Denpasar (Antara Bali) - Ketua Majelis Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi) Bali, Supriyadi, mendorong masyarakat memperbanyak kegiatan lomba bagi remaja untuk mencegah tawuran antarpelajar.
"Jangan hanya mengadakan lomba-lomba ilmiah, perbanyaklah lomba basket, sepak bola, dan sebagainya yang pada prinsipnya melibatkan kelompok remaja," kata akademisi dari Universitas Udayana itu, di Denpasar, Rabu.
Menurut dia, maraknya tawuran pelajar belakangan ini, tidak terlepas dari imitasi agresi atau contoh perilaku agresif yang ditampilkan terus-menerus di televisi.
"Remaja-remaja zaman sekarang terlalu sering melihat di televisi bahwa cara mengemukakan pendapat atau menyampaikan keluhan dengan cara destruktif seperti dengan demo ataupun bentuk kekerasan lainnya," ujarnya.
Pola seperti itulah, kata dia, yang kemudian dicontoh sehingga kaum remaja baru merasa eksis ketika melakukan kekerasan. "Di sisi lain, kecenderungan remaja yang tinggal di kota menjadi bersifat keras karena sumber daya dan fasilitas sudah minim. Akibatnya terjadi perebutan eksistensi dan sumber daya alam," katanya.
Ia mengakui pendidikan budi pekerti di sekolah memang kurang, tetapi baginya dari sisi kurikulum itu kalah porsinya dibandingkan imitasi agresi tayangan kekerasan. "Media seharusnya bertanggung jawab dapat memberikan siaran yang bersifat mendidik," katanya.
Dengan adanya perlombaan yang melibatkan kelompok-kelompok, kata dia, menjadi upaya membentuk jiwa sportifitas. "Apalagi biasanya tawuran itu turuntemurun karena sengaja dijadiin 'mindset' oleh kakak kelas kepada adik kelasnya. Mata rantai itu harusnya dipotong dari dua sisi," ucap Supriyadi.(LHS)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012
"Jangan hanya mengadakan lomba-lomba ilmiah, perbanyaklah lomba basket, sepak bola, dan sebagainya yang pada prinsipnya melibatkan kelompok remaja," kata akademisi dari Universitas Udayana itu, di Denpasar, Rabu.
Menurut dia, maraknya tawuran pelajar belakangan ini, tidak terlepas dari imitasi agresi atau contoh perilaku agresif yang ditampilkan terus-menerus di televisi.
"Remaja-remaja zaman sekarang terlalu sering melihat di televisi bahwa cara mengemukakan pendapat atau menyampaikan keluhan dengan cara destruktif seperti dengan demo ataupun bentuk kekerasan lainnya," ujarnya.
Pola seperti itulah, kata dia, yang kemudian dicontoh sehingga kaum remaja baru merasa eksis ketika melakukan kekerasan. "Di sisi lain, kecenderungan remaja yang tinggal di kota menjadi bersifat keras karena sumber daya dan fasilitas sudah minim. Akibatnya terjadi perebutan eksistensi dan sumber daya alam," katanya.
Ia mengakui pendidikan budi pekerti di sekolah memang kurang, tetapi baginya dari sisi kurikulum itu kalah porsinya dibandingkan imitasi agresi tayangan kekerasan. "Media seharusnya bertanggung jawab dapat memberikan siaran yang bersifat mendidik," katanya.
Dengan adanya perlombaan yang melibatkan kelompok-kelompok, kata dia, menjadi upaya membentuk jiwa sportifitas. "Apalagi biasanya tawuran itu turuntemurun karena sengaja dijadiin 'mindset' oleh kakak kelas kepada adik kelasnya. Mata rantai itu harusnya dipotong dari dua sisi," ucap Supriyadi.(LHS)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012