PT PLN (Persero) menilai transisi menuju energi bersih itu penting untuk memastikan masa depan yang lebih baik di tengah ancaman perubahan iklim yang terjadi, karena itu PLN mendorong peningkatan "demand" (konsumsi/kebutuhan) listrik menuju Era Energi Bersih, karena pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) itu bukan hanya soal "supply" (suplai/pasokan), namun harmonisasi "supply-demand".
"Mari kita bicara mengenai suplai (pasokan) dan demand (konsumsi) listrik secara lebih seimbang, sehingga pengembangan suplai bisa dibeli oleh demand yang sesuai. Bagaimana kita mendorong agar kompor induksi dan mobil listrik meningkatkan konsumsi listrik. Semuanya perlu pertimbangan cermat," ujar Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini dalam keterangan resmi yang diterima, Kamis malam.
Saat berbicara dalam "Investor Daily Summit 2021" (15/7/2021), Zulkifli menyebutkan bahwa dari berbagai diskusi, banyak pihak tampaknya hanya fokus pada aspek suplai/pasokan, padahal pengembangan EBT di Indonesia itu juga perlu mempertimbangkan beberapa hal, seperti keselarasan supply and demand, potensi energi setempat, keekonomian, keandalan, ketahanan energi nasional, dan keberlanjutannya.
"Saat ini, ukuran dari sektor kelistrikan adalah sebesar 300 Terra Watthour (TWh) dengan kapasitas pembangkit terpasang sebesar 63 Giga Watt (GW). Di dalamnya masih terdapat pembangkit berbahan bakar fosil sebesar 21 GW yang merupakan bagian Proyek 35 GW yang akan beroperasi sampai dengan perjanjian jual beli tenaga listrik (Power Purchase Agreement/PPA) berakhir," katanya.
Baca juga: PLN luncurkan Layanan Super Merdeka Listrik sambut HUT ke-76 RI
Dengan asumsi pertumbuhan konsumsi listrik 4,6 persen itu, maka kebutuhan kelistrikan pada 2060 sebesar 1.800 TWh. Dari sisi pasokan, akan ada penambahan kapasitas pada 2060 sebesar 1.500 TWh atau lima kali lipat dari kapasitas listrik di tahun ini. Melihat kondisi tersebut, direncanakan penambahan kapasitas pembangkit untuk menutup gap kebutuhan dan pasokan listrik akan didominasi dengan EBT.
Merespons isu perubahan iklim, lanjut Zulkifli, PLN juga telah menetapkan komitmen untuk mencapai karbon netral pada 2060. Caranya, melalui skema transisi menuju EBT dan pergeseran dari energi berbasis impor menuju energi berbasis domestik.
Pihaknya pun mengaku telah menyiapkan peta jalan untuk "pensiun bertahap" terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang dimiliki. "Kami menyiapkan peta jalan retirement (pensiun) PLTU batu bara untuk mencapai karbon netral pada 2060. Tahapan monetisasi PLTU batu bara sebesar 50,1 GW hingga 2056 akan dilaksanakan dan menggantinya dengan EBT secara bertahap," papar Zulkifli.
Untuk pembangunan pembangkit EBT, PLN akan melakukannya dengan cermat. Apabila di suatu daerah, suplai listriknya sudah melebihi kapasitas, maka pembangkit EBT sebaiknya tidak dibangun. Untuk itu, Zulkifili mengingatkan ada hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan EBT ke depan.
"Pertama, keselarasan supply dan demand. Kedua, affordability (keterjangkauan) dan berikutnya sudah barang tentu environmental (aspek lingkungan). Karena itu, ke depan, kita akan fokus untuk melakukan pengembangan EBT di desa dan Kawasan Indonesia Timur," katanya.
Pada sistem kelistrikan dengan reserve margin besar perlu mempertimbangkan harmonisasi "supply - demand". "Pada kawasan Indonesia Timur, kami komitmen untuk membangun pembangkit EBT untuk pembangkit baru. PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) yang ada pun akan dikonversi ke EBT. Potensinya ada 2.130 lokasi yang akan kami konversi dari PLTD ke EBT. Tahap pertama ada 200 MW dari PLTD akan dikonversi ke EBT," ujarnya.
Selain itu, PLN juga memiliki program Green Booster melalui Cofiring yaitu melalui substitusi sebagian batubara dengan biomasa dari tanaman energy maupun pellet sampah. Inovasi ini akan dilakukan di 53 PLTU eksisting PLN. Langkah ini tidak hanya meningkatkan bauran EBT, namun juga dapat menjadi solusi permasalahan sampah dan menggerakan roda ekonomi daerah.
Baca juga: PLN serahkan bantuan Oksigen ke sejumlah RS
Sementara itu, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana menyampaikan peta pengembangan EBT. Saat ini, menurutnya, total potensi pengembangan EBT di Indonesia mencapai 417,8 GW. Sementara yang sudah dimanfaatkan totalnya baru mencapai sekitar 2,5 persen atau setara 10,4 GW.
"Untuk menuju energi bersih, pemerintah telah menyiapkan berbagai aturan pendukung berupa Peraturan Menteri hingga menunggu Rancangan Undang-Undang EBT yang menjadi inisiatif dari Dewan perwakilan Rakyat," katanya, mewakili Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif.
Selain itu, ada pula beragam insentif, seperti tax allowance hingga tax holiday. Dari sisi pembiayaan, menurut Dadan, makin banyak penawaran skema pembiayaan yang makin menarik untuk pemanfaatan energi bersih khususnya EBT.
