dari mancanegara.
Karena keberadaan telepon seluler memberikan dukungan positif bagi pengembangan industri pariwisata, maka operator, seperti PT Excelcomindo Pratama, Tbk bisa menggarap pasar khusus ini, misalnya memberlakukan tarif khusus untuk praktisi pariwisata.
Pelaku pariwisata ini merupakan salah satu pasar potensial karena di Bali saja terdapat 7.000 pramuwisata, 500-an agen travel, serta ribuan hotel dan restoran.
"Kalau XL mau menggarap pasar khusus dengan tarif khusus untuk kalangan praktisi pariwisata, saya kira sangat bagus," kata Ratna. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2009
Si turis harus segera dibawa ke rumah sakit karena mengalami luka dan pendarahan. Tak ada alat komunikasi untuk menghubungi petugas kesehatan. Satu-satunya langkah cepat adalah mendatangi kantor polisi sektor (polsek) sekaligus ke kantor komando rayon militer (koramil) setempat.
Pramuwisata muda itu meminta bantuan polisi sekaligus anggota TNI AD untuk memberitahu ke rumah sakit di Kota Amlapura, Kabupaten Karangasem bahwa seseorang membutuhkan pertolongan segera. Jarak Candidasa ke Amlapura sekitar 20 kilometer.
Lewat komunikasi radio, anggota polsek dan koramil berusaha menghubungi kantornya di kota. Dari kantor polres dan kodim, baru disampaikan ke rumah sakit. Ambulans segera dikirim. Membutuhkan waktu tiga hingga lima jam untuk menangani seorang wisatawan yang mengalami kecelakaan seperti itu.
"Saya mengalami kejadian itu dulu, sebelum ada telepon seluler seperti sekarang ini. Kalau sekarang kan sudah enak, karena sewaktu-waktu bisa menghubungi siapa saja jika ada keperluan atau ada peristiwa yang membutuhkan pertolongan mendadak," kata Kompyang Aya, praktisi pramuwisata di Bali.
Ratna N Soebrata, praktisi pariwisata yang dulunya menangani agen travel memiliki cerita lain mengenai ini.
"Dulu, sebelum ada telepon seluler, kami biasa membawa uang koin dalam jumlah banyak kalau melayani tamu, tapi sekarang cukup dengan HP kecil," kata perempuan yang berpengalaman sebagai general manajer di industri pariwisata itu.
Saat mengelola agen travel sekitar tahun 1980-an, Ratna dan praktisi pariwisata lain banyak mengandalkan telepon koin yang disediakan di sejumlah hotel. Saat mengantar tamu ke suatu lokasi, ia menghubungi stafnya di kantor lewat telepon koin.
"Makanya saat itu saya harus selalu menyiapkan uang koin yang banyak. Sampai-sampai saya punya dompet koin yang isinya uang recehan," kata Ketua Asosiasi Travel Asia Pasifik (PATA) kawasan Bali dan Nusa Tenggara itu sambil tertawa.
Setiap ke pasar atau belanja di toko, Ratna rajin mengumpulkan uang recehan tersebut. Koin-koin itu dikumpulkannya untuk keperluan melayani wisatawan.
Dia mengaku, pertama kali menggunakan telepon seluler tahun 1992, namun ukurannya masih sangat besar. Karena besar, maka seringkali penggunanya masih canggung menggunakan telepon tanpa kabel itu di tempat umum.
"Bentuknya kotak panjang, separuh dari batu bata. Namun seiring perkembangan teknologi seluler yang semakin canggih, kini sudah semakin kecil. Apalagi semakin banyak operator, pengguna semakin diuntungkan, termasuk kami yang di pariwisata," katanya.
Ia mengemukakan, awal-awal menggunakan HP, dia harus menyediakan baterei cadangan karena saat itu, bateri telepon seluler hanya tahan sekitar dua jam.
Menurut dia, dengan adanya telepon seluler yang dalam perkembangannya menyediakan banyak pilihan kebutuhan, saat ini industri pariwisata sangat terbantu.
Untuk keperluan mengawasi pramuwisata maupun sopir, katanya, ia tinggal memberikan arahan lewat telepon seluler yang dari sisi tarif cukup murah, saat ini antar operator sudah bersaing.
"Kalau ada apa-apa di jalan yang perlu bantuan dari kantor akan cepat terselesaikan. Misalnya mobil rusak di tengah perjalanan, kami dengan mudah mengirim mobil pengganti ke lokasi. Coba kalau belum ada telepon seluler, kalau ada mobil mogok, kan susah komunikasinya," katanya.
Untuk melayani kebutuhan wisatawan yang menggunakan jasa perusahaannya, telepon seluler sangat membantu. Misalnya ketika mengantar wisatawan yang jumlahnya mencapai 50 orang ke Kintamani, dia hanya menelepon pengelola restoran agar menyiapkan menu makan siang.
"Sampai di lokasi, staf restoran sudah menyambut wisatwan dengan menyematkan bunga dengan tepat waktu. Nah, tamu merasa senang karena dikira staf restoran sudah berdiri lama untuk menyambut mereka," katanya.
Selain itu, katanya, untuk pengambilan keputusan, dengan adanya layanan seluler, tidak perlu lagi harus menunggu waktu bertemu di kantor. Semua tempat bisa menjadi kantor, dan dirinya bisa mengendalikan karyawan dari manapun berada lewat telepon seluler.
Sementara Ketua Badan Pariwisata Bali (BTB) Ngurah Wijaya mengatakan bahwa perkembangan seluler saat ini sangat memudahkan dirinya untuk melakukan aktivitas di bidang pariwisata.
"Sekarang kalau bahas masalah dengan staf tidak perlu bertemu di kantor karena bisa menggunakan handphone. Jadi kami bisa berkantor di mana saja," katanya.
Dengan perkembangan seluler yang bisa mengakses internet, katanya, pelaku pariwisata bisa mengakses perkembangan dunia secara cepat lewat telepon seluler. Perkembangan dunia tersebut tentu sangat dibutuhkan oleh pelaku pariwisata untuk memberikan layanan terbaik kepada wisatawan, terutama dari mancanegara.
Karena keberadaan telepon seluler memberikan dukungan positif bagi pengembangan industri pariwisata, maka operator, seperti PT Excelcomindo Pratama, Tbk bisa menggarap pasar khusus ini, misalnya memberlakukan tarif khusus untuk praktisi pariwisata.
Pelaku pariwisata ini merupakan salah satu pasar potensial karena di Bali saja terdapat 7.000 pramuwisata, 500-an agen travel, serta ribuan hotel dan restoran.
"Kalau XL mau menggarap pasar khusus dengan tarif khusus untuk kalangan praktisi pariwisata, saya kira sangat bagus," kata Ratna. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2009