Deputi II Sekjen Bidang Advokasi dan Politik Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Erasmus Cahyadi memandang perlu tekanan publik dalam upaya untuk memperjuangkan pengembalian wilayah adat kepada masyarakat adat.

"Ini bukan persoalan administrasi semata, ini pesoalan ekonomi politik yang sangat memerlukan tekanan publik yang kuat," kata Erasmus di Jakarta, Selasa.

Erasmus mencontohkan keberhasilan tekanan publik itu terjadi saat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menetapkan dan mengembalikan wilayah masyarakat adat Pandumaan-Sipituhuta di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, di awal tahun 2021 yang semula bersinggungan dengan konsesi PT Toba Pulp Lestari (TPL).

Baca juga: Pemprov Bali adakan sensus kekayaan budaya dan kearifan lokal desa adat

Dalam perayaan Hari Internasional Masyarakat Adat Sedunia (HIMAS) pada tanggal 9 Agustus kemarin, Erasmus menyoroti pengembalian wilayah adat baik melalui nomenklatur, skema, maupun regulasi saat ini.

Ia menilai pengembalian wilayah adat bukan prosedur yang mudah bagi masyarakat adat di seluruh Indonesia.

Hal itu, kata dia, terdapat ketentuan dari pemerintah yang meminta usulan wilayah adat harus memenuhi prinsip clean and clear atau tidak terjadi tumpang tindih pengelolaan dan izin.

Prinsip clear menurutnya masih memungkinkan untuk dipenuhi melalui peraturan daerah (Perda) di tingkat Kabupaten.

Akan tetapi, prinsip clean yang terkait dengan penguasaan pihak ketiga yakni izin kepemilikan oleh perusahaan atau kepemilikan pemerintah seperti hutan konservasi, membuat upaya memperjuangkan wilayah masyarakat adat kerap menemui hambatan.

"Secara normatif dikatakan bahwa jika ada penguasaan pihak ketiga di atas wilayah tersebut, maka harus ada negosiasi dengan pemegang izin baru bisa dikembalikan ke penguasaan negara sebelum ditetapkan sebagai hutan adat," ujarnya.

Selain itu, AMAN juga masih berada dalam posisi yang berseberangan dengan kebijakan pemerintah mengenai Perhutanan Sosial (PS). Menurut Erasmus, ide kebijakan Perhutanan Sosial dibangun di atas asumsi bahwa wilayah hutan adat dikuasai oleh Negara.

Baca juga: Pemprov Bali minta desa adat serius laksanakan Pararem Gering Agung

Sementara itu, ide hutan adat merupakan pengakuan dan pengembalian dari penguasaan negara atas hutan yang sudah dimiliki masyarakat adat secara turun-temurun, bukan hak yang diberikan oleh Negara.

"Jadi beda, Perhutanan Sosial tergolong izin, sementara hutan adat adalah pengakuan hak masyarakat adat," katanya menjelaskan.

Bagi AMAN, kebijakan Perhutanan Sosial justru tidak menghormati Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 35/PUU-X/2012 mengenai hutan adat yang secara sederhana ingin menyampaikan bahwa penguasaan negara atas hutan di wilayah adat bertentangan dengan konstitusi.

"Karena bertentangan, harus dikembalikan, jadi bukan diberikan oleh Negara," kata Erasmus.
 

Pewarta: Muhammad Jasuma Fadholi

Editor : Edy M Yakub


COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021