Sanggar/Komunitas Seni Tugek Carangsari, Kabupaten Badung, melalui pementasan topeng prembon di ajang Pesta Kesenian Bali ke-44 tak hanya memberi hiburan kepada masyarakat, namun sekaligus menyampaikan pesan-pesan agama dan kebangsaan.
"Kesenian topeng ini, selain sebagai kesenian Wali (untuk ritual keagamaan) dan hiburan, juga sebagai media menyampaikan pesan kepada masyarakat," kata Ketua Sanggar Seni Tugek Carangsari I Gusti Ngurah Artawan di Denpasar, Jumat.
Apalagi, ujar Artawan, komunitas Topeng Tugek Carangsari yang telah didirikan sejak puluhan silam oleh maestro Topeng Tugek Carangsari I Gusti Ngurah Windia (almarhum) memang memiliki gaya atau ciri khas tersendiri.
"Meskipun ayah saya (I Gusti Ngurah Windia-red) sudah berpulang, kami senantiasa ingin menghidupkan kembali 'style' Topeng Tugek Carangsari. Kami mencoba melanjutkan, semoga bisa sedikit menyamai," ucapnya.
Baca juga: Demonstrasi memohon hujan Gebug Ende meriahkan "Jantra Tradisi Bali"
Menurut Artawan, ciri khas Topeng Tugek Carangsari diantaranya memiliki tembang-tembang tersendiri dan untuk dialog para pemainnya memiliki rumus Tat Sat (Tatwa dan Satua).
"Dalam satua (cerita) yang dibawakan mengandung tatwa (filsafat) dan tatwa disampaikan melalui satua," katanya disela-sela pementasan yang mengangkat lakon Ki Pasek Badak itu.
Seperti halnya pementasan topeng prembon pada umumnya, sajian sanggar ini diawali tari Topeng Keras dan Topeng Tua. Penonton yang memadati Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali, itu pun semakin dibuat gembira dengan lawakan-lawakan segar dari tokoh penasar (wijil-kartala).
Dalam dialognya yang menghibur, mereka menyelipkan ajakan agar masyarakat senantiasa berperilaku yang baik dan menyayangi sesama.
Kemudian mereka pun menyanyikan lagu Bali berjudul Merah Putih, sembari mengajak penonton supaya ingat dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila.
Baca juga: Sanggar Eka Satya Budaya dari Tabanan-Bali edukasi Joged Bumbung sesuai pakem
Meskipun Topeng Tugek Carangsari sudah pentas di hampir setiap penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali, untuk pementasan tahun ini, proses latihan-latihan sudah dilakukan sejak Desember 2021.
"Untuk kali ini, kami menampilkan lakon Ki Pasek Badak yang sempat tenar tahun 1980-an," ujarnya.
Lakon ini mengisahkan di saat Raja Mengwi I Gusti Agung Anom berkuasa, ia tidak bisa mengalahkan tokoh di Desa Buduk yang bernama Ki Pasek Badak.
Ki Pasek Badak ini terkenal dengan kesaktiannya, kebal dengan senjata serta mengendarai seekor Badak. Raja Mengwi mengundang Pasek Badak ke puri atau kerajaan untuk diajak perang tanding tanpa melibatkan prajurit dan rakyat.
Perjanjian pun disepakati, bahwa siapa yang kalah wajib menyerahkan kekuasaannya. Setelah sekian lama pertempuran terjadi, satu pun tidak ada yang kalah dan menang.
Baca juga: Angklung khas Buleleng iringi Tari Joged-Palawakya di PKB
Akhirnya Pasek Badak menyerahkan diri dengan bersedia dibunuh oleh Raja Mengwi, dengan senjata Ki Naga Keras.
Tetapi, sebelum meninggal Pasek Badak sempat mengajukan permohonan, bahwa ketika sudah meninggal agar dibuatkan sebuah pelinggih (tempat suci) di seputaran Taman Ayun dan dilengkapi dengan "penyungsung" sebanyak 40 orang.
