Jakarta (Antara Bali) - Pengamat Ekonomi Ichsanuddin Noorsy menilai Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Kepemilikan Saham Bank Umum tidak merujuk pada stabilitas sistem keuangan tetapi lebih mengacu kepada aturan internasional yang masih lemah.

"Aturan internasional tersebut ternyata masih cukup lemah," kata pengamat ekonomi Asosiasi Ekonomi dan Politik Indonesia (AEPI) itu dihubungi di Jakarta, Selasa.

Ia mencontohkan, kasus Royal Bank of Scotland, HSBC, Barclays Plc yang melakukan manipulasi suku bunga Euro Interbank Offered Rate atau Euribor adalah bukti bahwa institusi perbankan selalu mengidap "moral hazard".

Ichsanuddin menegaskan Bank Indonesia (BI) belum punya aturan konkrit mengatasi "moral hazard" sebagai salah satu pemicu terjadinya krisis perbankan.

Menurut dia, kesalahan tersebut disebabkan para pengurus mengetahui arus kas lebih dulu dibandingkan dengan pemilik, perilaku keserakahan para bankir serta kesalahan dalam melihat persoalan indikator perbankan.

"Artinya PBI tentang Kepemilikan Saham Bank Umum tidak mengatur pada posisi bagaimana mengantisipasi para pemilik dan bankir untuk mengatasi persoalan krisis perbankan," tegas Ichsanuddin.

Ichsanuddin menambahkan PBI ini belum merujuk pada desain arsitektur keuangan perbankan berbasis ekonomi konstitusi karena pembatasan kepemilikan saham ini hanya mengekor pada "Basel III".

Dalam peraturan "Basel III" saat ini, sisi penghitungan risiko kredit dengan ditekankan bagi bank-bank untuk dapat memiliki kecukupan modal agar aman dari resiko kredit yang dapat meningkatkan kerawanan terhadap krisis kredit. Karena itu, rasio modal berdasar "Basel III" ini ditingkatkan sebesar minimal 4,5 persen dari yang sebelumnya di "Basel II" sebesar 4,0 persen.(*/T007)

Pewarta:

Editor : Nyoman Budhiana


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2012