Oleh  I Ketut Sutika

Kepiawaian dan kharisma di atas pentas menjadi modal utama bagi Ida Bagus Raka Pudjana (65) dalam  mengabdikan diri pada seni drama gong  selama 32 tahun, kurun waktu 1965-1997.

Pria kelahiran Banjar Ujung Kesiman, Denpasar Timur, 31 Desember 1947 melakoni peran sebagai punakawan  dengan panggilan Komang Apel berpasangan dengan  Made Sura yang akrab dipanggil Roy.

Sosok pria yang selalu tampil bersahaja itu  memang mewarisi darah seni, sehingga setiap gerak, ungkapan dan prilakunya di atas panggung mengandung penuh daya humor, sehingga mampu mengundang gelak tawa penonton yang larut hingga pementasan berakhir pada pagi hari.

Dalam pementasan seni drama gong yang merupakan salah satu jenis kesenian trdisional Bali, pernah menjadi primadona Pesta Kesenian Bali (PKB), maupun di luar kegiatan tersebut,  berkat keberhasilannya menarik perhatian penonton.

Kreasi baru hasil kolaborasi dari hampir semua jenis kesenian, termasuk seni musik  yang menonjolkan lelucon itu menjadikan sosok Ida Bagus Raka dikenal secara meluas di kalangan masyarakat Pulau Dewata pada era tahun 1970 hingga 1997.

Suami dari Jero Tanjung itu selalu tampil dengan gayanya yang khas, penuh semangat berkesenian yang tidak pernah pudar, bahkan tidak ada yang menandinginya. Kerberhasilan menjadikan dirinya seperti itu berkat ketekunan dan kerja keras sehingga mampu memahami dan memiliki keterampilan tentang pementasan dunia seni, khususnya drama gong.

Sosok seniman serba bisa yang memiliki modal berupa keahlian dalam mementaskan berbagai jenis tabuh dan tari Bali, sehingga cukup mudah baginya dalam menarik perhatian penonton.

Ayah dari dua putri dan seorang putra  itu bergelut dalam seni drama  berawal dari membentuk sekaa Jangger di Banjar Kesinam, Denpasar tahun 1965, dengan harapan mampu memberikan hiburan kepada masyarakat, sekaligus menjadikan  suasana lingkungan itu tenang dan damai.

Ayah dari Ida Ayu Putu Mei Yanti,S.Sos, Ida Bagus Made Ary Manik SS dan Ida Ayu Sri Udayani SE itu terpilih sebagai peran anak muda yang mampu mengantarkan kesenian jangger itu cukup dikenal masyarakat luas.

Tiga tahun kemudian 1968 bergabung dengan Sekaa Drama Gong Kesiman dengan peran utama sebagai anak muda. Sukses melakukan pementasan ke berbagai tempat di Bali kemudian bergabung dengan Sekaa Drama Puri Satria Denpasar yang dipimpin Tjok Bagus Sayoga (alam), ayah dari AAN Puspayoga, Wakil Gubernur Bali.

Pada awalnya berperan sebagai "Raja Buduh", namun kemudian berubah menjadi punakawan dan saat itulah prestasi dan ketenarannya semakin menanjak hingga sekaa drama gong itu sampai mewalahan melayani pentas ke berbagai pelosok pedesaan di Bali.

Mengabdi sebagai PNS

Ida Bagus Raka yang juga pernah bergabung dengan Drama Gong Panji Budaya, Kerti Budaya yang kemudian menjadi Drama Gong Bintang Bali Timur yang mencuat kepermukaan selama kurun waktu 17 tahun, 1980-1997.

Selama 17 tahun itu jadwal pentas sangat padat, padahal tugasnya bukan satu-satunya  sebagai seniman, namun juga mengabdikan dirinya sebagai pegawai negeri sipil (PNS) di Universitas Udayana.

Awalnya bertugas di Fakultas Hukum Unud mulai tahun 1964 kemudian pindah ke Fakultas Kedokteran dan sekretariat Universitas Udayana  hingga memasuki masa pensiun (purna karya) tahun 1997.

"Tugas dinas di kantor tetap dapat dilaksanakan dengan baik, karena begitu datang dari pentas, langsung berangkat ke tempat kerja, tanpa sempat tidur," ujar Ida Bagus Raka Pudjana yang juga merintis pementasan barong Catur Eka Budi Kesiman, pementasan khusus untuk wisatawan.

Selain tugas dinas dan sebagai seniman drama gong saat itu tahun 1990-1996 juga dipercaya sebagai bendesa adat Kesiman, sehingga semua kegiatan sosial kemasyarakatan yang diembannya dapat terlaksana dengan baik.

Istirahat untuk tidur dalam hidup keseharian itu menerapkan "sistem kredit" di mana ada kesempatan langsung tidur, terutama dalam perjalanan dari Denpasar menuju pementasan di berbagai desa di Bali.

Begitu sampai di lokasi langsung menghias diri, setelah itu kembali tidur dan baru dibangunnya menjelang tampil di atas panggung. Dengan cara itu waktu istirahat untuk tidur bisa terpenuhi.

Hal itu dilakoni karena pekerjaan sebagai seniman sangat menyenangkan, walaupun harus bekerja keras, namun tidak merasa payah, karena hasil yang dinikmati juga lumayan untuk membiayai sekolah ketiga putra-putrinya hingga meraih gelar sarjana, ujar kakek dari tujuh cucu dari ketiga putra-putrinya yang sudah membentuk rumah tangga.(*/T007)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012