Oleh I Ketut Sutika

Denpasar (Antara Bali) - Pria bertubuh tegap berkulit langsat itu terlihat santai mengenakan baju batik warna krem kombinasi celana hitam, yang senantiasa ramah dengan lawan bicaranya.

Sesekali senyum menghiasi bibir pria yang sisiran rambutnya model ke samping cukup rapi, memperlihatkan kerutan dahi sosok yang sudah banyak makan "asam-garam" dalam dunia wartawan dan dosen.

Prof Dr I Wayan Windia, MS (63) pria kelahiran Sukawati, Kabupaten Gianyar, 15 Desember 1949 itu adalah Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Udayana, sekaligus merangkap  Sekretaris Tim Penyusunan Proposal Warisan Budaya Dunia (WBD) Subak di Bali yang baru saja diputuskan UNESCO.

Suami dari Gusti Ayu Mandriwati, dosen jurusan kebidanan, Poltekkes, Denpasar itu tidak serta merta meraih kesuksesan, namun merangkak dari bawah, hasil kerja keras atas perjuangannya.

Putra dari almarhum Made Sanggra, seorang sastrawan Bali modern, pasangan Ni Made Yarti itu ketika masih duduk di SMAN Gianyar, merangkap sebagai pengantar (loper) koran.

Demikian pula ketika kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Udayana merangkap menjadi pesuruh dan guru honorer di Sekolah Kesejahteraan Keluarga Atas (SKKA) Negeri Gianyar.

Windia saat menyelesaikan S-1 itu juga menjadi wartawan Harian Nusa Tenggara (Nusa Bali), kemudian menjadi wartawan Harian KAMI, Sinar Harapan, dan Suara Pembaruan (hingga pensiun).

Ayah dua putra-putri itu menyandang gelar guru besar tahun 2008 hingga sekarang masih aktif menulis opini dan konsultan di Mingguan Suara Rakyat, Denpasar.

Tatkala diangkat menjadi asisten dosen tahun 1975 dan kemudian menjadi dosen tahun 1977, tetap melanjutkan perannya sebagai wartawan hingga pensiun di Harian Suara Pembaruan (Jakarta) tahun 2002 (umur 56 tahun pada waktu itu).

Prof Windia, ayah dari Putu Gde Ariastita, dosen Jurusan Planologi, ITS Surabaya dan Ni Made Lviani, prikolog, bertugas di Bandung juga aktif dalam organisasis sosial itu pernah menjadi anggota DPR-RI dari Fraksi Golkar tahun 1977.

Sederetan jabatan sosial yang pernah diembannya antara lain Ketua Pemuda Panca Marga Bali, Wakil Sekjen Pemuda Panca Marga Pusat. Ketua Bidang Pemuda dan Cendekiawan, DPD Golkar Bali.

Kakek dari tiga cucu itu hingga sekarang masih mengemban kepercayaan sebagai Wakil Ketua PWI Bali, Ketua Dewan Harian 1945 Provinsi Bali, Ketua Grup Riset Sistem Subak Universitas Udayana dan Ketua Badan Penjaminan Mutu Universitas Udayana.

Semua tugas dan tanggung jawab yang diembannya itu dapat dilaksanakan dengan baik, atas dasar kerja keras, dedikasi dan pengabdian yang tinggi.

Lulusan Terbaik
Windia, putra salah seorang veteran pejuang kemerdekaan RI itu meskipun kesibukannya sangat padat dalam menyelesaikan program strata dua (S-2) di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta keluar sebagai lulusan terbaik.

Demikian pula pascasarjana (S-3) di UGM berhasil meraih gelar doktor tahun 2003 dengan predikat sangat baik dan lima tahun kemudian (2008) menyandang gelar guru besar.

Windia yang senantiasa memimpin mahasiswa dan dosen untuk mengadakan penelitian tentang Subak di Bali sejak awal telah mengingatkan, agar Pemerintah Provinsi Bali maupun Pemkab dan Pemkot menetapkan adanya sawah abadi.

Upaya itu untuk menjaga kesinambungan lahan pertanian dan mempertahankan swasembada pangan, mengingat lahan pertanian di Bali belakangan ini semakin terdesak akibat alih fungsi lahan pertanian yang tidak bisa dihindari.

Alih fungsi lahan yang setiap tahunnya mencapai rata-rata 1.000 hektare selama lima tahun terakhir, kini membuahkan hasil dengan adanya pengakuan UNESCO untuk menetapkan Subak menjadi warisan budaya dunia (WBD).

UNESCO menetapkan kawasan Jatiluwih Catur Angga Batukaru, Kabupaten Tabanan, Pura Taman Ayun Mengwi, Kabupaten Badung, daerah aliran sungai (DAS) Pakerisan, Kabupaten Gianyar dan Pura Ulundanu Batur, Kabupaten Bangli, sebagai satu kesatuan dalam penetapan WBD.

Namun di balik prestasi yang diraih itu menurut Prof Windia mengandung beban moral dan tanggung jawab yang sangat berat dari seluruh komponen dan masyarakat Bali untuk mampu menjaga dan melestarikan Subak, yang keberadaannya semakin menghdapi desakan dan tantangan akibat alih fungsi lahan.

Ia mengingatkan, bagaimana pemerintah, khususnya satuan kerja perangkat daerah (SKPD) terkait mampu mewujudkan kegairahan petani agar senang dalam nenekuni dan melanjutkan pekerjaan sebagai seorang petani, sehingga lahannya tetap bisa dipertahankan, terhindar dari alih fungsi lahan.

Dalam kawasan yang dikukuhkan sebagai WBD, selain menyangkut lahan pertanian yang terhimpun dalam wadah Subak juga terdapat beberapa tempat suci (Pura), tiga buah danau yang meliputi Danau Buyan (Tabanan), Danau Tamblingan (Buleleng) dan Danau Batur (Bangli).

Selain itu juga menyangkut kawasan hutan terutama di sekitar Pura Batukaru di Kabupaten Tabanan dan Buleleng yang harus mampu dilestarikan untuk menyediakan kebutuhan air bagi irigasi pertanian dalam sistem Subak.

Dari sekian banyak unsur dalam kawasan WBD itu yang paling riskan dalam menjaga kelangsungannya adalah kawasan persawahan, mengingat Bali masih menjadi sasaran investor untuk menanamkan modalnya, terutama di lokasi-lokasi yang dinilai strategis.

Ribuan petani di kawasan Catur Angga Batukaru, Kabupaten Tabanan telah sepakat untuk mempertahankan lahan garapannya sebagai kawasan pertanian dan tidak akan menjualnya jika peruntukannya di luar sektor pertanian.

Kesepakatan petani itu perlu dipertahankan, agar mereka tetap merasa aman dan nyaman menggeluti kegiatan budidaya. Petani setempat selama ini merasa nyaman, karena produksi padi beras merah harganya dua kali lipat dari harga beras biasa.

Dalam perkembangan ke depan pemerintah juga perlu memberikan kemudahan lainnya kepada petani, antara lain membebaskan pajak dan tersedianya fasilitas irigasi yang memadai, harap Prof Windia.(*/T007)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012