Ia meyakini, jika seluruh upaya dilakukan bersama-sama maka target net zero emission akan tercapai. "InSya-Allah, kita akan masuk ke net zero emission di sekitar 2060," pungkasnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021
"Mari kita bicara mengenai suplai (pasokan) dan demand (konsumsi) listrik secara lebih seimbang, sehingga pengembangan suplai bisa dibeli oleh demand yang sesuai. Bagaimana kita mendorong agar kompor induksi dan mobil listrik meningkatkan konsumsi listrik. Semuanya perlu pertimbangan cermat," ujar Direktur Utama PLN Zulkifli Zaini dalam keterangan resmi yang diterima, Kamis malam.
Saat berbicara dalam "Investor Daily Summit 2021" (15/7/2021), Zulkifli menyebutkan bahwa dari berbagai diskusi, banyak pihak tampaknya hanya fokus pada aspek suplai/pasokan, padahal pengembangan EBT di Indonesia itu juga perlu mempertimbangkan beberapa hal, seperti keselarasan supply and demand, potensi energi setempat, keekonomian, keandalan, ketahanan energi nasional, dan keberlanjutannya.
"Saat ini, ukuran dari sektor kelistrikan adalah sebesar 300 Terra Watthour (TWh) dengan kapasitas pembangkit terpasang sebesar 63 Giga Watt (GW). Di dalamnya masih terdapat pembangkit berbahan bakar fosil sebesar 21 GW yang merupakan bagian Proyek 35 GW yang akan beroperasi sampai dengan perjanjian jual beli tenaga listrik (Power Purchase Agreement/PPA) berakhir," katanya.
Baca juga: PLN luncurkan Layanan Super Merdeka Listrik sambut HUT ke-76 RI
Dengan asumsi pertumbuhan konsumsi listrik 4,6 persen itu, maka kebutuhan kelistrikan pada 2060 sebesar 1.800 TWh. Dari sisi pasokan, akan ada penambahan kapasitas pada 2060 sebesar 1.500 TWh atau lima kali lipat dari kapasitas listrik di tahun ini. Melihat kondisi tersebut, direncanakan penambahan kapasitas pembangkit untuk menutup gap kebutuhan dan pasokan listrik akan didominasi dengan EBT.
Merespons isu perubahan iklim, lanjut Zulkifli, PLN juga telah menetapkan komitmen untuk mencapai karbon netral pada 2060. Caranya, melalui skema transisi menuju EBT dan pergeseran dari energi berbasis impor menuju energi berbasis domestik.
Pihaknya pun mengaku telah menyiapkan peta jalan untuk "pensiun bertahap" terhadap Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang dimiliki. "Kami menyiapkan peta jalan retirement (pensiun) PLTU batu bara untuk mencapai karbon netral pada 2060. Tahapan monetisasi PLTU batu bara sebesar 50,1 GW hingga 2056 akan dilaksanakan dan menggantinya dengan EBT secara bertahap," papar Zulkifli.
Untuk pembangunan pembangkit EBT, PLN akan melakukannya dengan cermat. Apabila di suatu daerah, suplai listriknya sudah melebihi kapasitas, maka pembangkit EBT sebaiknya tidak dibangun. Untuk itu, Zulkifili mengingatkan ada hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengembangan EBT ke depan.
"Pertama, keselarasan supply dan demand. Kedua, affordability (keterjangkauan) dan berikutnya sudah barang tentu environmental (aspek lingkungan). Karena itu, ke depan, kita akan fokus untuk melakukan pengembangan EBT di desa dan Kawasan Indonesia Timur," katanya.
Pada sistem kelistrikan dengan reserve margin besar perlu mempertimbangkan harmonisasi "supply - demand". "Pada kawasan Indonesia Timur, kami komitmen untuk membangun pembangkit EBT untuk pembangkit baru. PLTD (Pembangkit Listrik Tenaga Diesel) yang ada pun akan dikonversi ke EBT. Potensinya ada 2.130 lokasi yang akan kami konversi dari PLTD ke EBT. Tahap pertama ada 200 MW dari PLTD akan dikonversi ke EBT," ujarnya.
Selain itu, PLN juga memiliki program Green Booster melalui Cofiring yaitu melalui substitusi sebagian batubara dengan biomasa dari tanaman energy maupun pellet sampah. Inovasi ini akan dilakukan di 53 PLTU eksisting PLN. Langkah ini tidak hanya meningkatkan bauran EBT, namun juga dapat menjadi solusi permasalahan sampah dan menggerakan roda ekonomi daerah.
Baca juga: PLN serahkan bantuan Oksigen ke sejumlah RS
Sementara itu, Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE) Dadan Kusdiana menyampaikan peta pengembangan EBT. Saat ini, menurutnya, total potensi pengembangan EBT di Indonesia mencapai 417,8 GW. Sementara yang sudah dimanfaatkan totalnya baru mencapai sekitar 2,5 persen atau setara 10,4 GW.
"Untuk menuju energi bersih, pemerintah telah menyiapkan berbagai aturan pendukung berupa Peraturan Menteri hingga menunggu Rancangan Undang-Undang EBT yang menjadi inisiatif dari Dewan perwakilan Rakyat," katanya, mewakili Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Arifin Tasrif.
Selain itu, ada pula beragam insentif, seperti tax allowance hingga tax holiday. Dari sisi pembiayaan, menurut Dadan, makin banyak penawaran skema pembiayaan yang makin menarik untuk pemanfaatan energi bersih khususnya EBT.
Ia meyakini, jika seluruh upaya dilakukan bersama-sama maka target net zero emission akan tercapai. "InSya-Allah, kita akan masuk ke net zero emission di sekitar 2060," pungkasnya. (*)
COPYRIGHT © ANTARA News Bali 2021