Akhirnya Ki Pasek Badak meninggal dunia dan binatang badak kesayangannya juga mati di sebelah selatan Desa Buduk.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022
"Kesenian topeng ini, selain sebagai kesenian Wali (untuk ritual keagamaan) dan hiburan, juga sebagai media menyampaikan pesan kepada masyarakat," kata Ketua Sanggar Seni Tugek Carangsari I Gusti Ngurah Artawan di Denpasar, Jumat.
Apalagi, ujar Artawan, komunitas Topeng Tugek Carangsari yang telah didirikan sejak puluhan silam oleh maestro Topeng Tugek Carangsari I Gusti Ngurah Windia (almarhum) memang memiliki gaya atau ciri khas tersendiri.
"Meskipun ayah saya (I Gusti Ngurah Windia-red) sudah berpulang, kami senantiasa ingin menghidupkan kembali 'style' Topeng Tugek Carangsari. Kami mencoba melanjutkan, semoga bisa sedikit menyamai," ucapnya.
Baca juga: Demonstrasi memohon hujan Gebug Ende meriahkan "Jantra Tradisi Bali"
Menurut Artawan, ciri khas Topeng Tugek Carangsari diantaranya memiliki tembang-tembang tersendiri dan untuk dialog para pemainnya memiliki rumus Tat Sat (Tatwa dan Satua).
"Dalam satua (cerita) yang dibawakan mengandung tatwa (filsafat) dan tatwa disampaikan melalui satua," katanya disela-sela pementasan yang mengangkat lakon Ki Pasek Badak itu.
Seperti halnya pementasan topeng prembon pada umumnya, sajian sanggar ini diawali tari Topeng Keras dan Topeng Tua. Penonton yang memadati Kalangan Ayodya, Taman Budaya Provinsi Bali, itu pun semakin dibuat gembira dengan lawakan-lawakan segar dari tokoh penasar (wijil-kartala).
Dalam dialognya yang menghibur, mereka menyelipkan ajakan agar masyarakat senantiasa berperilaku yang baik dan menyayangi sesama.
Kemudian mereka pun menyanyikan lagu Bali berjudul Merah Putih, sembari mengajak penonton supaya ingat dan mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam kelima sila Pancasila.
Baca juga: Sanggar Eka Satya Budaya dari Tabanan-Bali edukasi Joged Bumbung sesuai pakem
Meskipun Topeng Tugek Carangsari sudah pentas di hampir setiap penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali, untuk pementasan tahun ini, proses latihan-latihan sudah dilakukan sejak Desember 2021.
"Untuk kali ini, kami menampilkan lakon Ki Pasek Badak yang sempat tenar tahun 1980-an," ujarnya.
Lakon ini mengisahkan di saat Raja Mengwi I Gusti Agung Anom berkuasa, ia tidak bisa mengalahkan tokoh di Desa Buduk yang bernama Ki Pasek Badak.
Ki Pasek Badak ini terkenal dengan kesaktiannya, kebal dengan senjata serta mengendarai seekor Badak. Raja Mengwi mengundang Pasek Badak ke puri atau kerajaan untuk diajak perang tanding tanpa melibatkan prajurit dan rakyat.
Perjanjian pun disepakati, bahwa siapa yang kalah wajib menyerahkan kekuasaannya. Setelah sekian lama pertempuran terjadi, satu pun tidak ada yang kalah dan menang.
Baca juga: Angklung khas Buleleng iringi Tari Joged-Palawakya di PKB
Akhirnya Pasek Badak menyerahkan diri dengan bersedia dibunuh oleh Raja Mengwi, dengan senjata Ki Naga Keras.
Tetapi, sebelum meninggal Pasek Badak sempat mengajukan permohonan, bahwa ketika sudah meninggal agar dibuatkan sebuah pelinggih (tempat suci) di seputaran Taman Ayun dan dilengkapi dengan "penyungsung" sebanyak 40 orang.
Akhirnya Ki Pasek Badak meninggal dunia dan binatang badak kesayangannya juga mati di sebelah selatan Desa Buduk.
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2022